BAB I
PENDAHULUAN
A.
RELITIVITAS BAHASA
Realitivitas bahasa bukanlah hal baru dalam ilmu
kebahasaan khususnya linguistic walaupun pesona ilmu ini sempat memudar
pada abad ke 20an namun pada tahun 1970an ilmu ini kembali muncul. Orang
berbicara dengan cara yang berbeda karena setiap orang berpikir dengan cara
yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa menawarkan
cara mengungkapkan ( makna ) dunia luar disekitar mereka dengan cara yang
berbeda pula. [1]
Adapun
beberapa ilmuan yang mengemukakan pandangannya mengenai realitivitas bahasa
adalah:
a.
Teori Realitivitas
Bahasa Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm
Von Humboldt ( 1767-1835) merupakan bapak realitivitas bahasa , menurutnya ada
hubungan yang sangat erat antara masyarakat, bahasa dan budaya. Bahasa adalah
alat berpikir, yang sekaligus berpengaruh terhadap pola-pikir. Selanjutnya ia
menyatakan bahwa setiap bahasa berbeda dari bahasa lainnya, dan bahwa pikiran
dan bahasa merupakan dua entitas tak terpisahkan. Dua istilah kunci di sini
adalah pikiran dan bahasa. Bahkan von Humboldt menegaskan bahwa struktur bahasa
berpengaruh terhadap perkembangan pola-pikir manusia, dalam setiap bahasa
terkandung pandangan-dunia yang khas. Manusia selalu berhadapan dengan realitas
diluar dirinya, tetapi realitas itu hadir dan muncul dalam pikirannya melalui
medium bahasa yang khas. Maka pandangan-dunia seseorang, dan dengan demikian
juga suatu masyarakat, ditentukan oleh bahasa pertama mereka (Slobin 1996: 70).
Singkatnya, dalam pandangan Humboldtian, relativitas bahasa berarti
determinisme bahasa: suatu bahasa secara mutlak menentukan pola pikir
penuturnya.[2]
b.
Teori Realitivitas
Bahasa Ferdinand de Saussure
Ferdinand
de Saussure (1857-1913). Menurut de Saussure, setiap kata merupakan tanda
(sign); dan setiap tanda selalu terdiri atas penanda (signifier) dan petanda
(signified). de Saussure menyatakan bahwa bahasa, dalam pengertiannya yang
dinamis, bukanlah proses penamaan (name-giving), yang bertolak dari asumsi
bahwa ide atau makna lebih dulu ada sebelum kata. Sebaliknya, setiap kata hadir
sekaligus sebagai kesatuan penanda-petanda atau leksikalisasi. Setiap bahasa
memiliki leksikalisasi yang berbeda. Contoh yang terkenal dari de Saussure adalah perbedaan leksikalisasi antara bahasa
Perancis dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis, mouton berarti domba dan
daging domba sekaligus, yang masing-masing dibedakan menjadi sheep dan mutton
dalam bahasa Inggris. Dalam contoh ini, leksikalisasi bukan representasi dari
realitas obyektif di luar sana, melainkan representasi dari persepsi penutur
bahasa yang ditentukan oleh bahasanya. Dalam kaitannya dengan kesatuan
penanda-petanda, leksikalisasi sering bergandengan dengan gramatisasi. Istilah
yang terakhir ini berarti munculnya konsep menjadi penanda gramatik. Misalnya,
konsep waktu muncul sebagai kala (tense) dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab,
tetapi tidak dalam bahasa Indonesia. Perbedaan leksikalisasi dan gramatisasi
ini menembus la langue (dari setiap bahasa), yang merupakan sistem bahasa yang
berada dalam pikiran kolektif penutur bahasa. Akibatnya, karena setiap bahasa memiliki
sistem-ungkap leksikal dan gramatikal yang berbeda dari bahasa lainnya, maka muncullah
relativitas bahasa.
c.
Teori Realitivitas
Edward Sapir
Edward
Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von
Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas
kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya
bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu
masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa
itu. Karena itulah, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat dianggap
mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan”
satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya
masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang
ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga menyatakan apa yang kita lihat, kita
dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat
(tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahhulu. Pendekatan
Sapir-Whorf, yang lainnya menyatakan
bahwa persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita
miliki
d.
Teori Realitivitas
Bahasa Benjamin Lee Whorf
Benjamin
Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan
bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal
yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap
bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan
rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang
sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran
yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain. Sama halnya dengan
Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran
seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh,
whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas
minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak
di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect) pada kaleng
bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan
kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang
sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf,
tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan bahasanya. Menurut Whorf
selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk
mengungkapkan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan
program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan
kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang, bukan
kata-kata. Hipotesis Sapir-Whorf tampak lebih memfokuskan pada hubungan antara
tata bahasa dan pikiran manusia, bukan kata-kata (Chaer, 2009:53). Setelah
meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat,
dengan mendalam, Whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis
Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut
hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang
berbeda, sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang
tergantung pada bahasa-bahasa beragam yang digunakan oleh berbagai kelompok
masyarakat. Hipotesis relativitas linguistik beranggapan bahwa bahasa hanya
refleksi dari pikiran yang memunculkan makna. Bahasa memengaruhi pikiran,
sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya.
Determinisme linguistik adalah klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat
memengaruhi cara seseorang berpikir atau mempersepsi dunia. Whorf sangat
terkesan oleh kenyataan bahwa masing-masing bahasa menekankan pada perbedaan
struktur berdasarkan perbedaan aspek dunia sebagai landasan pembentukan
struktur tersebut. dia menyakini bahwa penekanan itu memberi pengaruh cukup
besar terhadap cara penutur bahasa berpikir tentang dunia. Whorf meyakini bahwa
kehidupan suatu masyarakat dibangun oleh sifat-sifat bahasa yang digunakan
anggota masyarakat tersebut. Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi
melalui habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya grammar dan
leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual
languages heavily constrain the conceptual representations available to their
speakers” (Grammar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu
representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut).
e.
Teori Realitivitas
Bahasa Sapir-Whorf dan Benjamin Lee Whorf
Ilmuan
realitivitas selanjutnya Sapir-Whorf dan Benjamin Lee Whorf hipotesisnya adalah
sebuah pernyataan dalam teori linguistik relativitas yang mengatakan bahwa ada
hubungan kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur. Lalu, dalam
proses berbahasa, terbukti bahwa kondisi dan kebudayaan seseorang sangat
mempengaruhi bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Pola budaya
suatu masyarakat, menurut hipotesis ini, mampu mengkonstruk klausa sehingga
memberikan variasi informasi dan kesantunan suatu bahasa. Hipotesis ini
didasari oleh penelitian Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf terhadap suku Hopi
di Afrika. [3].
Berikut
adalah keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Edward Sapir dan
Benjamin Lee Whorf. Sapir dan Whorf melihat bahwa pikiran manusia ditentukan
oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Sapir dan
Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
a)
Hipotesis pertama
adalah linguistic relativity hypothesis (hipotesis relativitas bahasa) yang
menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan
kognitif non bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan
bahasa tersebut.
b)
Hipotesis kedua
adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa
mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan
kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang
sudah ada dalam bahasa.
Selain
habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep
Sapir dan Whorf adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi
manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir. Untuk memperkuat hipotesisnya,
Sapir dan Whorf memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh yang diambil
adalah kata salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata
yang sama untuk menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun dari langit,
salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju tersebut
tetap dinamakan salju. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat, orang Eskimo memberi
label yang berbeda pada objek salju tersebut. Banyak lagi contoh yang lain,
misalnya orang Hanunoo di Filipina memiliki kira-kira 92 nama untuk berbagai
jenis rice (padi). Orang Arab memiliki beberapa nama untuk camels (unta). Whorf
merasa bahwa terminologi/istilah yang sangat beragam tersebut menyebabkan
penutur bahasa tersebut mempersepsi dunia secara berbeda-beda dari seorang yang
hanya memiliki satu kata untuk satu kategori tertentu. Sapir menolak pandangan
yang menyatakan bahwa berpikir dan bahasa merupakan dua entitas berbeda atau
berdiri sendiri. Sapir dan Whorf sepakat bahwa bahasa menentukan pikiran
seseorang. Jalan pikiran seseorang sangat ditentukan oleh bahasanya.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan
pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina,
dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang
sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina,
Jepang, Amerika, Eropa, Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur
bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan
kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi dioraganisasi berdasarkan
peristiwa-peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi
berdasarkan ruang (space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu
bibit ditanam maka bibit itu akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara
masa menanam dan tumbuhnya bibit tidaklah penting. Yang penting adalah
peristiwa menanam dan peristiwa tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan
Eropa jangka waktu itulah yang penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa
bahasa mereka telah menggariskan realitas hidup dengan cara-cara yang
berlainan. Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manusia, Whorf
menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai
pola yang sama dengan kalimat see that house. Dalam see that house kita memang
bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf
belum ada seorang pun yang melihat satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah
melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita. ini
adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti
ini; dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh
ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalkan. Bahasa bagi Whorf pemandu
realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuan sosial,
bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan
proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam
dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan
oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak
ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat
tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan
tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa
pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa
berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu
menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang
dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda
memiliki perbedaan sensori pula. Dari uraian di atas dapat saya simpulkan
bahwabahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu sama lain.karena yang
menentukan jalan pikiran seseorang adalah tata bahasa bukan kata-kata.oleh karena
itu, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya
komunikasi antara yang satu dengan yang laintetapi juga sebagai pedoman ke arah
kenyataan sosial.kenyataannya bahwa seseorang berbicara atau mengungkapkan
pendapatnya dengan cara/bahasa yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara
yang berbeda pula.[4]
B.
HUBUNGAN ANTARA Bahasa dan Pikiran
Para ahli linguistic dalam kajian widhiarso menguraikan
keterkaitan bahasa dan pikiran antara lain :
a.
Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman
terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran
manusia dapat terkondisikan oleh kata yang manusia gunaka. Misalnya orang
jepang mempunyai pemikiran yang sangat tinggi karena orang jepang memiliki
banyak kosa kata dalam menjelaskan realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka
mempunyai pemahaman yang mendetail mengenai realitas. Contoh khasus yang terjadi di Indonesia
terhadap bahasa sunda dimana bahasa sunda mempunyai kata yang bermakna dalam
menyebut Makan. Dan dalam pemikirannya orang sunda lebih kreatif dalam
melakukan berbagai hal misalnya dalam industry kreatif dan kiliner yang
beraneka ragam.[5]
b.
Pikiran mempengaruhi
bahasa
Pendukung pendapat ini
adalah tokoh psikologi kognitif jean piaget. Piaget mengobservasi perkembangan
aspek kognitif anak akan mempengaruhi
bahasa yang digunakan semakin tinggi
aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Contohnya bahasa-bahasa
ilmiah.
c.
Bahasa dan pikiran
saling mempengaruhi
Hubungan ini dikemukakan oleh benyamin
vigotsky , seorang ahli semantic dari rusia yang teorinya dikenal sebagai
pembaharu teori piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.
Penggabungan vigotsky terhadap kedua pendapat diatad banyak diterima oleh
kalangan psikologis.
Sapir
dan whorf berusaha untuk membuktikan bahwa memang terdapat hubungan antara
bahasa dan pikiran. Namun hingga sekarang pendapat ini masih sering
diperdebatkan oleh berbagai ilmuan. Salah satu fakta yang di paparkan adalah
dalam kehidupan sehari-hari seorang bayi yang belum memiliki bahasa secara
optimal sudah mampu menalar lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka.
Bukti
kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan
bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak memahami struktur symbol bahasa. Anak-anak
ini dapat menemukan isyarat gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan
pikiran dan keinginan mereka. [6]
BAB II
KESIMPULAN
[1]
Shihab muhamad “realivitas linguistic dank ode meluas dan terbatas “ pdf
electronic library program pasca sarjana universitas mercu buana. Diunduh pada
tanggal 21 april 2016
[2] “ hipotesis
sapir-whorf dan ungkap-verbal keagamaan” pdf didownload pada tanggal 21 april
2015 pukul 20.00
[5] Shihab muhamad “realivitas linguistic dank
ode meluas dan terbatas “ pdf electronic library program pasca sarjana
universitas mercu buana. Diunduh pada tanggal 21 april 2016
[6]
Widhiasono , w. (2005) “ hubungan antara bahasa dan pikiran “ perpustakaan
digital universitas gajah mada. Di unduh pada 21 april 2016
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar