A. Kehujjahan hadits dhoif
Cacat-cacat
hadits dhaif berbeda-beda, baik macamnya maupun berat ringannya. Oleh karena
itu, tingkatan hadits-hadits dhaif tersebut juga berbeda. Dari hadits hadits
yang mengandung cacat pada rawiar atau matannya, yang paling rendah martabatnya
adalah hadits maudu’, kemudian hadits matruk, hadits munkar, hadits muallal,
hadits mudraj, hadits maqlub dan hadits-hadits lain. Dari hadits-hadits yang
gugur rawi atau sejumlah rawinya, yang paling lemah adalah hadits muallaq
(kecuali hadits-hadits sahih, yang diriwayatkan secara muallaq oleh Bukhari
dalam kitab sahihnya, hadits mudal, lalu hadits munqati’ kemudian hadits
mursal.
Hadits dhoif
ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhoiffannya misalnya karena kemaudhu’annya,
ada juga yang bisa tertutupi kedhoiffannya (karena ada faktor yang lainnya).
Untuk yang pertama tersebut, berdasarkan kesepakatan para ulama hadits, tidak
diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum,akidah maupun
fadhail al ‘amal.
Sementara
untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dhoif tersebut ,ada yang
berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum,akidah
maupun fadhail al ‘amal dengan alasan
karena hadits dhoif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah SAW. Di
antara yang berpendapat seperti ini adalah Abu bakr abnu Al ‘Araby.
Sementara
bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits dhoif ini secara mutlak
adalah imam Abu Hanifah, An-Nasa’i dan juga Abu dawud. Mereka berpendapat bahwa
megamalkan hadits dhoif ini lebih disukai dibandingkan mendasrkan pendapatnya
kepada akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu Hambal,Abd Al-Rahman ibn Al-Mahdy dan
Abdullah ibn Al mubarak menerima pengalaman hadits dhoif sebatas fadhail al
‘amal saja,tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau
masalah akidah.[1]
Sementara itu
ada kelompok lain selain dua kelompok di atas sebagai kelompok ketiga yang
berpendapat boleh menggunakan hadits dhaif dalam fadhail dan mawa’iz tapi harus
melalui syarat, sebagaimana yang disyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar,
beliau mengemukakan tiga syarat yang harus ada pada hadits dhoif yang bisa
diterima dan diamalkan,yaitu:
1. Tingkat kelemahannya tidak parah: orang yang meriwayatkan bukan
termasuk pembohong atau tertuduh berbohong atau kesalahannya banyak.
2. Tercakup dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak
bertentangan dengan hadits yang shohih (yang bisa diamalkan),
3. Ketika mengamalkannya tidak seratus persen meyakini bahwa hadits
tersebut benar-benar datang dari Nabi SAW,tetapi maksud mengamalkannya
semata-mata untuk ikhtiyath.
Hadits dhaif
yang memiliki korelasi dari hadit shahih sebagaimana dalam syarat kedua menurut
Ibnu Hajar tersebut seperti hadits yang diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dari Umar
RA yang menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda :
من حفظ على
أمتي أربعين حديثا من السنة حتى يؤديها اليهم كنت له شفيعا و شهيدا يوم القيامة.
Artinya : Barang siapa yang
menghafal 40 hadits dan menyampaikan kepada ummat, aku bersedia menjadi pemberi
syafaat dan saksi padanya pada hari kiamat.
Dan hadits dhaif yang mempunyai
mutabi’ hadits shahih sebagai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim
قال النبي
صلعم : ليبلغ الشاهد منكم الغائب (متفق عليه)
Artinya : Rasulullah SAW bersabda
: Hendaknya di antara kalian yang menyaksikan (sunnahku) menyampaikan kepada
orang yang tidak menyaksikan.
B. Hukum Meriwayatkan Hadits Dhaif
Para ulama
menyampaikan hadits dhaif tanpa menyebutkan atau menjelaskan sanadnya, Imam
Nawawi berpendapat apabila kita hendak menukilkan hadits dhaif tanpa
menyebutkan sanadnya, hendaknya jangan memakai shighat jazm seperti qala,
fa’ala dan amara Rasulullah SAW benar-benar bersabda, berbuat dan memerintahkan
seperti apa yang diriwayatkannya, padahal kita tidak menetapkan yang sedemikian
melalui riwayat hadits dhaif. Untuk meriwayatkan hadits dhaif tanpa menyebutkan
sanadnya hendaklah menggunakan shighat tamrid seperti ruwiya ‘an, hukiya ‘an
Rasulillah annahu qala, annahu zakara dan lain sebagainya.[2]
Muhammad
‘ijaj al-Khatib juga menegaskan bahwa dalam meriwayatkan hadits dhaif yang
tidak menyebutkan sanadnya hendaklah tidak menggunakan shigah jazm, tidak boleh
dia menyebutkan di dalam hadits tersebut dengan kata-kata (قال
رسول الله ص م كذا و كذا ) atau
yang semisal dengan itu, tapi hendaklah dia meriwayatkan dengan shigah yang
mengarahkan kepada syak terhadap keshahihannya untuk ahli ilmi, kalau untuk
masyarakat umum hendaklah menggunakan shigah tamrid.[3]
Apabila
mengemukakan hadits dhaif sebaiknya dia menyebutkan bahwa ini adalah hadits
dhaif sanadnya. Perkataan yang demikian ini jangan dipakai untuk menetapkan
kedhaifan matan suatu hadits semata-mata karena dhaif sanadnya. Sebab ada
kemungkinan bahwa hadits yang dhaif sanadnya itu mempunyai sanad lain yang
lebih shahih, kecuali jika dalam menetapkan kedhaifan matan suatu hadits itu
karena mengikuti pendapat para hafiz yang telah menelitinya dengan seksama.[4]
Berdasarkan
bahasan di atas menurut para ahli dan yang lainnya, boleh meriwayatkan
hadits-hadits dhaif, dengan mempermudah sanad-sanadnya tanpa ada penjelasan
kedhaifannya kecuali hadits-hadits dhaif, tidak boleh meriwayatkannya melainkan
harus disertai penjelasan keadaannya, itupun dengan dua syarat:
1. Tidak terkait dengan perkara akidah;
2. Tidak dalam posisi menjelaskan hokum-hukum syara’ yang terkait
dengan masalah halal haram.
Dalam kitab…….mengutip pernyataan ahmad,
“apabila kami meriwayatkan hadits Rasulullah SAW, yang berkaitan dengan halal
dan haram, Sunnah dan hokum, maka kami bersikap keras terhadap sanad-sanadnya,
sedangkan apabila meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW yang berkenaan dengan
fadhail al-amal atau hadits-hadits yang tidak menetapkan atau menghilangkan
hokum maka kami tidak begitu keras dalam meneliti sanad-sanadnya.[5]
E. Kitab-kitab yang memuat hadits dhoif
Mengingat
bahwa hadits hadits dhaif memiliki dampak yang besar bagi agama, para imam
hadits menyusun kitab untuk mengungkap problematic hadits dhaif dan menjelaskan
sebab-sebab kedhaifannya, agar jelas mana hadits yang dapat menjadi kuat atau
dapat diamalkan dalam fadhailul amal dan mana hadits yang tidak dapat diamalkan
sama sekali.
Kitab-kitab
yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits
yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.
2. Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga
memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif
3. Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits
dhoif.
4. Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan
hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.[6]
5. Kitab Almaudu’at karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman
bin Al-Jauzi
6. Kitab Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Ahadis Al-Mauduah, karya
Al-Hafizh Jalaludin Al-Suyuti
7. Kitab Tanzih Al-Syariah Al-Marfu’ah ‘an Al-Syaniah Al-Syaniah
Almauduah, karya Al-Hafiz Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Iraq Al-Kannani.
8. Kitab Al-Manar Al-Munif fi Al-Sahih wa Al-Dhaif, karya Al-Hafiz
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
9. Kitab Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudhu, karya Ali Al-Qari. Kitab
no.8 dan 9 ini sangat ringkas dan mudah dipahami.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berhujjah dengan hadits dhaif merupakan khilafiah di
kalangan ulama, dalam hal ini terbagi tiga golongan yaitu pertama golongan yang
secara mutlak membolehkan menggunakan hadits dhaif, kedua menolah secara mutlak
hadits dhaif dan yang ketiga menerima dengan syarat.
Meriwayatkan hadits dhaif harus menyebutkan sanadnya,
dalam periwayatan hadits dhaif dilarang menggunakan shigah jazam, tetapi
menggunakan shigah shak atau shigah tamrid.
Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits-hadits
dhaif antara lain Kitab ad-dlu’afa, Kitab Mizan-al-i’tidal, Kitab al-Marasil,
Kitab al-‘ilal
B. Kritik dan Saran
Kami sebagai
pemakalah menyadari banyak kekurangan dari makalah kami ini karena kurangnya
pemahaman kami terhadap linguistic dan kurangnya referensi yang kami miliki
maka kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari Bapak Dosen Pembimbing
dan kawan-kawan mahasiswa PBA semester I Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati
Bandung tahun Pelajaran 2015/2016. Atas segala saran dan kritikan kami ucapkan
terima kasih demi kesempurnaan makalah yang telah kami susun ini.
Sebagai
mahasiswa yang konsentrasi dengan bahasa dan ilmu keagamaan hendaklah kita
banyak memahami Ilmu Hadits sebagai ilmu yang menjelaskan hadits-hadits Nabi
untuk memperkaya pemahaman kita terhadap khasanah Islam, semoga makalah ini
dapat menambah pemahaman kita terhadap Ilmu Hadits tentang Hadits Dhaif.
[1] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
(Bandung : PT. Alma’arif, 1987) hlm. 200
[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
(Bandung : PT. Alma’arif, 1987) hlm. 202
[3] Muhammad Ijaj al-Khatib, Usulul Hadits
(bairut : Darul Fikr, 2009) hlm. 233
[4] Fatchur Rahman, Op.Cit, Hlm. 202
[5][5] Nuruddin
[6] Ibid
[7][7] Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul
Hadits (Bandung : Pustaka Setia, 2000) hlm. 163
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar