BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadis
sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari’at Islam. Diantaranya ada hadis shahih,
hadis hasan, dan hadis dha’if. Masing-masing memiliki
persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan
persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadis, dan ada pula
yang berkaitan dengan kandungan hadis itu sendiri. Maka persoalan yang ada
dalam ilmu hadis ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua
berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan
mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadis itu bersambung sanadnya
atau tidak, dan apakah para periwayat hadis yang dicantumkan di dalam sanad
hadis itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan dengan matan
akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang
terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan
hadis bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Para ahli hadis sepakat bahwa untuk menilai kualitas hadis,
terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan
dan sanad-nya. Dalam hubungannya
dengan penelitian sanad, yang harus
diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad
dan keadaan pribadi periwayat (rawi)
hadis menyangkut dua hal; pertama,
ke-‘adilan yang berhubungan dengan
kualitas pribadi peri-wayat dan kedua, ke-dhabitan yang berhubungan dengan
kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal tersebut ada pada periwayatan hadis
maka periwayat itu dinyatakan tsiqah dan
hadis yang diriwayatkannya, dapat diterima sebagai hujjah.
Berkaitan dengan sanad ada ilmu rijal al-hadis dan ilmu al-jarh
wa al-ta’dil. Dalam upaya memelihara
ke-autentikan hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para ulama
terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. Dengan cara
menilai para periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu ilmu untuk
menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadis yang
diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak. Melalui syarat-syarat al-jarh
wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para ulama hadis
menilai para periwayat dari segi jarh
(cacat) dan ta’dil (bersih)nya. Dalam
ilmu hadis, penyelidikan terhadap periwayat adalah kewajiban dalam rangka
memelihara kemurnian sunnah Nabi yang didasarkan pada kaedah umum ajaran Islam.
Dalam kajian Ulumul Hadis, pembahasan mengenai keadaan
pribadi periwayat hadis, baik mengenai kualitas pribadinya maupun kapasitas
intelektualnya, merupakan fokus kajian ilmu Jarh
dan Ta’dil. Kedudukan ilmu Al-Jarh
wa Al-Ta’dil ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan
penelitian hadis atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadis.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang di maksud ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?
2.
Bagaimana
sejarah dan perkembangan ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil?
3.
Apa kegunaan dan objek kajian ilmu al-Jarh
Wa Al-Ta’dil?
4.
Bagaimana
tingkatan dan hukum ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil?
5.
Apa
saja hal-hal yang berkaitan dengan Tajrih dan Ta’dil Rawi?
6.
Apa
saja Kaidah Tajrih dan Ta’dil?
7.
Apa
saja syarat pentajrih dan penta’dil?
8.
Ada
berapakah Hal-Hal Yang Menetapkan Ta’dil Dan Jarh Seorang Rawi?
9.
Ada berapakah pendapat tentang pertentangan Antara Al-Jarh
Wa At-Ta’dil?
BAB II
AL-JARH WA AL-TA’DIL
A.
Pengertian
Kalimat
‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri
dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa merupakan
bentuk mashdar, dari kata جرج – يجرح
,
yang berarti, seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah dari luka itu.
Secara
terminologi al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bertolak riwayatnya.
Adapun at-tajrih menyifati seorang perawi dengan sifat sifat yang membawa
konskuensi penilain lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
Kemudian
pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa
bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara
terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan
keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti
ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau
ditolak riwayat mereka.
Menurut bahasa
Jarh diambil diambil dari kata Jaroha – Yajrohu – Jarhan artinya
melukai, sedangkan menurut istilah ilmu hadits adalah menunjukan atau membayangkan
kelemahan, celaan atau cacat seseorang rawi,atau melemahkan dia, maupun semua
itubenar ada pada diri si rawi atau tidak.
“Ta’dil” menurut bahasa artinya meluruskan, membetukan,
membersihkan. Sedangkan “Ta’dil” menurut istilah mustholahul hadits adalah menunjukan atau membayangkankebaikan
atau kelurusan seseorang rawi, maupun semua itu benar ada pada diri si rawi
atau tidak.(A. Qodir Hassan,2007. ilmu mustholahul hadist,bandung, diponegoro.
Hal.445)
Menurut Endang soetari AD dalam bukunya mengatakan bahwa Al-Jarhu atau
tajrih artinya mencatatkan, yakni
menuturkan sebab – sebab keaiban rawi. Perbuatan tarjih termasuk mengumpat yang
dibolehkan agama, sebab untuk keperluan agama dan tidak melampaui batas
kemanusiaan.
Sedangkan ta’dil artinya menganggap adil seorang rawi, yakni memuji
rawi dengan sifat- sifat yang membawa maqbulnya riwayat.
Jadi, ilmu Jarh wa atta’dil adalah ilmu tentang hal ihwal para rawi
denganhal mencatat keaibannya dan memuji keadilannya.
B.
Sejarah timbulnya jarh watta’dil dan ulamanya
Ilmu ini tumbuh bersama – sama
dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadits –
hadits yang shohih perlu mengetahui keadaan rowinya, secara yang memungkinkan
ahli ilmu menetapkan kebenaran rowi atau kedustaanya hingga dapatlah merasa
membedakan antara yang diterima dan yang ditolak . karena itu para ulama
menanyakan keadaan para perawi meneliti kehidupan ilmiah mereka, hingga
memgetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan orang yang lebih
lama menyertai gurunya. Para ulam hadits yang telah menepatkan lapadz – lapadz
Ta’dil yaitu : Ibu al Abi hatim, Ibnu Sholah, dan Annawawi adz-Dahabi Hafiz
Ibnu Hajar.demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya
periwayatan dalam Islam.
Mengenai jumlah ahli yang melakukan jarh
dan Ta’dil menurut pendapat yang dipandang benar bahwa Jarh dan
Ta’dil bias dilakukan oleh seorang ahli. Ada yang berpendapat harus dilakukan
oleh dua orang ahli. Ketika jarh dan ta’dil berkumpul pada diri seorang rawi,
maka jarh pada diri rawi itu lebih dulu dilakukan. Namun, ada yang berpendapat
jika banyak para ahli yang meta;dilnya, amka ta’dil lebih dulu di ta’dilkan.
C.
Kegunaan dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh Wa al-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini
dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
dierima atau harus ditolak. Apabila seorang rawi “di-jarh” oleh para
ahli hadis sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang
lain dipenuhi.
Adapun
objek/Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah
sebagai berikut:
a.
Untuk
menghukumi / mengetahui status perawi hadis
b.
Untuk
mengetahui kedudukan hadis / martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis
tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa al-ta’dil
c.
Mengetahui
syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya
serta perkara yang berkaitan dengannya.
D.
Tingkatan Jarh Watta’dil
Keadilan dan kecacatan seorang
perawin itu sangat penting sekali untuk kita ketahui, sebagaimana Ibnu Hatim
dalam mukoddimah kitabnya “Al –Jarh wa at-Ta’dil membagi tingakatanjarh watta’dil
ke dalam empat tingkatan dan menjelaskan hokum setiap tingkatannya, maka jadilah tingkatan jarh wa
ta'dil itu enam tingkatan:
- Lafadz
untuk menta’dilkan antara lain:
a. Lafadz yang menunjukan pada mubalaghah
(sangat) dalam kepercayaan atau dengan menggunakan wazan af'ala, dan ini
merupakan tingkatan teratas. Contoh: أوثق الناس"orang
yang paling teguh hati dan lidahnya" "orang yang paling
mantap hafalan dan keadilannya"
b. Lafadz yang diperkuat dengan satu sifat atau lebih dari
sifat-sfat tsiqah, seperti:ثقة ثقة "orang
yang tsiqah (lagi) tsiqah"
" orang yang teguh (lagi) tsiqah"
c. Menunjuk keadilan dengan satu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan,
misalnya: متقن"orang
yang menyakinkan ilmunya"
d.
lafadz
yang tidak menunjukan adanya kedhobitan, hingga perlu diuji dan di selidiki
haditsnya:
صدوق، مأمون، لابأس به
e.
lafadz
yang tidak menunjukkan kesangatan (mubalaghoh)
محالة الصدق: جيّد الصدق: حسن الحديث:
مقارب الحديث.
f. Lafadz – lafadz tersebut baru lalu
dengan diiringi lafadz muusyi’ah (Insya Allah) Atau dimulai dengan pengharapan
atau ditashghirkan (dianggap kecil):
صدوق إن شاء الله، فلان أرجو بأن
لابأس به، فلان صويلح، فلان مقبول.
2. Lafadz untuk mentajrihkan antara
lain:
a. Lafadz berwazan af’al Tafdhil
dari lafadz Kadziba atau Wadho’a atau dibubuhi lafadz Muntaha:
أوضع الناس، أكذب الناس، إليه المنتهى
في الوضع
b. Shigot mubalaghoh dari lafadzdiatas:
كذّاب، وضّاع، دجّال.
c. Lafadz – lafadz tuduhan bersifat
dusta atau lafadz yang lebih ringan:
فلانٌ متهمٌ بالكذب، أو متّهم بالوضع:
فلان ساقط فلان فيه النظر: فلان ذاهب الحديث: فلان متروك الحديث
d. Lafadz tuduhan tercacat
مطرح الحديث: فلان ضعيف : فلان مردود
الحديث.
e. Lafadz yang mengandung arti tidak
dapat dipakai berhujjah yang semakna dengan lafadz tersebut
فلان لا يحتج به : فلان مجهول: فلان
منكر الحديث: فلان مضطرب الحديث: فلان واهن
f.
Lafadz
lain
ضعف حديثه: فلان مقال فيه: فلان فيه
خلفٌ: فلان ليّن: فلان ليس بالحجّة: فلان ليس بالقوي
E.
Hal – Hal Yang Berkaitan Dengan Tajrih & Ta’dil Rawi
1.
Hal-hal
yang berkaitan dengan tajrih rawi
a.
Bid’ah.
Yakni mempunyai I’tikad berlawanan dengan dasar syari’at. Orang tersebut
digolongkan sebagai orang fasik. Bid’ah juga bias digolaongkan kafir, seperti
golongan Rofidhoh yang mempercayai bahawa Tuhan menyaatu dengan ‘Ali dan imam –
imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali ke dunia sebelum kiamat.
b.
Mukholafah, yakni perlawanan sifat adil dan dhobit seorang rawi dengan rawi lain yang lebih
kuat yang tidak di jama’kan atau di kompromikan.
c.
Gholat,
yakni kesalahan, baik sedikit, seperti lemah hafalan atau salah sangka maupun
banyak salah.
d.
Jahalah
al – Hal, yakni tidak diketahui identitasnya.
e.
Da’wa
al Inqitho’, yakni mendakwa terputusnya sanad.
Dalam keterangan lain ada beberapa hal-hal yang berkaitan dengan
tajrih yaitu:
a.
Dusta,
bahasa arabnya; Kidzib,
orang yang berdusta dikatakan Kadzib. Kalau orang itu sering berdusta (tukang berdusta),
disebut: Kadz-dzab atau Dajjal, contohnya:
Sahl bin ‘Ammar an-Naisaburi: berkata Ibnu Sahl bin Ammar : Ia
mengahmpiri saya dengan berdusta,(yakni) ia berkata: “Aku pernah menulis
bersamaengkau disisi Yazid bin Harun”. Ibnu Sahl berkata: “Demi Allah, ia tidak
ada mendegarkan Hadits bersamaku, dari Yazid bin Harun.”
b.
Salah,
dalam itab-kitab Rijalil Hadits terdapat kata-kata: Ghalat (keliru), Khata’
(salah), Waham (salah dalam sangkaan) contohnya :
Aghlab bbin Tamim: Kata Ibnu Hibban: “ia terkeluar dari golongan
daijadikan hujjah, karena banyak salahnya’.
c.
Lupa
atau lalai bahasa arabnya ghaflah
Contohnya; Zuhair bin Malik Abul-Wazi’: berkata Ahmad :“ Pada
dirinya (Zuhair), terdapat kelalaian yang sangat”.
d.
Dungu
atau bodoh, bahasa Arabnya “Mughafal”.
Contohnya: Rukain bin ‘Abdil-A’la:Kata Jarir bin Abdil Hamid:
“Bukanlah ia seorang yang boleh diambil hadits daripadanyaadalah ia seorang
yang dungu”.
e.
Fisq
: mempunyai beberapa makna : a. Taat, b. meninggalkan perintah-perintah Allah
dan durhaka dan keluar dari jalan yang benar, c. berbuat kejahatan, d.
mengerjakan dosa-dosa sedikit atau banyak, tetapi sering ditujukan untuk dosa
yang banyak,
Contohnya : Ibrahim bin Hudbah Abu Hudbah al-Farisi: kata Bisyr bin
Umar “Disebelah rumah kami pernah ada perkawinan. Maka diundang Abu Hudbah,
kawan Ana situ: ia makan, minum dan mabuk, lalu menyanyi”.
f.
Tidak
dikenal, orang yang dikenal disis ahli hadits itu disebut majhul
Contohnya: Hamman dan Humaid bin Abdurrahman al-Khuffi:
Kedua-duanya tidak dikenal
g.
Buruk
hafalan bahasaarabnya: Su-ul Hifdzi. Orang yang buruk hafalannya, dikatakan
Saiyiul-Hifdzi atau Radiul-Hifdzi.
Contohnya: Al-Hasin bin Abdirrahman as-Salmi Abdul-Hudzail al-Kufi:
berkata Abu Hatim: “Hafalannya jadi buruk pada akhir umurnya”. Orang yang jelek
hafalannya diwaktu tuanya, umumnya buruknya berkekalan, dan tambah tua, tambah
sangat.
h.
Kehilangan
kitab: orang yang biasanya meriwayatkan haditsnya dari kitabnya, karena ia
bukan hafidz, lalu kitabnya itu hilang, kalau ia ceritakan dari hafalanya,
tertolak haditsnya, karena kekuatan hafalannya meragukan.
Contohnya: Ismail bin ‘Ayysay: Kata Yahya bin Ma’in: Ismail itu
kepercayaan, kalau iameriwayatkan dari orang-orang Syam. Adapun riwayatnya dari
ahli hizaz, sesungguhnya kitabnya telah hilang lalu tercampur hafalannya.
i.
Ikhtilath
artinya bercampur, seorang rawi yang berubah ‘aqalnya maka omongannya antara
satu dengan yang lain banyak yang bercampur, karena ia tidak tahu dan tidak
sadar, sesuatu yang timbul dari tidak tahu dan tidak sadar, tidak dapat diterim,
karena meragukan
j.
Tadlis
artinya meyamarkanorang yang menyamarkan hadits disebut Mudallis.
k.
Bukan
Ahli;orang yang bukan ahli dalam meriwayatkan hadits, kalau menceritakan Hadits,
sering keliru dan salah.
Contohnya: Farqad as-Sinji Abu Ya’kub adalah ia seorang zahid
dinegeri Basrah. Kata Ayyub: “Ia bukan ahli tentang hadits”.
l.
Bersendiri
dalam meriwayatkan, ada beberapa rawi kepercayaan, bilamana bersendiri dalam
meriwayatkan satu hadits, maka riwayat mereka ini tidak diterima. Tidak
diterimanya ini bukan semata-mata karena bersendirian, tetapi karena pernah
terdapat kekeliruan, kesalahannya, atau menerima talqin”.
Contohnya; Sammak bin Harb Abdul-Mughirah al-hadzali: adakah ia
seorang ahli ilmu yang benar, lagi mashur, tetapi berkata Nasa-i: “Apabila ia
bersendiri dalam meriwayatkan hal pokok-pokok (agama), tidak boleh dianggap
karena pernah orang “talqinkan” dia, lalu ia terima talqin itu.
m.
Mempermudah
bahasa arabnya “Tasahul” orang yang mempermudah disebut “Mutasahil”
Contohnya : Ahmad bin Kamil bbin Syajarah al-Qadhi al-Baghdadi
al-Hafidz. Kata Daruquthni: “Adalah ia seorang yang suka mempermudah, ia pernah
berpegang kepada hafalannya, lalu tersalah.
3.
k.
Tidak
berubah akalnya l.
Tidak
suka salah sangat m.
Tidak
sering menyalahi orang lain dalam meriwayat n.
Orangnya
dikenal oleh ahli hadits o.
Tidak
menerima “talqin” q.
Tidak
suka mempermudah r.
Bukan
ahli bid’ah yang menjadikan kekufuran
a.
Muslim k.
tid
b.
Baligh
c.
‘aqil
d.
Benar
e.
Kepercayaan
f.
Amanat
g.
Tidak
mengerjakan maksiat
h.
Sadar,
i.
Hafadz
(dengan hafalan atau dari kitabnya
j.
Tidak
dungu
k.
Tidak
sangat pelupa
F.
Kaidah Tajrih dan Ta’dil
1.
Naqd
khorijji: kritik eksternal, yaitu tentang
cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
2.
Naqd Dakhili: kritik
internal, yaitu tentang makna hadits dan syarat keshohihannya.
G.
Syarat pentajrih dan penta’dil
Seorang ulama al-jarh wa
al-ta’dilharus memenuhi criteria-kriteria yang menjadikannya objektif dalam
upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya yakni sebagai
berikut:
1.
Berilmu,
bertakwa, wara’ dan jujur. Karena apabila ia tidak memiliki sifat-sifat ini,
maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh waal-ta’dil yang
senantiasa membutuhkan keadilannya.
2.
Ia
mengetahui sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam
Syarh al-Nukhbah, “Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat
diterima apabila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya bukan dari
orang yang mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa
yang kelihatan olehnya.
3.
Ia
mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab sehingga suatu lafaz yang
digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya,atau men-jarh dengan lafaz yang
tidak sesuai untuk men-jarh.
H.
Hal-Hal Yang Menetapkan Ta’dil Dan Jarh Seorang Rawi
Ta’dil dan jarh seorang rawi
ditetapkan melalui beberapa cara. Yang terpenting diantaranya kami jelaskan
sebagai berikut:
1.
Dua
orang ahli ilmu menyatakan keadilannya. Hal ini disepakati oleh jumhur ulama,
dikiaskan kepada tazkiyah dalam hokum kesaksian yang juga disyaratkan harus
dilakukan oleh minimal dua orang.
2.
Telah
masyhur dikalangan ahli riwayat bahwa ia adalah seorang periwayat uang tsiqat.
Barang siapa yang masyhur sifat adilnya dikalangan ahli riwayat atau ahli ilmu
yang lain dan telah banyak pujian tentang ketsiqatannyamaka tidak perlu lagi
saksi yang menyaksikan keadilannya dengan kata-kata.
3.
Ta’dil
oleh seorang, Al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu Shalah, dan mayoritas ahli peneliti
berpendapat bahwa ta’dil itu dapat diakui walaupun dengan pernyataan satu orang
4.
Ta’dil
bagi orang yang dikenal sebagai pengemban ilmu.
I.
Pertentangan Antara Al-Jarh Wa
At-Ta’dil
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil terhadap seorang rawi, maka dalam hal ini
terdapat beberapa pendapat ulama.
Pendapat yang sahih adalah yang dikutip oleh al-Kahthib al-Baghdadi
dari jumhur ulama dan dishahihkan oleh ibnu al-Shalah dan muhaddis yang lain
serta sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa jarh didahulukan atas ta’dil
meskipun yang menta’dil itu lebih banyak. Ini karena orang yang menta’dil hanya
memberitakan karakteristik yang tampak baginya, sedangkan orang yang men-jarh
memberitakan karateristik yang tidak tampak dan samar bagiorang yang menta’dil.
Akan tetapi kaidah ini tidak menunjukan kemuthlakan harus
didahulukannya jarh. Kita dapatkan kadang-kadang mereka mereka mendahulukan
ta’dil atas jarh dalam banyak kesempatan. Dapatlah kita katakana bahwakaida ini
terbatas dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Jarh
harus dijelaskan dan harus memenuhi semua syarat-syaratnya
2.
Orang
yang menjarh tidak sentiment atas orang yang dijarh atau terlalu mempersulit
dalam men-jarh. Oleh karena itu, tidak dapat diterima al-Nasa’I kepada Ahmad bbin
Shalih al-Mishri, karena keduanya saling membenci.
3.
Pen-ta’dil
tidak menjelaskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi yang
bersangkutan. Untuk itu ia harus mengemukakan alas an yang kuat, seperti kasus
Tsabit bin Ajlan al-Anshari, dimana dijelaskan oleh al-‘Uqalli,” Haditsnya
tidak dapat diikuti.” Pernyataan ini diralat oleh Abu al-Hasan bin al-Qaththan
bahwa hal itu tidak mencatakannya kecuali apabila ia banyak meriwayatkan
hadits-hadits munkar dan menyalahi para periwayat yang tsiqat. Ralat ini
disetujui oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dan mengatkan hal yang sama.
BAB III
Kesimpulan
A. Pengertian Ilmu al jarh wa
ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan
atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu.
B.
Sejarah
timbulnya jarh watta’dil dan ulamanya
Ilmu ini tumbuh bersama – sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam
Islam, karena untuk mengetahui hadits – hadits yang shohih perlu mengetahui
keadaan rowinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rowi
atau kedustaanya hingga dapatlah merasa membedakan antara yang diterima dan
yang ditolak. Adapun Para ulama hadits yang telah menepatkan lapadz – lapadz
Ta’dil yaitu : Ibu al Abi hatim, Ibnu Sholah, dan Annawawi adz-Dahabi Hafiz
Ibnu Hajar.
C.
Kegunaan
dan Objek/Sasaran Pokok Ilmu al-Jarh Wa al-Ta’dil
D.
Tingkatan
Jarh Watta’dil
E.
Hal
– Hal Yang Berkaitan Dengan Tajrih & Ta’dil Rawi
F.
Kaidah
Tajrih dan Ta’dil
G.
Syarat
pentajrih dan penta’dil
H.
Hal-Hal
Yang Menetapkan Ta’dil Dan Jarh Seorang Rawi
I.
Pertentangan Antara Al-Jarh Wa At-Ta’dil
DAFTAR PUSTAKA
· Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah.
Bandung: CV. Mimbar Pustaka.
· Hasan, A.Qadir.2007. Ilmu Musthlahah Hadits. Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro
· Nurrudin ‘Itr. 2012. Ulumul Hadits. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
KATA PENGANTAR
Marilah kita panjatkan puji beserta syukur kehadirat
Allah Yang Maha Esa, yang mana dia telah memberikan kita nikmat terutama nikmat
iman, nikmat islam dan nikmat kesehatan sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Jarh wa Al-Ta’dil”, tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
junjunan alam pengikis kebatilan, pendobrak kejahatan, yakni habibana
wanabiyana Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, para tabiiin at
bauttabiin dan kita sebagai umatnya, mudah-mudahan mendapat safaatnya nanti di
yaumil hisab. Amiiin
Terima kasih kepada dosen pembimbing khususon Bpk Dr.
Mujio , M.Ag yang telah membimbing kita dalam pembuatan makalah ini dan tak
lupa pada teman-teman yang terus mendukung pada kami, kemudian kepada dosen
pembimbing dan teman-teman untuk terus mengkritik makalah ini, karena dengan
kritikan tersebut mudah-mudahan dalam pembuatan makalah yang akan datang
menjadi lebih baik.
Penulis
i
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................................. i
Daftar isi ................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan ................................................................................................. 1
Bab II Pembahasan Al-Jarh wa Al-Ta’dil .................................................................. 3
A.Pengertian ................................................................................................. 3
B. Sejarah Timbul
Al-Jarh wa Al-Ta’dil dan Ulamanya ..................................... 4
C. Kegunaan &
Objek/Sasaran Pokok Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil ..................... 4
D. Tingkatan Al-Jarh
wa Al-Ta’dil ..................................................................... 5
E. Hal-hal Yang
Berkaitan dengan Al-Jarh wa Al-Ta’dil Rawi .......................... 6
F. Kaidah Al-Jarh wa
Al-Ta’dil ........................................................................... 9
G. Syarat-syarat
Pentajrih .................................................................................... 9
H. Hal-hal Yang
Menetapkan Al-Jarh wa Al-Ta’dil Seorang Rawi .................... 9
I. Pertentangan
Antara Al-Jarh wa Al-Ta’dil ..................................................... 10
Bab III Kesimpulan ................................................................................................. 11
ii
Jarh Wa Al-Ta’dil
MAKALAH
Mata Kuliah : Dirosah Hadits
Dosen Pengampu :
Dr. Mujiyo, M.Ag
Disusun oleh :
Hana Ulfiaturrahmah
Agun Jaisul Pahal
Jurusan : Magister Pendidikan Bahasa Arab
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar