Minggu, 29 Januari 2023 | By: namakuameliya

AL-JARH WA AL-TA’DIL

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadis sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari’at Islam. Diantaranya ada hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if. Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadis, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadis itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadis ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang dicantumkan di dalam sanad hadis itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadis bertentangan dengan dalil lain atau tidak.

Para ahli hadis sepakat bahwa untuk menilai kualitas hadis, terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanad-nya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi periwayat (rawi) hadis menyangkut dua hal; pertama, ke-‘adilan yang berhubungan dengan kualitas pribadi peri-wayat dan kedua, ke-dhabitan yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal tersebut ada pada periwayatan hadis maka periwayat itu dinyatakan tsiqah dan hadis yang diriwayatkannya, dapat diterima sebagai hujjah. 

Berkaitan dengan sanad ada ilmu rijal al-hadis dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil.  Dalam upaya memelihara ke-autentikan hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para ulama terus  berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. Dengan cara menilai para periwayat secara  jarh atau ta’dil. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadis yang diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak. Melalui syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para ulama hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat) dan ta’dil (bersih)nya. Dalam ilmu hadis, penyelidikan terhadap periwayat adalah kewajiban dalam rangka memelihara kemurnian sunnah Nabi yang didasarkan pada kaedah umum ajaran Islam.

Dalam kajian Ulumul Hadis, pembahasan mengenai keadaan pribadi periwayat hadis, baik mengenai kualitas pribadinya maupun kapasitas intelektualnya, merupakan fokus kajian ilmu Jarh dan Ta’dil. Kedudukan ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil  ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian hadis atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadis.

B.  RUMUSAN MASALAH

1.     Apa yang di maksud ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?

2.     Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?

3.     Apa kegunaan dan objek kajian ilmu al-Jarh Wa Al-Ta’dil?

4.     Bagaimana tingkatan dan hukum ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?

5.     Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan Tajrih dan Ta’dil Rawi?

6.     Apa saja Kaidah Tajrih dan Ta’dil?

7.     Apa saja syarat pentajrih dan penta’dil?

8.     Ada berapakah Hal-Hal Yang Menetapkan Ta’dil Dan Jarh Seorang Rawi?

9.     Ada berapakah pendapat tentang pertentangan Antara Al-Jarh Wa At-Ta’dil?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

AL-JARH WA AL-TA’DIL

A.    Pengertian

Kalimat ‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata جرج – يجرح , yang berarti, seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.

Secara terminologi al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bertolak riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang perawi dengan sifat sifat yang membawa konskuensi penilain lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.

Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.

Menurut bahasa Jarh diambil diambil dari kata Jaroha – Yajrohu – Jarhan artinya melukai, sedangkan menurut istilah ilmu hadits adalah menunjukan atau membayangkan kelemahan, celaan atau cacat seseorang rawi,atau melemahkan dia, maupun semua itubenar ada pada diri si rawi atau tidak.

Ta’dil” menurut bahasa artinya meluruskan, membetukan, membersihkan. Sedangkan “Ta’dil” menurut istilah mustholahul hadits  adalah menunjukan atau membayangkankebaikan atau kelurusan seseorang rawi, maupun semua itu benar ada pada diri si rawi atau tidak.(A. Qodir Hassan,2007. ilmu mustholahul hadist,bandung, diponegoro. Hal.445)

Menurut Endang soetari AD dalam bukunya mengatakan bahwa Al-Jarhu atau tajrih  artinya mencatatkan, yakni menuturkan sebab – sebab keaiban rawi. Perbuatan tarjih termasuk mengumpat yang dibolehkan agama, sebab untuk keperluan agama dan tidak melampaui batas kemanusiaan.

Sedangkan ta’dil artinya menganggap adil seorang rawi, yakni memuji rawi dengan sifat- sifat yang membawa maqbulnya riwayat.

Jadi, ilmu Jarh wa atta’dil adalah ilmu tentang hal ihwal para rawi denganhal mencatat keaibannya dan memuji keadilannya.

B.    Sejarah timbulnya jarh watta’dil dan ulamanya

Ilmu ini tumbuh bersama – sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadits – hadits yang shohih perlu mengetahui keadaan rowinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rowi atau kedustaanya hingga dapatlah merasa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak . karena itu para ulama menanyakan keadaan para perawi meneliti kehidupan ilmiah mereka, hingga memgetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan orang yang lebih lama menyertai gurunya. Para ulam hadits yang telah menepatkan lapadz – lapadz Ta’dil yaitu : Ibu al Abi hatim, Ibnu Sholah, dan Annawawi adz-Dahabi Hafiz Ibnu Hajar.demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam.

Mengenai jumlah ahli yang melakukan jarh dan Ta’dil menurut pendapat yang dipandang benar bahwa Jarh dan Ta’dil bias dilakukan oleh seorang ahli. Ada yang berpendapat harus dilakukan oleh dua orang ahli. Ketika jarh dan ta’dil berkumpul pada diri seorang rawi, maka jarh pada diri rawi itu lebih dulu dilakukan. Namun, ada yang berpendapat jika banyak para ahli yang meta;dilnya, amka ta’dil lebih dulu di ta’dilkan.

 

C.    Kegunaan dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh Wa al-Ta’dil

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa dierima atau harus ditolak. Apabila seorang rawi “di-jarh” oleh para ahli hadis sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

Adapun objek/Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah sebagai berikut:

a.      Untuk menghukumi / mengetahui status perawi hadis

b.     Untuk mengetahui kedudukan hadis / martabat hadis, karena tidak mungkin                 mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa al-ta’dil       

c.      Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta perkara yang berkaitan dengannya.

 

 

D.    Tingkatan Jarh Watta’dil

Keadilan dan kecacatan seorang perawin itu sangat penting sekali untuk kita ketahui, sebagaimana Ibnu Hatim dalam mukoddimah kitabnya “Al –Jarh wa at-Ta’dil membagi tingakatanjarh watta’dil ke dalam empat tingkatan dan menjelaskan hokum setiap tingkatannya, maka jadilah tingkatan jarh wa ta'dil itu enam tingkatan:

  1. Lafadz untuk menta’dilkan antara lain:

a.      Lafadz yang menunjukan pada mubalaghah (sangat) dalam kepercayaan atau dengan menggunakan wazan af'ala, dan ini merupakan tingkatan teratas. Contoh: أوثق الناس"orang yang paling teguh hati dan lidahnya"  "orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya"

b.     Lafadz yang diperkuat dengan satu sifat atau lebih dari sifat-sfat tsiqah, seperti:ثقة ثقة "orang yang tsiqah (lagi) tsiqah"  " orang yang teguh (lagi) tsiqah"

c.      Menunjuk keadilan dengan satu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, 

misalnya: متقن"orang yang menyakinkan ilmunya"

d.     lafadz yang tidak menunjukan adanya kedhobitan, hingga perlu diuji dan di selidiki haditsnya:

صدوق، مأمون، لابأس به

e.      lafadz yang tidak menunjukkan kesangatan (mubalaghoh)

محالة الصدق: جيّد الصدق: حسن الحديث: مقارب الحديث.

f.      Lafadz – lafadz tersebut baru lalu dengan diiringi lafadz muusyi’ah (Insya Allah) Atau dimulai dengan pengharapan atau ditashghirkan (dianggap kecil):

صدوق إن شاء الله، فلان أرجو بأن لابأس به، فلان صويلح، فلان مقبول.

2.     Lafadz untuk mentajrihkan antara lain:

a.      Lafadz berwazan af’al Tafdhil dari lafadz Kadziba atau Wadho’a atau dibubuhi lafadz  Muntaha:

أوضع الناس، أكذب الناس، إليه المنتهى في الوضع

b.     Shigot mubalaghoh dari lafadzdiatas:

كذّاب، وضّاع، دجّال.

c.      Lafadz – lafadz tuduhan bersifat dusta atau lafadz yang lebih ringan:

فلانٌ متهمٌ بالكذب، أو متّهم بالوضع: فلان ساقط فلان فيه النظر: فلان ذاهب الحديث: فلان متروك الحديث

d.     Lafadz tuduhan tercacat

مطرح الحديث: فلان ضعيف : فلان مردود الحديث.

e.      Lafadz yang mengandung arti tidak dapat dipakai berhujjah yang semakna dengan lafadz tersebut

فلان لا يحتج به : فلان مجهول: فلان منكر الحديث: فلان مضطرب الحديث: فلان واهن

f.      Lafadz lain

ضعف حديثه: فلان مقال فيه: فلان فيه خلفٌ: فلان ليّن: فلان ليس بالحجّة: فلان ليس بالقوي

E.    Hal – Hal Yang Berkaitan Dengan Tajrih & Ta’dil Rawi

1.     Hal-hal yang berkaitan dengan tajrih rawi

a.      Bid’ah. Yakni mempunyai I’tikad berlawanan dengan dasar syari’at. Orang tersebut digolongkan sebagai orang fasik. Bid’ah juga bias digolaongkan kafir, seperti golongan Rofidhoh yang mempercayai bahawa Tuhan menyaatu dengan ‘Ali dan imam – imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali ke dunia sebelum kiamat.

b.     Mukholafah, yakni perlawanan sifat adil dan dhobit  seorang rawi dengan rawi lain yang lebih kuat yang tidak di jama’kan atau di kompromikan.

c.      Gholat, yakni kesalahan, baik sedikit, seperti lemah hafalan atau salah sangka maupun banyak salah.

d.     Jahalah al – Hal, yakni tidak diketahui identitasnya.

e.      Da’wa al Inqitho’, yakni mendakwa terputusnya sanad.

Dalam keterangan lain ada beberapa hal-hal yang berkaitan dengan tajrih yaitu:

a.      Dusta,  bahasa arabnya; Kidzib, orang yang berdusta dikatakan Kadzib. Kalau orang itu sering berdusta (tukang berdusta), disebut: Kadz-dzab atau Dajjal, contohnya:

Sahl bin ‘Ammar an-Naisaburi: berkata Ibnu Sahl bin Ammar : Ia mengahmpiri saya dengan berdusta,(yakni) ia berkata: “Aku pernah menulis bersamaengkau disisi Yazid bin Harun”. Ibnu Sahl berkata: “Demi Allah, ia tidak ada mendegarkan Hadits bersamaku, dari Yazid bin Harun.”

b.     Salah, dalam itab-kitab Rijalil Hadits terdapat kata-kata: Ghalat (keliru), Khata’ (salah), Waham (salah dalam sangkaan) contohnya :

Aghlab bbin Tamim: Kata Ibnu Hibban: “ia terkeluar dari golongan daijadikan hujjah, karena banyak salahnya’.

c.      Lupa atau lalai bahasa arabnya ghaflah

Contohnya; Zuhair bin Malik Abul-Wazi’: berkata Ahmad :“ Pada dirinya (Zuhair), terdapat kelalaian yang sangat”.

d.     Dungu atau bodoh, bahasa Arabnya “Mughafal”.

Contohnya: Rukain bin ‘Abdil-A’la:Kata Jarir bin Abdil Hamid: “Bukanlah ia seorang yang boleh diambil hadits daripadanyaadalah ia seorang yang dungu”.

e.      Fisq : mempunyai beberapa makna : a. Taat, b. meninggalkan perintah-perintah Allah dan durhaka dan keluar dari jalan yang benar, c. berbuat kejahatan, d. mengerjakan dosa-dosa sedikit atau banyak, tetapi sering ditujukan untuk dosa yang banyak,

Contohnya : Ibrahim bin Hudbah Abu Hudbah al-Farisi: kata Bisyr bin Umar “Disebelah rumah kami pernah ada perkawinan. Maka diundang Abu Hudbah, kawan Ana situ: ia makan, minum dan mabuk, lalu menyanyi”.

f.      Tidak dikenal, orang yang dikenal disis ahli hadits itu disebut majhul

Contohnya: Hamman dan Humaid bin Abdurrahman al-Khuffi: Kedua-duanya tidak dikenal

g.     Buruk hafalan bahasaarabnya: Su-ul Hifdzi. Orang yang buruk hafalannya, dikatakan Saiyiul-Hifdzi atau Radiul-Hifdzi.

Contohnya: Al-Hasin bin Abdirrahman as-Salmi Abdul-Hudzail al-Kufi: berkata Abu Hatim: “Hafalannya jadi buruk pada akhir umurnya”. Orang yang jelek hafalannya diwaktu tuanya, umumnya buruknya berkekalan, dan tambah tua, tambah sangat.

h.     Kehilangan kitab: orang yang biasanya meriwayatkan haditsnya dari kitabnya, karena ia bukan hafidz, lalu kitabnya itu hilang, kalau ia ceritakan dari hafalanya, tertolak haditsnya, karena kekuatan hafalannya meragukan.

Contohnya: Ismail bin ‘Ayysay: Kata Yahya bin Ma’in: Ismail itu kepercayaan, kalau iameriwayatkan dari orang-orang Syam. Adapun riwayatnya dari ahli hizaz, sesungguhnya kitabnya telah hilang lalu tercampur hafalannya.

i.       Ikhtilath artinya bercampur, seorang rawi yang berubah ‘aqalnya maka omongannya antara satu dengan yang lain banyak yang bercampur, karena ia tidak tahu dan tidak sadar, sesuatu yang timbul dari tidak tahu dan tidak sadar, tidak dapat diterim, karena meragukan

j.       Tadlis artinya meyamarkanorang yang menyamarkan hadits disebut Mudallis.

k.     Bukan Ahli;orang yang bukan ahli dalam meriwayatkan hadits, kalau menceritakan Hadits, sering keliru dan salah.

Contohnya: Farqad as-Sinji Abu Ya’kub adalah ia seorang zahid dinegeri Basrah. Kata Ayyub: “Ia bukan ahli tentang hadits”.

l.       Bersendiri dalam meriwayatkan, ada beberapa rawi kepercayaan, bilamana bersendiri dalam meriwayatkan satu hadits, maka riwayat mereka ini tidak diterima. Tidak diterimanya ini bukan semata-mata karena bersendirian, tetapi karena pernah terdapat kekeliruan, kesalahannya, atau menerima talqin”.

Contohnya; Sammak bin Harb Abdul-Mughirah al-hadzali: adakah ia seorang ahli ilmu yang benar, lagi mashur, tetapi berkata Nasa-i: “Apabila ia bersendiri dalam meriwayatkan hal pokok-pokok (agama), tidak boleh dianggap karena pernah orang “talqinkan” dia, lalu ia terima talqin itu.

m.   Mempermudah bahasa arabnya “Tasahul” orang yang mempermudah disebut “Mutasahil”

Contohnya : Ahmad bin Kamil bbin Syajarah al-Qadhi al-Baghdadi al-Hafidz. Kata Daruquthni: “Adalah ia seorang yang suka mempermudah, ia pernah berpegang kepada hafalannya, lalu tersalah.

3.    

k.     Tidak berubah akalnya

l.       Tidak suka salah sangat

m.   Tidak sering menyalahi orang lain dalam meriwayat

n.     Orangnya dikenal oleh ahli hadits

o.     Tidak menerima “talqin”

q.     Tidak suka mempermudah

r.       Bukan ahli bid’ah yang menjadikan kekufuran

Hal-hal yang berkaitan dengan Ta’dil rawi adalah

a.      Muslim                                                                 k. tid

b.     Baligh

c.      ‘aqil

d.     Benar

e.      Kepercayaan

f.      Amanat

g.     Tidak mengerjakan maksiat

h.     Sadar,

i.       Hafadz (dengan hafalan atau dari kitabnya

j.       Tidak dungu

k.     Tidak sangat pelupa

 

F.     Kaidah Tajrih dan Ta’dil

1.     Naqd khorijji: kritik eksternal, yaitu tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.

2.     Naqd Dakhili: kritik internal, yaitu tentang makna hadits dan syarat keshohihannya.

G.   Syarat pentajrih dan penta’dil

Seorang ulama al-jarh wa al-ta’dilharus memenuhi criteria-kriteria yang menjadikannya objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya yakni sebagai berikut:  

1.     Berilmu, bertakwa, wara’ dan jujur. Karena apabila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh waal-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.

2.     Ia mengetahui sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, “Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima apabila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya bukan dari orang yang mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya.

3.     Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab sehingga suatu lafaz yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya,atau men-jarh dengan lafaz yang tidak sesuai untuk men-jarh.

H.   Hal-Hal Yang Menetapkan Ta’dil Dan Jarh Seorang Rawi

Ta’dil dan jarh seorang rawi ditetapkan melalui beberapa cara. Yang terpenting diantaranya kami jelaskan sebagai berikut:

1.     Dua orang ahli ilmu menyatakan keadilannya. Hal ini disepakati oleh jumhur ulama, dikiaskan kepada tazkiyah dalam hokum kesaksian yang juga disyaratkan harus dilakukan oleh minimal dua orang.

2.     Telah masyhur dikalangan ahli riwayat bahwa ia adalah seorang periwayat uang tsiqat. Barang siapa yang masyhur sifat adilnya dikalangan ahli riwayat atau ahli ilmu yang lain dan telah banyak pujian tentang ketsiqatannyamaka tidak perlu lagi saksi yang menyaksikan keadilannya dengan kata-kata.

3.     Ta’dil oleh seorang, Al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu Shalah, dan mayoritas ahli peneliti berpendapat bahwa ta’dil itu dapat diakui walaupun dengan pernyataan satu orang

4.     Ta’dil bagi orang yang dikenal sebagai pengemban ilmu. 

 

I.      Pertentangan Antara Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil  terhadap seorang rawi, maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama.

Pendapat yang sahih adalah yang dikutip oleh al-Kahthib al-Baghdadi dari jumhur ulama dan dishahihkan oleh ibnu al-Shalah dan muhaddis yang lain serta sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa jarh didahulukan atas ta’dil meskipun yang menta’dil itu lebih banyak. Ini karena orang yang menta’dil hanya memberitakan karakteristik yang tampak baginya, sedangkan orang yang men-jarh memberitakan karateristik yang tidak tampak dan samar bagiorang yang menta’dil.

Akan tetapi kaidah ini tidak menunjukan kemuthlakan harus didahulukannya jarh. Kita dapatkan kadang-kadang mereka mereka mendahulukan ta’dil atas jarh dalam banyak kesempatan. Dapatlah kita katakana bahwakaida ini terbatas dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1.     Jarh harus dijelaskan dan harus memenuhi semua syarat-syaratnya

2.     Orang yang menjarh tidak sentiment atas orang yang dijarh atau terlalu mempersulit dalam men-jarh. Oleh karena itu, tidak dapat diterima al-Nasa’I kepada Ahmad bbin Shalih al-Mishri, karena keduanya saling membenci.

3.     Pen-ta’dil tidak menjelaskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi yang bersangkutan. Untuk itu ia harus mengemukakan alas an yang kuat, seperti kasus Tsabit bin Ajlan al-Anshari, dimana dijelaskan oleh al-‘Uqalli,” Haditsnya tidak dapat diikuti.” Pernyataan ini diralat oleh Abu al-Hasan bin al-Qaththan bahwa hal itu tidak mencatakannya kecuali apabila ia banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar dan menyalahi para periwayat yang tsiqat. Ralat ini disetujui oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dan mengatkan hal yang sama.

 

 

 

 

 

 

BAB III

Kesimpulan

 

A.    Pengertian Ilmu al jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu.

B.    Sejarah timbulnya jarh watta’dil dan ulamanya

Ilmu ini tumbuh bersama – sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadits – hadits yang shohih perlu mengetahui keadaan rowinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rowi atau kedustaanya hingga dapatlah merasa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak. Adapun Para ulama hadits yang telah menepatkan lapadz – lapadz Ta’dil yaitu : Ibu al Abi hatim, Ibnu Sholah, dan Annawawi adz-Dahabi Hafiz Ibnu Hajar.

C.    Kegunaan dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh Wa al-Ta’dil

D.    Tingkatan Jarh Watta’dil

E.     Hal – Hal Yang Berkaitan Dengan Tajrih & Ta’dil Rawi

F.     Kaidah Tajrih dan Ta’dil

G.    Syarat pentajrih dan penta’dil

H.    Hal-Hal Yang Menetapkan Ta’dil Dan Jarh Seorang Rawi

I.      Pertentangan Antara Al-Jarh Wa At-Ta’dil

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

·       Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah. Bandung: CV. Mimbar Pustaka.

·       Hasan, A.Qadir.2007. Ilmu Musthlahah Hadits. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro

·       Nurrudin ‘Itr. 2012. Ulumul Hadits. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA

 

·       https://www.google.com/search?q=makalahAl+Jarh+WaTa%27dil&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

Marilah kita panjatkan puji beserta syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang mana dia telah memberikan kita nikmat terutama nikmat iman, nikmat islam dan nikmat kesehatan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Jarh wa Al-Ta’dil”, tepat pada waktunya.

Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjunan alam pengikis kebatilan, pendobrak kejahatan, yakni habibana wanabiyana Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, para tabiiin at bauttabiin dan kita sebagai umatnya, mudah-mudahan mendapat safaatnya nanti di yaumil hisab. Amiiin

Terima kasih kepada dosen pembimbing khususon Bpk Dr. Mujio , M.Ag yang telah membimbing kita dalam pembuatan makalah ini dan tak lupa pada teman-teman yang terus mendukung pada kami, kemudian kepada dosen pembimbing dan teman-teman untuk terus mengkritik makalah ini, karena dengan kritikan tersebut mudah-mudahan dalam pembuatan makalah yang akan datang menjadi lebih baik.

 

 

 

 

 

Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

i

 


Daftar Isi

Kata Pengantar           .................................................................................................    i

Daftar isi                     .................................................................................................   ii

Bab I  Pendahuluan     .................................................................................................   1

Bab II Pembahasan Al-Jarh wa Al-Ta’dil ..................................................................   3

       A.Pengertian        .................................................................................................   3

       B. Sejarah Timbul Al-Jarh wa Al-Ta’dil dan Ulamanya .....................................   4

       C. Kegunaan & Objek/Sasaran Pokok Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil .....................   4

       D. Tingkatan Al-Jarh wa Al-Ta’dil .....................................................................   5

       E. Hal-hal Yang Berkaitan dengan Al-Jarh wa Al-Ta’dil Rawi ..........................   6

       F. Kaidah Al-Jarh wa Al-Ta’dil ...........................................................................   9

       G. Syarat-syarat Pentajrih ....................................................................................   9

       H. Hal-hal Yang Menetapkan Al-Jarh wa Al-Ta’dil Seorang Rawi ....................   9

        I. Pertentangan Antara Al-Jarh wa Al-Ta’dil ..................................................... 10

Bab III Kesimpulan    ................................................................................................. 11

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ii

 


Jarh Wa Al-Ta’dil

 

MAKALAH

 

Mata Kuliah : Dirosah Hadits

Dosen Pengampu :

Dr. Mujiyo, M.Ag

 

 

 

 

Disusun oleh :

Hana Ulfiaturrahmah

Agun Jaisul Pahal

 

Jurusan : Magister Pendidikan Bahasa Arab

 

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2015

 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction