Minggu, 29 Januari 2023 | By: namakuameliya

‘Adadu As-Sanad

 

‘Adadu As-Sanad

            Dengan membanding-bandingkan sanad dan matan suatu hadis dengan hadis lainnya akan dapat diketahui menyendiri (tafarrud) dan berbilangnya (ta’addud) sanad suatu hadis, di samping dapat diketahui kesesuaian dari perbedaan suatu hadis dengan lainnya. Para ulama sangat besar minatnya untuk mengadakan penelitian dan pembahasan untuk mendapatkan semua itu. Mereka menamai cara yang mereka tempuh itu dengan nama i’tibar.

            I’tibar adalah suatu proses di mana kita pertama kali mendekati sebuah hadis seorang rawi, lalu kita teliti beberapa jalur dan sanad untuk kita ketahui apakah ada rawi lain yang juga meriwayatkan hadis serupa, baik dari segi redaksinya maupun dari segi maknanya saja; ataukah sanadnya saja yang sama atau melalui jalur sahabat yang lain; ataukah tidak seorang periwayat pun meriwayatkan hadist tersebut, baik dari segi redaksi maupun dari segi maknanya saja.[1] Dapat disimpulkan bahwa i’tibar merupakan suatu penelitian sanad untuk mengetahui berbilang atau tidak berbilangnya sanad suatu hadis dan untuk mengetahui apakah ada hadis lain yang semakna.

            Para muhadditsin telah berupaya semaksimal mungkin untuk meneliti penuh seksama terhadap berbilangnya sanad atau riwayat. Untuk itu mereka mencurahkan segala kemampuannya, karena di balik semua itu tersimpan beberapa kesimpulan ilmiah penting dan beberapa macam hadis yang merupakan cabang-cabangnya. Dengan mengkaji sanad-sanad dan hadis-hadis dalam suatu masalah atau yang berkaitan dengannya, maka kita akan mengetahui bahwa hadis yang bersangkutan sebgian rwinya menyendiri atau dalam thabaqah jumlah rawinya banyak. Dalam hal ini berbilangnya sanad kita akan tahu apakah riwayat mereka itu sama atau berbeda.

Dengan demikian akan kita dapatkan tiga pokok bahasan yang mencakup banyak cabang ilmu hadis, yang secara garis besarnya dapat dikaji dalam tiga bagian, yaitu:[2]

  1. Tafarrud al-hadis (menyendirinya sanad hadis).
  2. Berbilangnya riwayat (ta’addud riwayah) hadis yang sama.
  3. Perbedaan beberapa riwayat hadis.

Namun penulis akan membatasi pembahasan mengenai tiga pokok bahasan tesebut menjadi satu bahasan yakni mengenai berbilangnya riwayat hadis yang sama, karena topik seperti ini selalu muncul dalam pembahasan atas sanad. Sifat berbilangnya sanad itu adalah sifat yang dimiliki seorang rawi hadis manakala tidak ada rawi lain yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan, baik dengan redaksi yang sama maupun hanya maknanya yang sama atau ketika ada rawi lain yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan.

A.      Hadits Ahad

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kata ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Sedangkan menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[3] Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.

 

1.   Hadits Masyhur

Masyhur menurut bahasa nampak. Sedangkan menurut istilah adalah yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.[4] Dalam buku lain dijelaskan menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, diantaranya:

مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَةِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَةِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”

Maka dapat disimpulkan bahwa hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh jemaah dari jemaah yang tidak mencapai ketentuan mutawatir. Kemudian hadits masyhur dari segi diterima dan ditolaknya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu shahih, hasan, dan dhaif.

Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.

اِذَا جَاءَ احدكُمُ اْلجُمْعَةُ فَلْيَغْتسِلْ

“Apabila salah seorang diantara kamu hendak mendatangi shalat jumat, hendaklah ia mandi.”

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ

“Tidak boleh membiarkan bahaya datang dan tidak boleh mendatangkan bahaya.”

Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :

 اطلبواالعلم ولوبالصين

 “Carilah ilmu walau di negri Cina.”

Ditinjau dari segi lingkungan tersiar dan tersebarnya, hadits masyhur dapat dibagi menjadi banyak bagian. Sebab kadang-kadang suatu hadits dikatakan masyhur dikalangan ahli hadits dan ulama lain serta orang umum dan kadang-kadang suatu hadits juga dikatakan masyhur pada pembicaraan banyak orang, meskipun hadits tersebut hanya diriwayatkan melaluisatu sanad, bahkan kadang-kadang tidak bersanad sama sekali.

Berikut adalah beberapa contoh hadits masyhur menurut pembagian di atas.[5]

a.      Hadits masyhur dikalangan ahli hadits saja, seperti hadits Anas:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا بعدالركوع يدعوعلى رعل وذكوان

“Bahwa Rasulullah SAW, melakukan qunut setelah ruku selama satu bulan untuk mohon kecelakaan atas suku Ri’l dan Dzakwan” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

b.     Hadits masyhur dikalangan muhadditsin dan ulama lain serta masyarakat umum, seperti hadits:

المسلم اخوالمسلم

“Setiap muslim adalah saudara muslim yang lain”.

c.      Hadits masyhur dikalangan fuqaha, seperti hadits:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ

“Tidak boleh membiarkan bahaya datang dan tidak boleh mendatangkan bahaya.”

d.     Hadits masyhur dikalangan ahli ushul fiqh, seperti hadits:

اذاحكم الحاكم ثم اجتهد فئاصاب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثم اخطئا فله اجر

“Apabila seorang hakim menghakimi, lalu untuk itu ia berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia menghakimi lalu berijtihad untuknya dan salah, maka ia mendapat satu pahala.”

e.      Hadits masyhur dikalangan ulama ahli bahasa Arab, seperti hadits:

نعم العبدصهيب لولم يخف الله لم يعصه

“Sebaik-baiknya hamba adalah shuhaib yang seandainya ia tidak takut kepada Allah (pun) ia tidak maksiat kepada-Nya.”

f.      Hadits masyhur dikalangan ahli pendidikan, seperti hadits:

ادبني ربي فاحسن تاءديبي

“Telah mendidikku Rabb-ku dan ia mendidikku dengan baik.”

g.     Hadits masyhur dikalangan umum, seperti hadits:

الحرب خدعة

“Perang itu suatu tipu daya.”

 

2.     Hadits ‘Aziz

‘Aziz menurut bahasa berasal dari kata ‘Azza-ya’izzu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits ‘Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”  Menurut Al-Qaththan dijelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.” Maka dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits ‘Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatannya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘Aziz :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu, sebelum aku lebih dicintainya dari pada orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hukum hadits ‘Aziz sama dengan hukum hadits masyhur, yakni bergantung kepada keadaan sanad dan matannya. Oleh karena itu apabila pada kedua unsur itu telah terpenuhi kriteria hadits shahih meskipun dari satu jalur, maka hadits yang bersangkutan adalah shahih. Dalam kondisi yang lain ada yang hasan ada pula yang dhaif. Hadits shahih tidak disyaratkan harus berupa hadits ‘Aziz, bahkan kadang-kadang berupa hadits Gharib.

3.     Hadits Gharib

Gharib menurut bahasa adalah orang yang menyendiri, mengasingkan diri, atau orang yang jauh dari sanak keluarganya. Menurut istilah muhadditsin, yang dimaksud dengan hadits gharib adalah:

هوالحديث الذي تفردبه راويه سواءتفردبه عن امام يجمع حديثه اوعن راوغيرامام

“Hadits Gharib adalah hadits yang rawinya menyendiri dengannya, baik menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati haditsnya, maupun menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam sekalipun”

Dinamakan hadits gharib karena ia seperti orang asing yang menyendiri dan tidak ada sanak keluarga di sisinya atau karena hadits tersebut jauh dari tingkatan masyhur, terlebih lagi tingkatan mutawatir.

Para ulama membagi hadits gharib dan letak terjadinya ke-ghariban menjadi beberapa bagian yang secara garis besarnya kembali kepada dua bagian ini.

 

a.      Gharib matanan wa isnadan (gharib dari segi matan dan sanadnya)

هوالحديث الذي لايروى الامن وجه واحد

“Adalah hadits yang tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad.”

Contohnya adalah hadits Muhammad bin Fudhail dari Umarah bi al-Qa’qa’ dari Zur’ah dari Abu Hurairah r.a., katanya Rasulullah SAW, bersabda:

كلمتان حبيبتان الى الرحمن خفيفتان على اللسان ثقيلتان فى الميزان: سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم

“Ada dua kalimat yang dicintai Allah yang maha pengasih dan ringan diucapkan tetapi berat dalam mizan, yaitu: Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha suci Allah yang maha agung.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

 Hadits ini dikalangan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, lalu darinya hanya diriwayatkan oleh Abu Zur’ah, lalu dari Abu Zur’ah hanya diriwayatkan oleh ‘Umarah, lalu dari ‘Umarah hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Fudhail.

b.     Gharib isanadan la matanan (hadits gharib dari segi sanadnya, tidak dari segi matannya)

هو الحديث الذي اشتهر بوروده من عدة طرق عن راو اوعن صحابي اوعدة رواة ثم تفرد به راو فرواه من وجه اخر غيرمااشتهربه الحديث

“Adalah hadits yang masyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dan seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah rawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak masyhur.”

Contohnya adalah sebagaimana disebutkan oleh al-Turmudzi dalam al-Ilal, yaitu hadits Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:

الكافر يئاكل في سبعة امعاء والمؤمن يئاكل في معى

“Orang kafir itu makan sepenuh tujuh usus, sedangkan orang yang beriman makan sepenuh satu usus.”

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata: “Matan hadits ini dikenal dari Nabi SAW, melalui banyak jalur. Syaikhani mengeluarkannya dalam shahihaini melalui jalur Abu Hurairah dan jalur Ibnu Umar r.a. dari Nabi SAW. Adapun hadits Abu Musa diatas dikeluarkan oleh Muslim melalui Abu Kuraib. Hadits ini dinilai gharib oleh banyak ulama dari segi ini. Mereka menyebutkan bahwa Abu Kuraib meriwayatkannya dengan menyendiri. Di antara yang menilai demikian adalah al-Bukhari dan Abu Zur’ah.

Adapun bentuk hadits gharib lain adalah sebagai berikut:

1.   Gharib matanan la isnadan, yakni hadits yang pada mulanya tunggal (fardi) kemudian pada akhirnya menjadi masyhur. Hadits gharib jenis ini merupakan bagian dari hadits gharib isnadan wa matanan, sebab berbilangnya sanad hadits ini adalah setelah menyendiri.

2.   Gharib ba’dhul matan, yakni hadits yang sebagian rawinya menyendiri dengan tambahan redaksinya.

3.   Gharib ba’dhu as-sanad, seperti hadits Yahya bin Ayyub al-Ghafiqi di atas. Hadits gharib yang demikian termasuk bagian hadits gharib isnadan la matanan.

 

 

B.      Hadits Mutawatir

Ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Secara definitif, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diperoleh dari hasil tanggapan pancaindra perawi hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi hadis yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk melakukan diskusi.[6] Nuruddin ‘ltr mendefinisikan hadis mutawatir sebagai ketidakmungkinan adanya pendustaan dalam meriwayatkan hadis karena banyak jumlah perawi hadis. Ia mendefinisikan hadis mutawatir sebagai berikut:

الحديث المتواتر هو الذي رواه جمع كثير يؤمن تواطؤهم على االكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان مستندهم الحسّ

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada pancaindra.[7]

Pendapat lain mengatakan mutawatir berarti yang berturut-turut, yang beriring-iring. Dalam ilmu hadis maksudnya ialah hadis yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya, serta pada adat mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist itu. Ta’rif ini, kalau dipecah-pecahkan akan terdapat tiga syarat bagi mutawatir, yaitu:[8]

1.   Mesti banyak sanadnya

2.   Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad, umpamanya: di permulaan sanad yang mencatat 50 orang, maka di pertengahan sanadnya mesti 50 rawi, dan di akhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW pun sedikitnya mesti 50 orang.

3.   Mesti menurut pertimbangan akal atau adat bahwa tidak bisa jadi rawi-rawi itu semua berkumpul bersama-sama, lalu mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun berkumpulnya itu dengan disengaja atau kebetulan. Namun demikian, ada beberapa ulama yang memberikan batasan khusus, diantaranya:

a.    Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang perawi hadis pada masing-masing thabaqat. Jumlah ini didasarkan pada ketentuan jumlah saksi zina yang diperlukan hakim untuk memvonis terdakwa.

b.   Asy Syafi’i menentukannya 5 orang rawi pada tiap thabaqat. Dasar argumentasinya adalah jumlah ulul azmi  yang disinyalir 5 orang.

c.    Ada juga yang menyebutkan 20 orang rawi pada tiap thabaqat. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah surat Al-Anfal (8): 65 di mana Tuhan memberikan sugesti kepada orang mukmin yang tahan uji sebanyak 20 orang.

d.   Ada juga ulama yang menyatakan jumlah rawi pada tiap thabaqat minimal 40 orang. Jumlah ini diqiyaskan kepada firman Allah dalam surat Al-A’raf (7): 155.[9]

Dilihat dari cara periwayatannya, hadis mutawatir dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni hadis mutawatir bi al lafdzi dan hadis mutawatir bi al maknawi. Hadis mutawatir bi al lafdzi  adalah hadis yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayat lainnya. Artinya seluruh perawi hadis menggunakan satu redaksi atau menggunakan ungkapan yang sama dalam menyampaikan hadisnya itu. Hadis dalam kategori ini memang sangat langka dan dapat dihitung jumlahnya. Contoh: hadis tetang niat pada saat Nabi melaksanakan hijrah dari Mekah ke Madinah. Susunan redaksional hadis ini persis sama dalam berbagai jalur periwayatan dengan perawi yang tidak terhitung. Menurut Abu Bakkar Al-Bazzar, hadis tentang niat ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Bahkan sebagian ulama, meyakini hadis itu diriwayatkan oleh 60 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama.[10]

Hadis mutawatir bi al makna yaitu hadis yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksinya. Tetapi diantara perbedaan-perbedaan itu masih menyisakan persamaan dan persesuaian, yakni pada makna prinsipnya. Dengan kata lain, apa yang disebut dengan hadis mutawatir bi al makna  adalah hadis yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri. Hadis model ini memang banyak jumlahnya. Contoh: hadis yang menerangkan tentang mengangkat tangan saat berdoa. Hadis tentang ini tidk kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda, namun karena kadar mustarik (titik persamaan) yang sama, yakni keadaan Nabi mengangkat tangan di kala berdoa, maka disebut sebagai hadis mutawatir bi al maknawi.[11]

C.      Kehujjahan Hadis Ahad dan Mutawatir

1.               Argumentasi Penolak Hadits Ahad Sebagai Dalil Aqidah

Pembagian hadits dari segi kuantitas ahad-mutawatir sehingga menimbulkan penolakan terhadap penggunaan hadits ahad dalam masalah aqidah banyak dituduhkan kepada kelompok Mu’tazilah. Menurut Ibn Hazm seperti yang dikutip oleh Ali Mustofa Ya’qub, “umat islam secara keseluruhan, baik ahlussunah, khawarij, Syiah dan Qodariyah menerima hadits ahad. Baru pada awal abad kedua hijri para ahli ilmu kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi. Memang, al-Nadhom (wafat antara 221-223 H) dan Muhammad Abd Wahhab Abu Ali al-Jubba’I (w.303 H) disebut sebagai orang yang berpendapat demikian, sementara keduanya berasal dari kelompok Mu’tazilah. Namun tidak ada kejelasan apakah hal ini merupakan pendapat resmi kelompok Mu’tazilah atau pendapat mereka sendiri. Sebab ulama Mu,tazilah yang lain tidak berpendapat seperti ini.

Pendapat tidak dapat dijadikan hadits ahad sebagai hujjah juga disetujui oleh banyak ulama kontemporer, seperti: Muhammad Syaltut dan Muhammad Ghozali. Menurut mereka  bahwa, “akidah tidak dapat ditetapkan melainkan dengan keterangan yang pasti sumbernya dan tegas tujuannya. Sehubungan dengan itu perlu diterangkan pula prinsip yang menentukan sunnah itu qoth’I atau zonni harus memperhatikan keadaan sunnah kurang pasti ialah dari dua segi; sumbernya dan tujuannya. Dalam hubungan ini terdapat tiga kemungkinan. Pertama, keraguan apakah hubungan riwayat itu sampai kepada Rasullullah atau tidak. Ini menurutnya tidak pasti. Kedua, keraguan tentang tujuannya, bisa kepada dua tiga pengertian. Dan ini juga menurutnya tidak pasti tujuannya. Ketiga, keraguan dalam dua hal, sumber dan tujuannya. Akidah islam tidak dapat ditetapkan dengan hadits dari ketiga macam itu. Hadits yang dapat menetapkan aqidah dan yang boleh dijadikan alasan untuk aqidah ialah hadits yang bersumber pasti dan bertujuan tegas. Menurutnya hadits yang bersumber pasti dan tegas adalah hadits mutawatir dan jumlah hadits mutawatir sangat sedikit.[12] Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

 

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

 

Artinya: “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 27-28].[13]

 

2.           Argumentasi Penerima Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hal Aqidah

Hadits sebagai hujah dalam berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadits mutawatir tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadits mutawatir memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah perowi yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadits ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan) yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa perowi yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang didistorsi oleh seorang atau beberapa perowi. Hal ini berdampak pada sebagian sikap umat Islam yang tidak menerima hadits ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Karena menurut mereka hadits ahad yang sifatnya zhon tidak dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti akidah.

Argumen kelompok penerima kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah dengan hadits maupun al-Quran, sebagai berikut:

۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢

 

Artinya:   Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At Taubah: 122)

Menurut ayat di atas, merupakan fardhu kifayah bagi sebagian kelompok orang-orang mukmin untuk pergi mendalami agamanya meliputi aspek aqidah atau pun hukum. Thaifah (kelompok) dalam bahasa Arab mengandung arti satu orang atau lebih.[14]

Kalau sekiranya tidak boleh berhujjah dengan hadits ahad dalam aspek aqidah maupun hukum, niscaya Allah     dalam ayat di atas, tidak mengkhususkan mereka  untuk menyampaikan ilmu (tabligh), (“Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Dengan demikian ayat tersebut menegaskan bahwa ilmu termasuk kandungan hadits ahad.

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

 

Artinya: “Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang mendengarkan hadits dari kami lalu menghafalnya hingga menyampaikannya. Berapa  banyak orang yang mendengar hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaiknnya. Berapa banyak orng yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari padanya, dan berapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak mengerti.[15]

Bantahan terhadap dalil al-Quran pun mereka gunakan. Pemakaian kata zhon  memiliki makna kontradiktif. Bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakin.  zhon adalah keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti dan menghukuminya. Menghukumi yaitu jika zhon itu lemah disebut waham. Jika zhon itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan kejelasan beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin. Dalam Alquran terdapat kata zhon yang merujuk masalah aqidah dan Allah memujinya. Ayat yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam sholat adalah “alladzina yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum ilahi raaji’un” (QS. Al-Baqarah: 46). Menurut ulama tafsir antara lain Wahbah Zuhaili, zhon dalam ayat itu bermakna keyakinan yang pasti yang tidak dipengaruhi oleh keraguan.[16] Demikian pula, zhon yang berkaitan dengan hadits ahad yang shohih adalah zhon yang meyakinkan, sebab indikasi kebenaran otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW telah dibuktikan melalui serangkaian penelitian. Sementara menolak berhujjah dengannya berarti mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang dibawa hadits itu. Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah didasarkan pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhon) itu sendiri.

 

3.           Analisis Kehujjahan  Hadits Ahad Dalam Aqidah

Kontroversi tentang apakah hadits ahad dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadits ahad itu berfaedah qath’i atau zhonniPerdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadits ahad sebagai hujjah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat memberikan suatu kepastian yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhonni akan menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah.

Pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dha’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :

1.       Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan). [17]

2.       Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dhla’if, Maudlu’.[18]

Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.

Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dhorury (aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .

Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nazhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan), maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan).

Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak.

Penentuan jumlah perawi tertentu yang bersifat baku justru tidak realistis mengingat perbedaan yang cukup signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap perawi sebagaimana tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil. Perbedaan peringkat ta’dil sejumlah perawi tertentu dengan perawi yang lainnya berimplikasi pada perbedaan bobot kesahihan hadis yang diriwayatkan masing-masing. Dengan demikian, logis bila penetapan standar minimal tertentu untuk jumlah perawi mutawatir sulit dilakukan.

As-Sayuti di dalam bukunya menjelaskan, “sesungguhnya para ulama khususnya muhadditsin, tidak pernah mengatakan bahwa hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah. Yang mereka katakan hanyalah hadits shahih dan hadits hasan dapat menjadi hujjah dalam ajaran islam, baik masalah aqidah, syariah, maupun akhlak. Sedangkan hadits dhoif tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah aqidah dan syariah tetapi hanya dapat dipakai dalam masalah fadhoilul a’mal dengan syarat-syarat tertentu.

Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidah Islam yang harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafat nabi SAW di hari akhir, mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan seterusnya.[19]

 

D.      Ikhtilaful Hadits

ikhtilaf  berasal   dari   bahasa   Arab   yang   berarti   ketidaksamaan, ketidakserasian, atau ketidak cocokan. Ketika ikhtilaf diletakkan sebagai subjek dapat diartikan “yang tidak sama, yang tidak serasi, yang tidak cocok”. Apabila kata ikhtlilaf dipadukan dengan hadits, maka ia menjadi  “ikhtilaf hadits” yang berarti hadits-hadits yang satu sama lain mengandung ketidaksamaan, ketidakserasian, atau ketidakcocokan.[20] Dapat dikatakan   bahwa ilmu ikhtilaf al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang lahirnya saling berlawanan, lalu menghilangkan   pertentangan atau mempertemukan antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana juga membahas hadits-hadits yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesukaran dan menjelaskan hakikatnya.

Sebagai Ulama pertama yang membicarakan masalah ini adalah al-Imamal-Syafi’I dalam kitabnya al-Umm dalam bab mukhtalif al-hadits, dia menawarkan metode al-jam’u sebagai upaya untuk mempertemukan kedua hadits itu. Perlu digaris bawahi bahwa pertentangan yang terjadi dalam hadits tersebut adalah pertentangan dalam arti dhahir, sedangkan secara substantive, sama sekali tidak bertentangan, bahkan saling mendukung sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi. Dapat dikatakan bahwa dalam menyelesaikan pertentangan hadits ini,metode pertama yang ditempuh oleh para Ulama fiqih dan hadits adalah jam’u (al-taufiq, al-talfiq atau al-ta’lif),[21]  Barulah setelah itu menempuh langkah lain secara bertahap seperti  al-naskh, al-tarjih dan al-tawaqquf.

a.   Al-jam’u   bermakna  mengumpulkan atau menggabungkan. Kata ini semakna dengan  al-taufiq.  Al-jam’u dalam pengertian yang diberikan ulama ushul  adalah mengalihkan makna dari setiap dalil kepada  makna yang  lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi. Imam Syafi’I juga memakai  metode al-jam’u sebagai prioritas di atas metode/kaedah lain.

Adapun cara  jam’u wa taufiq pada dua dalil yang berlawanan adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman :

1.   Menakwilkan salah satu nash itu sehingga tidak berlawanan dengan nash yang lain.

2.   Salah satu nash dijadikan takhsish terhadap nash lain.[22]

 

b.     Tarjih sebagaimana  disebutkan  oleh Hasbi Ash-Shiddiqie  adalah menampakkan  suatu kelebihan salah satu dari dua dalil yang serupa dengan sesuatu yang tidak berdiri  sendiri.[23] maka apabila telah nyata kerajihan salah satunya, hendaklah mengamalkan yang rajah itu. Tarjih dalam ta’rif ulama ushul adalah menjadikan sesuatu lebih kuat  atau mempunyai  kelebihan. Tarjih merupakan jalan terakhir yang  ditempuh untuk menyelesaikan  problema  hadits  mukhtalif setelah  menempuh jalan  al-jam’u   dan   jalan nasakh.

Dalam mentarjihkan hadits ada beberapa  aspek antara lain :

1.   Mentarjihkan dengan memperhatikan kualitas sanad. Apa yang diperhatikan dalam tarjih sanad ini adalah mendeteksi ittisalnya hadits, kemudian jumlah periwayat dan jalur periwayatan hadits. Disamping jumlah periwayat, kualitas ketinggian sanad termasuk aspek terpenting yang harus diperhatikan, apakah sanad hadits tersebut tergolong hadits mutawatir, masyhur, ahad atau mursal.

2.   Mentarjih dengan  memperhatikan  sifat-sifat periwayat.  Sifat-sifat periwayat  yang utama adalah adl dan dhabt,  periwayat yang tidak dhabt  mudah sekali terjebak dalam kesalahan menyampaikan riwayat, demikian pula dengan periwayat yang tidak adl,  tidak segan-segan untuk melakukan kebohongan. Oleh karena itu, sasaran utama yang menjadi perhatian dalam persoalan sifat-sifat periwayat ini adalah masalah keadilan dan kedhabitan periwayat.

3.   Mentarjih dengan  memperhatikan keadaan matan.

4.   Mentarjih dengan memperhatikan perkara (persoalan hukum) yang keluar dari sebuah hadits. Perkara yang keluar dari sebuah hadits mesti sejalan dengan kandungan ayat al-Quran, hadits dan Qiyas. Jika berlawanan dengan ketiganya, maka yang dipegang adalah yang tidak berlawanan[[24]]

 

c.      Ikhtilaf al-Hadist dengan Pendekatan Nasikh wal Mansukh

Secara etimologi kata naskh mengandung arti pembatalan (al-ibthal), penghapusan (al-izalah), dan memindahkan (an-naql) dan memalingkan (al-ta’wil).[25] Sedangkan secara terminologi arti dari naskh  adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Maksudnya adalah suatu hukum yang sebelumnya berlaku, kemudian hukum tersebut menjadi hilang dengan datangnya dalil hukum yang baru. Hukum yang lama dinamakan mansukh dan dali yang datang kemudian dinamakan nasikh. Pada dasarnya kajian tentang  naskh  merupakan objek kajian ilmu ushulfiqih, karena hakikatnya untuk mengetahui tentang  naskh  secara komprehensif dapat dilihat dari kitab-kitab ushul fiqih. Kendati demikian naskh dalam hadits-hadits Rasulullah juga dibicarakan, yang pada akhirnya melahirkan suatu ilmu yang dinamakan ilmu naskh al-hadits wal mansukh. Untuk mengetahui naskh dan mansukh  terdapat beberapa cara diantaranya adalah:

1. Keterangan tegas dari Rasulullah SAW atau Sahabat, seperti hadits“aku dulu pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah kuburlah.”

2. Ijma’ umat bahwa ayat ini adalah nasikh dan itu adalah mansukh.

3. Mengetahui   mana yang terlebih dahulu dan mana yang datang kemudian berdasarkan sejarah. Berikut adalah contoh hadits mukhtalif yang diselesaikan dengan cara Naskh dan Mansukh oleh Al-Syafi’I yang artinya: “Hadits Syaddad Ibn Aws, dia berkata: Aku pernah bersama Nabi pada tahun memasuki kota Mekkah, Nabi melihat seseorang berbekam yaitu pada hari ke 18 dari bulan  Ramadhan. Sambil memegang tanganku beliau bersabda “Yang berbekam dan yang dibekam batal puasanya”  (H.R al-Syafi’i).

Hadits Kedua, yang artinya: “Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam sedang dia dalam keadaan ihram dan berpuasa (H.R al-Syafi’i).

Hadits yang pertama menyatakan bahwa berbekam membatalkan puasa, baik  yang   membekam   ataupun yang dibekam. Namun ketentuan  ini berbeda dengan hadits yang kedua, yaitu menyatakan  bahwa pembekaman tidak membatalkan puasa. Jadi menurut  al-Syafi’I kedua hadits ini tidak mungkin dikompromikan, sehingga  salah satu dari hadits tersebut haruslah dihapuskan secara hukum atau dinasakh. Menurutnya hadits yang pertama terjadi pada tahun ke 8 H, dimana waktu itu Rasulullah belum pernah mengerjakan ihram. Sementara itu hadits yang kedua Rasulullah mengerjakan Ihram sambil berpuasa yang terjadi pada tahun ke 10 H. Oleh karena itu hadits yang pertama menjadi Nasikh dan Hadits kedua menjadi Mansukh.

d.     Ikhtilaf al-Hadist dengan Pendekatan Tawaqquf

Jika ketiga pendekatan di atas tidak dapat menyelesaikan persoalan juga, maka langkah terakhir adalah al-tawaqquf. Secara bahasa al-tawaqquf sama dengan talawwum atau talabbath, yang berarti menunda atau menanti. Adapun al-tawaqquf dalam konteks pemahaman hadits-hadits kontradiktif adalah mendiamkan untuk sementara waktu, dalam arti kata tidak mengamalkan atau menggunakan salah satu dari hadits-hadits kontradiktif itu hingga tampak makna yang lebih unggul atau sampai Allah memberi petunjuk. Namun sikap tawaqquf menurut Abdul mustaqim sebenarnya tidak menyelesaikan masalah melainkan membiarkan atau mendiamkan masalah tersebut tanpa adanya solusi. Padahal sangat mungkin diselesaikan melalui ta’wil. Oleh karena, teori tawaqquf harus dipahami sebagai sementara waktu saja, sehingga ditemukan ta’wil yang rasional mengenai suatu hadits dengan ditemukannya suatu teori dari penelitian ilmu pengetahuan atau sains, maka tawaqquf tidak berlaku lagi.[26]

 

E.      Fiqih dikalangan HTI tentang hadits ahad

Berbicara mengenai pandangan HTI dalam bidang ibadah, ada beberapa temuan menarik tentang hal ini. Pertama, ternyata dalam hal ibadah, HTI secara institusi tidak ikut melakukan intervensi kepada jamaahnya. Bahkan hampir tidak ada arahan bagaimana metode baku dalam berijtihad di bidang ibadah. Hizbut Tahrir juga sama sekali tidak pernah membuat semacam kitab fiqh ibadah. Kedua, sepanjang penulis ketahui dengan mengikuti berbagai aktivitas mereka selama proses penulisan makalah ini, dalam kesehariannya aktivis HTI dalam hal ibadah, tidak seragam gaya dan ekspresinya sebagaimana dalam hal urusan politik. Sepertinya mereka sangat dipengaruhi kultur keagamaan mereka sebelum masuk HTI. Kita harus tahu bahwa Aktivis HTI dulunya ada yang berlatar belakang kultur Nahdiyin, Muhammadiyah, Persis dan Ormas keagamaan lainnya. Dalam perkara yang sangat luas, para aktivis HTI menggunakan kitab-kitab dari berbagai mazhab untuk selanjutnya dicari mana dalil terkuatnya (tarjih). Hanya saja HTI tidak seperti bathsul masa’il NU yang tidak akan menggunakan kitab-kitab karya ulama tertentu seperti Ibnu Taymiyah, Yusuf Qaradhawi, Said hawwa, Nashirudin al-banni, dan Syaikh bin Baz. Mengenai metode tarjihnya, kita tidak bisa membandingkan dengan metode tarjih milik Muhammadiyah yang sudah mapan. Karena aktivis HTI sendiri kurang detail dalam menjabarkan proses metode tarjihnya. Walaupun tidak dijelaskan metode tarjihnya secara lengkap, tapi petinggi HTI khususnya di kota Malang dalam persoalan ibadah menginginkan agar setiap anggotanya idealnya memakai dalil terkuat (metode tarjih). Apabila tidak bisa mentarjih sendiri, bermazhab atau bahasa lainnya taklid pun tidak dilarang. Asal kepada mujtahid yang dipercayai kadar keilmuwannya. Persoalan pembolehan bermazhab dan taklid dalam urusan ritual ibadah di kalangan aktivis HTI sangatlah unik untuk dibahas lebih lanjut, mengapa? Karena HTI sebagai gerakan Islam (revivalisme) mengambil sikap berbeda dengan gerakan revivalis lainnya seperti salafi, Muhammadiyah maupun Persis. Ketiga ormas/ harakah yang peneliti sebutkan secara tegas menolak taqlid, sedangkan HTI tidak melarang aktivisnya untuk taklid. Sikap ini sangat berguna untuk meminimalisir perpecahan internal organisasi karena masalahmasalah furu’ dan khilafiyah sebagaimana yang pernah terjadi di dalam tubuh Masyumi di masa lalu.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan ritual ibadah, yang diadopsi oleh HTI hanya seputar ibadah yang berkaitan dengan kesatuan umat muslim dan penampakan syiar keagamaan seperti shaum ramadhan, shalat ied, zakat dan jihad. Contoh yang masalah ritual ibadah yang pernah diadopsi oleh HTI adalah Sholat ied berdasarkan rukyatul global dan Hukum Doa bersama lintas agama. Sebagian besar lainnya ada yang diatur secara tegas dalam buku pegangan resmi “annizham al-ijtima’i ”. Dalam buku tersebut diatur: Muslimah tidak wajib menutup wajahnya dengan cadar, larangan bertabaruj, wanita-wanita yang haram dinikahi, poligami, Hukum Azl, kewajiban pemisahan antara pria dan wanita dalam pergaulan sehari-hari. Di luar itu, pengadopsian hukum tertentu dalam masalah ibadah akan menimbulkan kesempitan (haraj) bagi kaum Muslimin, sementara haraj itu tidak boleh ada dalam masalah agama.

Tudingan-Tudingan Miring

Hizbut tahrir, hanyalah salah satu contoh saja dari sekian banyak kelompok, gerakan, atau paham keagamaan baru yang terus berkembang di masyarakat. Terkadang banyak orang awam yang tidak begitu mengenal HTI terkecoh dan buru-buru menyamakan HTI dengan PKS, ada juga yang langsung melabeli HTI sebagai gerakan Wahabi bahkan ada yang secara ekstrem menjuluki HTI sebagai neo-Mutakzilah dikarenakan mereka tidak percaya adanya azab kubur.

Baiklah tudingan-tudingan tersebut tidak sepenuhnya benar dan perlu diluruskan supaya tidak menjadi fitnah. Pertama, HTI dan PKS adalah organisasi yang sama bahkan ada yang curiga bahwa sebagian kader PKS di perlemen berasal dari kader HTI. Anggapan seperti ini tidak benar, seperti yang sudah saya ulas di awal makalah ini bahwa aktivis HTI pernah bersatu bersama jamaah Tarbiyah dalam wadah Lembaga dakwah kampus (LDK). Tapi pada suatu saat mereka berjalan sendiri-sendiri (pisah) karena masing-masing memiliki buku pegangan dakwah dan strategi penegakan Syariah Islam. Pada awalnya, PKS dan HTI sama-sama memperjuangkan tegaknya Khilafah, namun Khilafah tidak menjadi agenda inti PKS. Mereka menawarkan gagasan Masyarakat madani sebagai alternatif untuk konteks Indonesia.

Kedua, HTI adalah Wahabi atau setidaknya mirip wahabi. Persepsi ini muncul disebabkan menurut sebagian masyarakat awam, aktivis HTI tidak suka dengan tradisi lokal seperti tahlilan, yasinan, manaqiban dan barzanji. Tuduhan tersebut tidak benar. Seperti yang penulis ungkap pada sub bab Fikih Ibadah, HTI tidak mengurusi masalah ritual jamaahnya, HTI tidak melarang jamaahnya yang berkultur NU untuk tidak tahlilan, ziarah kubur dsb. Penulis mempunyai banyak teman HTI yang berkultur NU, mereka tetap enjoy melakukan tradisi NU tanpa ada larangan dari elit HTI. Bagi HTI, jika umat mengurusi hal-hal sepele semacam ini, tentu akan menguras banyak energi dan mengalihkan umat kepada agenda menegakkan Khilafah.

Ketiga, HTI itu neo-Mutakzilah. Tudingan semacam ini muncul karena HTI ditengarai tidak mempercayai adanya azab kubur, hadist-hadist yang berkaitan dengan masalah ini menurut HTI kebanyakan adalah hadist ahad. Sedangkan kalau kita lihat sikap HTI soal hadist ahad hanya mau menerima hadist ahad dalam perkara hukum-hukum syara’ selama hadist tersebut shahih. Sedangkan akidah, karena akidah adalah pembenaran yang pasti sesuai dengan fakta (kenyataan) yang disertai dengan dalil yang bersifat pasti pula, dan selama hal itu menjadi hakekat akidah sekaligus faktanya, maka dalilnya mau tidak mau harus menjadi penjelas melalui pembenaran yang pasti. Ini tidak akan tercapai kecuali jika dalilnya sendiri merupakan dalil yang bersifat pasti (jazm). Dalil dzanni tidak bisa menjelaskan perkara (yang bersifat) pasti sehingga tidak bisa menjadi dalil yang (bersifat) pasti. Khabar ahad tidak layak menjadi dalil untuk perkara akidah, karena bersifat dzanni. Akidah harus (berdasarkan dalil) yang meyakinkan.[27]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Kesimpulan

 Ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadis Mutawatir dan hadis Ahad. hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir. Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib. Sedang hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diperoleh dari hasil tanggapan pancaindra perawi hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi hadis yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk melakukan diskusi

Masalah hadits ahad, apakah dapat menjadi dalil dalam aqidah atau tidak, memang telah menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama-ulama sejak dahulu hingga kini. Mereka telah mencurahkan segenap kemampuan dan keikhlasan untuk berpendapat dengan berbagai argumen dalil masing-masing. faktor terpenting bukan hanya bersandar pada kuantitasnya tetapi sempurnanya kepercayaan kepada kualitas perawi. Mantapnya keyakinan dalam menerima hadis ahad bergantung pada penelitian dan langkah-langkah ilmiah dalam menverifikasi otentisitas dan validitas hadis . Jika faktor-faktor kesamaran yang meragukan dapat dihilangkan maka implikasinya adalah keyakinan semakin bertambah kepada otentitas dan otoritas hadis tersebut. Kehujjahan hadits ahad dapat dipergunakan dalam masalah aqidah, apabila  sudah diteliti dari berbagai aspek sehingga hadits itu  memenuhi kriteria hadits sahih.

ilmu ikhtilaf al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang lahirnya saling berlawanan, lalu menghilangkan   pertentangan atau mempertemukan antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana juga membahas hadits-hadits yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesukaran dan menjelaskan hakikatnya. Dalam   menyelesaikan   hadits-hadits   yang   mukhtalif   ada   beberapapendekatan   yang   dilakukan   oleh   para   Ulama,   yaitu   :  al-jam’u(mengkompromikannya), Tajih (menguatkan salah satu dari kedua hadits),an-naskh  (menghapus   salah   satu   hadits)   dan  tawaqquf  (meninggalkankedua-dua hadits tersebut)

Hizbut tahrir, hanyalah salah satu contoh saja dari sekian banyak kelompok, gerakan, atau paham keagamaan baru yang terus berkembang di masyarakat. Berbicara mengenai pandangan HTI dalam bidang ibadah, para aktivis HTI menggunakan kitab-kitab dari berbagai mazhab untuk selanjutnya dicari mana dalil terkuatnya (tarjih). HTI tidak mempercayai adanya azab kubur, hadist-hadist yang berkaitan dengan masalah ini menurut HTI kebanyakan adalah hadist ahad. Sedangkan soal hadist ahad hanya mau menerima hadist ahad dalam perkara hukum-hukum syara’ selama hadist tersebut shahih. Sedangkan akidah, karena akidah adalah pembenaran yang pasti sesuai dengan fakta (kenyataan) yang disertai dengan dalil yang bersifat pasti pula, dan selama hal itu menjadi hakekat akidah sekaligus faktanya, maka dalilnya mau tidak mau harus menjadi penjelas melalui pembenaran yang pasti. Wallahu ‘Alam bish showab

 

 

 

 

 

 

 


Daftar Pustaka

 

Ltr, Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012)

M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Pres, 2008)

Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005)

Saefulloh, Yusuf, dan Sumarna, Cecep, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)

Hassan, Qadir A, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007)

Faturrahman, Ikhtisar Musthalah Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif, 1991)

Azami, MM, Studies in Hadits: Metodologi and Literature, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992)

Syaltut, Mahmud, Aqidah dan Syariah Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)

Shihab, Quraish M, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004)

Wahbah Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, (Damsyik: Darul Fikr, 2009)

Yaqub, Mustafa Ali, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)

Ansyari,  Saifullah. khazanah pemikiran Al-Syafi;I dan Ibnu Taimiyah dalam memahami hadits Mukhtalif, Itesis program Magister (Banda Aceh, IAINAr-Raniry, 2002)

Djuned, Daniel. Paradigm baru studi ilmu hadits, rekonstruksi fiqh al-hadits.(Banda Aceh: Citra Karya), cet. I, 2002.

Yahya, Mukhtar dan  Fatchur Rahman.Dasar-dasar Pembinaan Hukum  Islam.(Bandung: al-Ma’arif). 1997.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie.Pengantar Hukum Islam.(Semarang: PustakaRizki Putra).2001

Hasbalah, Ali. Ushul tasyri’ al-islami. Darul Ma’arif.Mesir. 1976

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadis: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Odea Press, 2009)

Arifian, Ahmad. Paham Keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia (http://lp2m.um.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/d.pdf)

 


PENDAHULUAN

Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam Islam. Orang-orang yang bergelut di dalamnya telah menyandang keharuman tersendiri dalam sejarah. Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu/pemimpin Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan yang Selamat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي. وفي لفظ : وهي الجماعة

Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan terpecah umat ini menjadi tujuhpuluh tiga kelompok yang kesemuanya masuk neraka kecuali satu”. Para shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan para shahabatku di hari ini”.  [HR. Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 724].

Ashhaabul-Hadits adalah orang-orang yang paling mengerti maksud dan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka lah orang yang telah menghabiskan waktu dan usianya untuk mempelajari hadits-hadits, memilah antara yang shahih dan yang dla’if, serta kemudian memberikan penjelasan kandungannya.

Bila ada permasalahan yang berkaitan dengan hadits dan sunnah Nabi, tentu Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits) lah yang paling mengetahui. Bukan selainnya, seperti dari kalangan ahlul-kalam, ahlul-ushul, dan yang semisal. Imam Ibnul-Qayyim mengatakan :

وكذلك لا يعتبر في الإجماع على صدق الحديث وعدم صدقه إلا أهل العلم بالحديث وطرقه وعلله ، وهم علماء الحديث ، العالمون بأحوال نبيهم ، الضابطون لأقواله وأفعاله ، المعتنون بها أشد من عناية المقلدين لأقوال متبوعيهم ، فكما أن العلم بالتواتر ينقسم إلى عام وخاص ، فيتواتر عند الخاصة ما لا يكون معلوماً لغيرهم ، فضلاً أن يتواتر عندهم ، فأهل الحديث لشدة عنايتهم بسنة نبيهم ، وضبطهم لأقواله وأفعاله وأحواله يعلمون من ذلك علماً لا يشكون فيه مما لا شعور لغيرهم به البتة

“….Demikian pula dalam perkara yang berkaitan dengan membenarkan sebuah hadits atau tidak, mesti disepakati oleh para ahli hadits yang lebih memahami jalur periwayatan dan ‘illat-nya. Mereka itu adalah ulama hadits, karena mereka mengetahui keadaan nabi mereka, yang senantiasa memelihara sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, dan memiliki perhatian lebih terhadap periwayatan dibandingkan mereka yang masih ber-taqlid pada perkataan-perkataan yang mereka ikuti. Sebagaimana ilmu pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu khusus dan ilmu umum. Maka ada ilmu yang diyakini oleh orang khusus dimana tidak diketahui oleh orang lain, apalagi diyakini. Dan Ahlul-Hadits dengan perhatian mereka yang lebih kepada sunnah Nabi mereka, pemeliharaan mereka atas sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau; mereka mengetahui permasalahan ini dan tidak meragukannya. (Dan tentu mereka sangat berbeda) dibandingkan orang-orang selain mereka yang tidak mempunyai perasaan perhatian kepada sunnah Nabi sebagaimana mereka” [Mukhtashar Ash-Shawaaiqul-Mursalah juz 2 hal. 373 melalui perantara kitab Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil-‘Aqaaid wal-Ahkaam hal. 70-71; Maktabah Sahab].



[1] Dr.Nuruddin ‘ltr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 417

[2] Nuruddin ‘ltr, Op.cit, hlm. 418

[3] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Pres), 2008. hlm. 86.

[4] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 2005. hlm. 113.

[5] Nuruddin ‘Itr. Ibid, hlm. 436-438.

[6] Yusuf Saefullah, Cecep Sumarna, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm. 62

[7] Nuruddin ‘ltr, Op.cit, hlm. 196.

[8] A. Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hlm. 43-44

[9] Faturrahman, Ikhtisar Musthalah Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif, 1991), hlm. 60.

[10] MM. Azami, studies In Hadits: Metodologi and Literature, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 73.

[11] Faturrahman, Op.cit, hlm. 65.

[12] Mahmud Syaltut, Aqidah dan Syariah Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 57-59. Lihat pengertian hadis mutawatir

[13] Dari ketiga ayat tersebut bahwa sesuatu yang zhonni tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak menghasilkan kepastian.

[14] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2004), vol. V, hlm. 750.

[15] Hadis ini jelas sekali menjelaskan bahwa mendengar hadis yang menyampaikannya kembali, meski dilakukan oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan dibenarkan. Baik terkait masalah aqidah, syariah, atau muamalah.

[16] Wahbah Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, (Damsyik: Darul Fikr, 2009), hlm. 167.

[17] Kriteria hadis shahih adalah sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi tsiqqoh, tidak ada unsur syadz dan illat. Imam Syafi’i yang pertama menetapkan kriteria ini.

[18] Hadis mardud ialah hadis  yang tidak memenuhi syarat –syarat atau sebagian hadis maqbul. Para ulama mengelompokan dua: hadis dhoif dan hadis maudhu’

[19] Ali mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 133.

[20] Saifullah Ansyari, khazanah pemikiran Al-Syafi;I dan Ibnu Taimiyah dalam memahami hadits Mukhtalif, Itesis program Magister (Banda Aceh, IAIN Ar-Raniry, 2002), Hal. 2

[21] Daniel Djuned, paradigm baru studi ilmu hadits, rekonstruksi fiqh al-hadits,(Banda Aceh: CitraKarya), cet. I, 2002, hal.77

[22] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, dasar-dasar pembinaan hukum Islam, (Bandung: al-Ma’arif), 1997. hlm, 477

[23] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie, pengantar hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra), 2001, hlm. 284

[24] Saifullah Ansyari, khazanah pemikiran Al-Syafi;I dan Ibnu Taimiyah dalam memahami hadits Mukhtalif, Itesis program Magister (Banda Aceh, IAIN Ar-Raniry, 2002), hlm. 44

[25] Ali Hasbalah, ushul tasyri’ al-islami, Darul Ma’arif, Mesir. 1976, hlm. 212

[26] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadis: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Odea Press, 2009), hlm. 98-99

[27] Ahmad arifian, Paham keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia (pdf)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction