Minggu, 29 Januari 2023 | By: namakuameliya

hadist dhaif sebagai sebuah teori

 

 

A.    Kehujjahan hadits dhoif

 

Cacat-cacat hadits dhaif berbeda-beda, baik macamnya maupun berat ringannya. Oleh karena itu, tingkatan hadits-hadits dhaif tersebut juga berbeda. Dari hadits hadits yang mengandung cacat pada rawiar atau matannya, yang paling rendah martabatnya adalah hadits maudu’, kemudian hadits matruk, hadits munkar, hadits muallal, hadits mudraj, hadits maqlub dan hadits-hadits lain. Dari hadits-hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya, yang paling lemah adalah hadits muallaq (kecuali hadits-hadits sahih, yang diriwayatkan secara muallaq oleh Bukhari dalam kitab sahihnya, hadits mudal, lalu hadits munqati’ kemudian hadits mursal.

Hadits dhoif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhoiffannya misalnya karena kemaudhu’annya, ada juga yang bisa tertutupi kedhoiffannya (karena ada faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut, berdasarkan kesepakatan para ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal.

Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dhoif tersebut ,ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal  dengan alasan karena hadits dhoif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah SAW. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Abu bakr abnu Al ‘Araby.

Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits dhoif ini secara mutlak adalah imam Abu Hanifah, An-Nasa’i dan juga Abu dawud. Mereka berpendapat bahwa megamalkan hadits dhoif ini lebih disukai dibandingkan mendasrkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu Hambal,Abd Al-Rahman ibn Al-Mahdy dan Abdullah ibn Al mubarak menerima pengalaman hadits dhoif sebatas fadhail al ‘amal saja,tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau masalah akidah.[1]

Sementara itu ada kelompok lain selain dua kelompok di atas sebagai kelompok ketiga yang berpendapat boleh menggunakan hadits dhaif dalam fadhail dan mawa’iz tapi harus melalui syarat, sebagaimana yang disyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar, beliau mengemukakan tiga syarat yang harus ada pada hadits dhoif yang bisa diterima dan diamalkan,yaitu:

1.     Tingkat kelemahannya tidak parah: orang yang meriwayatkan bukan termasuk pembohong atau tertuduh berbohong atau kesalahannya banyak.

2.     Tercakup dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak bertentangan dengan hadits yang shohih (yang bisa diamalkan),

3.     Ketika mengamalkannya tidak seratus persen meyakini bahwa hadits tersebut benar-benar datang dari Nabi SAW,tetapi maksud mengamalkannya semata-mata untuk ikhtiyath.

 

Hadits dhaif yang memiliki korelasi dari hadit shahih sebagaimana dalam syarat kedua menurut Ibnu Hajar tersebut seperti hadits yang diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dari Umar RA yang menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda :

 

من حفظ على أمتي أربعين حديثا من السنة حتى يؤديها اليهم كنت له شفيعا و شهيدا يوم القيامة.

Artinya : Barang siapa yang menghafal 40 hadits dan menyampaikan kepada ummat, aku bersedia menjadi pemberi syafaat dan saksi padanya pada hari kiamat.

Dan hadits dhaif yang mempunyai mutabi’ hadits shahih sebagai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim

 

قال النبي صلعم : ليبلغ الشاهد منكم الغائب (متفق عليه)

Artinya : Rasulullah SAW bersabda : Hendaknya di antara kalian yang menyaksikan (sunnahku) menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan.

 

B.    Hukum Meriwayatkan Hadits Dhaif

 

Para ulama menyampaikan hadits dhaif tanpa menyebutkan atau menjelaskan sanadnya, Imam Nawawi berpendapat apabila kita hendak menukilkan hadits dhaif tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya jangan memakai shighat jazm seperti qala, fa’ala dan amara Rasulullah SAW benar-benar bersabda, berbuat dan memerintahkan seperti apa yang diriwayatkannya, padahal kita tidak menetapkan yang sedemikian melalui riwayat hadits dhaif. Untuk meriwayatkan hadits dhaif tanpa menyebutkan sanadnya hendaklah menggunakan shighat tamrid seperti ruwiya ‘an, hukiya ‘an Rasulillah annahu qala, annahu zakara dan lain sebagainya.[2]

Muhammad ‘ijaj al-Khatib juga menegaskan bahwa dalam meriwayatkan hadits dhaif yang tidak menyebutkan sanadnya hendaklah tidak menggunakan shigah jazm, tidak boleh dia menyebutkan di dalam hadits tersebut dengan kata-kata (قال رسول الله ص م كذا و كذا  ) atau yang semisal dengan itu, tapi hendaklah dia meriwayatkan dengan shigah yang mengarahkan kepada syak terhadap keshahihannya untuk ahli ilmi, kalau untuk masyarakat umum hendaklah menggunakan shigah tamrid.[3]

Apabila mengemukakan hadits dhaif sebaiknya dia menyebutkan bahwa ini adalah hadits dhaif sanadnya. Perkataan yang demikian ini jangan dipakai untuk menetapkan kedhaifan matan suatu hadits semata-mata karena dhaif sanadnya. Sebab ada kemungkinan bahwa hadits yang dhaif sanadnya itu mempunyai sanad lain yang lebih shahih, kecuali jika dalam menetapkan kedhaifan matan suatu hadits itu karena mengikuti pendapat para hafiz yang telah menelitinya dengan seksama.[4]

Berdasarkan bahasan di atas menurut para ahli dan yang lainnya, boleh meriwayatkan hadits-hadits dhaif, dengan mempermudah sanad-sanadnya tanpa ada penjelasan kedhaifannya kecuali hadits-hadits dhaif, tidak boleh meriwayatkannya melainkan harus disertai penjelasan keadaannya, itupun dengan dua syarat:

1.     Tidak terkait dengan perkara akidah;

2.     Tidak dalam posisi menjelaskan hokum-hukum syara’ yang terkait dengan masalah halal haram.

 Dalam kitab…….mengutip pernyataan ahmad, “apabila kami meriwayatkan hadits Rasulullah SAW, yang berkaitan dengan halal dan haram, Sunnah dan hokum, maka kami bersikap keras terhadap sanad-sanadnya, sedangkan apabila meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW yang berkenaan dengan fadhail al-amal atau hadits-hadits yang tidak menetapkan atau menghilangkan hokum maka kami tidak begitu keras dalam meneliti sanad-sanadnya.[5]

E.    Kitab-kitab yang memuat hadits dhoif

 

Mengingat bahwa hadits hadits dhaif memiliki dampak yang besar bagi agama, para imam hadits menyusun kitab untuk mengungkap problematic hadits dhaif dan menjelaskan sebab-sebab kedhaifannya, agar jelas mana hadits yang dapat menjadi kuat atau dapat diamalkan dalam fadhailul amal dan mana hadits yang tidak dapat diamalkan sama sekali.

Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:

1.     Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.

2.     Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif

3.     Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.

4.     Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.[6]

5.     Kitab Almaudu’at karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi

6.     Kitab Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Ahadis Al-Mauduah, karya Al-Hafizh Jalaludin Al-Suyuti

7.     Kitab Tanzih Al-Syariah Al-Marfu’ah ‘an Al-Syaniah Al-Syaniah Almauduah, karya Al-Hafiz Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Iraq Al-Kannani.

8.     Kitab Al-Manar Al-Munif fi Al-Sahih wa Al-Dhaif, karya Al-Hafiz Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

9.     Kitab Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudhu, karya Ali Al-Qari. Kitab no.8 dan 9 ini sangat ringkas dan mudah dipahami.[7]

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

 

Berhujjah dengan hadits dhaif merupakan khilafiah di kalangan ulama, dalam hal ini terbagi tiga golongan yaitu pertama golongan yang secara mutlak membolehkan menggunakan hadits dhaif, kedua menolah secara mutlak hadits dhaif dan yang ketiga menerima dengan syarat.

Meriwayatkan hadits dhaif harus menyebutkan sanadnya, dalam periwayatan hadits dhaif dilarang menggunakan shigah jazam, tetapi menggunakan shigah shak atau shigah tamrid.

Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits-hadits dhaif antara lain Kitab ad-dlu’afa, Kitab Mizan-al-i’tidal, Kitab al-Marasil, Kitab al-‘ilal

 

 

B.    Kritik dan Saran

 

Kami sebagai pemakalah menyadari banyak kekurangan dari makalah kami ini karena kurangnya pemahaman kami terhadap linguistic dan kurangnya referensi yang kami miliki maka kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari Bapak Dosen Pembimbing dan kawan-kawan mahasiswa PBA semester I Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun Pelajaran 2015/2016. Atas segala saran dan kritikan kami ucapkan terima kasih demi kesempurnaan makalah yang telah kami susun ini.

Sebagai mahasiswa yang konsentrasi dengan bahasa dan ilmu keagamaan hendaklah kita banyak memahami Ilmu Hadits sebagai ilmu yang menjelaskan hadits-hadits Nabi untuk memperkaya pemahaman kita terhadap khasanah Islam, semoga makalah ini dapat menambah pemahaman kita terhadap Ilmu Hadits tentang Hadits Dhaif.

 

   

 



[1]  Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987) hlm. 200

[2]  Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987) hlm. 202

[3]  Muhammad Ijaj al-Khatib, Usulul Hadits (bairut : Darul Fikr, 2009) hlm. 233

[4]  Fatchur Rahman, Op.Cit, Hlm. 202

[5][5] Nuruddin

[6]  Ibid

[7][7]  Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung : Pustaka Setia, 2000) hlm. 163


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction