Minggu, 29 Januari 2023 | By: namakuameliya

MAKALAH PROBLEMATIKA TERKAIT HADITS SHAHIH DAN HADITS HASAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Terdapat penggolongan hadits yang dinilai dari berbagai segi, yang ditujukan untuk mengetahui kualitas hadits tersebut, baik dilihat dari kuantitas, maupun kualitas para perawinya.

Penggolongan hadits tersebut beberapa diantaranya sudah dijelaskan pada makalah-makalah sebelumnya, yaitu mengenai penggolongan hadits berdasarkan kuantitas perawinya. Sedangkan pada makalah ini penulis akan menjelaskan tentang penggolongan hadits berdasarkan kualitas perawinya.

Mengapa cara diatas harus dipahami karena hal tersebut akan sangat berpengaruh pada proses mengetahui kehujjahan hadits yang akan kita jadikan sebagai landasan hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu penulis menganggap perlu untuk membahasnya dalam makalah ini, sehingga dapat menciptkan sebuah pemahaman yang jelas tentang penggolongan hadits berdasarkan kualitas perawinya, yaitu dalam hal ini akan dibahas tentang Hadits Shahih dan Hadits Hasan.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.     Apa itu Hadits Shahih?

2.     Apa itu Hadits Hasan?

3.     Bagaimana Problematika yang Terkait dengan Hadits Shahih dan Hadits Hasan?

 

C.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:

 

1.     Mengetahui tentang Hadits Shahih.

2.     Mengetahui tentang Hadits Hasan.

3.     Mengetahui Problematika yang Terkait dengan Hadits Shahih dan Hadits Hasan.

 

D.    Manfaat Penulisan

    Manfaat yang di harapkan dari makalah ini :

   1. Teoretis: untuk mengkaji Ilmu Hadits khususnya dalam memahami Hadits Shahih dan Hadits Hasan.

      2.  Umum : untuk meberikan pengetahuan tentang Hadits Shahih dan Hadits Hasan sehingga memungkinkan dilakukannya penelahan ilmiah secara teratur dan cermat tentang ilmu hadits.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Hadits Shahih

a.      Pengertian hadits Shahih

1.     Menurut ‘Itr

الحديث الصّحيح هو الحديث الّذى اتّصل سنده بنقل العدل الضّابط عن العدل الضّابط إلى منتهاه ولا يكون شاذّا ولا معلّلا.

Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[1]

2.     Menurut Khaeruman

         Secara bahasa shahih adalah lawan “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut istilah muhaditsin, hadits shahih adalah:[2]

ما نقله عدل تامّ الضّابط متّصل السّند غير معلّل ولا شاذّ.

Artinya: Hadits yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat, dan tidak janggal.

3.     Menurut Ash-shiddieqy

ما اتّصل سنده بنقل العدل الضّابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة.

Hadits yang bersambung- sambung sanadnya yang dipindahkan (diriwayatkan) oleh   orang yang adil dan kokoh ingatannya dari yang seumpamanya, tidak terdapat padanya keganjilan dan cacat-cacat yang memburukannya.

4.   Menurut Suparta

Shahih menurut bahasa berarti sah; benar, sempurna sehat (tiada segalanya); pasti.[3]

b.     Syarat Hadits Shahih

1.     Bersambung sanadnya

Yang dimaksud dengan dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi hadis yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Konsekuensinya, definisi ini tidak mencakup hadis mursal dan munqathi’ dalam berbagai variasinya.

Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung apabila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.

2.     Keadilan para rawinya

Uraian arti adil dan perincian syarat-syaratnya telah disebutkan di muka. Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’aah) seseorang.

Menurut Ar Razi dalamKhaeruman, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertakwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan.[4]

Dengan persyaratan ini, maka definisi di atas tidak mencakup hadits maudhu dan hadits-hadits dhaif yang disebabkan rawinya dituduh fasik, rusak muru’ahnya, dan sebagainya.

3.     Ke-dhabith-an para rawinya

Yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai haditsnya dengan baik, baik dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya. Persyaratan ini menghendaki agar seorang rawi tidak melalaikannya dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya, dan sebagainya, sebagainya yang kami sebutkan dalam pembahasan tentang ke-dhabith-an dan dalam ilmu riwayah.

4.     Tidak rancu

Kerancuan (syududz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap rancu karena apabila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalnya atau jumlah mereka lebih banyak, para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadzadz atau rancu. Dan karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif  terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.

Sebenarnya kerancuan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena para muhadditsin menganggap bahwa ke-dhabith-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabith-annya sehubungan dengan hadits-haditsnya yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja.

5.     Tidak ada cacat

Maksudnya adalah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat keshahihannya. Yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat sama yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Dengan kriteria ini maka definisi di atas tidak mencakup hadits mu’allal bercacat. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits shahih.

 

 

 

c.      Contoh Hadits Shahih

حدّثنا قتيبة بن سعيد حدّثنا جرير عن عمارة بن القعقاع عن أبي زرعة عن أبي هريرة قال.جاء رجل إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فقال يا رسول الله من أحقّ بحسن صحابتى؟ قال: أمّك. قال: ثمّ من؟ : قال : أمّك. قال ثمّ من؟ قال: أمّك. قال : ثمّ من؟ قال ثمّ أبوك.(رواه البخارى والمسلم)

Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, is berkata: “ meriwayatkan kepada kami Jarir bin “umarah bin Al Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata: ‘ Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw, lalu berkata: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan yang baik?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi” ‘ kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘kemudian bapakmu.’” (HR Bukhari dan Muslim)

Sanad hadits di atas bersambung melalui pendengaran orang yang adil dan dhabith dari orang yang semisalnya. Al Bukhari dan Muslim adalah dua orang imam yang agung dalam bidang ini.

Dan guru mereka, Qutaibah bin Sa’id, adalah orang  yang tsiqat dan shahih kitabnya. Ada yang mengatakan bahwa pada akhir hayatnya ia meragukan apabila ia telah meriwayatkan berdasarkan hafalannya. Namun hal itu tidak menjadi masalah karena Qutaibah bin Sa’id adalah salah seorang muridnya yang senior dan telah lebih dahulu mendengar hadits-haditsnya.

‘Umarah bin Al Qa’qa’ juga seorang yang tsiqat. Demikian pula Abu Zur’ah al tabi’i. Ia adalah putra ‘Amr bin jarir bin Abdullah al Bajali.

Para rawi dalam sanad di atas seluruhnya orang tsiqat dan dipakai berhujah oleh para imam. Untaian sanad di atas telah dikenal dikalangan muhadditsin, dan padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal. Demikian pula matan hadits tersebut sesuai dengan dalil-dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadits tersebut termasuk hadits shahih dengan sendirinya (shahih lidzatihi).

d.     Macam-macam Hadits Shahih

Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu:[5]

1.     Shahih lidzatihi (shahih karena dirinya)

Shahih lidzatihi artinya: yang sah karena dzatnya, yakni yang shahih dengan tidak ada bantuan keterangan lain.[6]

Adapun menurut Suparta, shahih lidzatihi adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat yang lima sebagaimana yang tersebut diatas.[7]

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ اِنَّ رَسُوْلَ الله ص اللهِ قَالَ: اِذَا كَانُوْا ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجى اثْنَانِ دُوْنَ الثَّلِثِ.

Artinya: (Kata Bukhari): Telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdulllah bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “ Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikkan dengan tidak bersama yang ketiganya.

Rawi-rawi yang ada dalam sanad hadits di atas, kalau disusun dengan tertib, akan jadi seperti berikut:[8]

1.     Bukhari

2.     ‘Abdullah bin Yusuf

3.     Malik

4.     Nafi’

5.     ‘Abdullah (yaitu Ibnu ‘Umar)

6.     Rasulullah saw

Keterangan:

a.      Kalau kita memeriksa sanad tersebut, dari Bukhari sampai Nabi saw., kita akan dapati bersambung dari seorang rawi kepada yang lain, karena Bukhari mendengar dari ‘Abdullah; ‘Abdullah ini mendengar dari Malik; Malik ini mendengar dari Nafi’; Nafi’ ini mendengar dari ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar); ‘Abdullah ( Ibnu ‘Umar) ini pula mendengar dari Rasullah saw.

b.      Rawi-rawi No.1 sampai no. 5 tersebut, semua bersifat adil, kepercayaan dan dhabith dengan sempurna.

Adapun, Rasulullah saw. Tentu tidak perlu kita urus tentang sifat beliau. Kita sekalian sudah maklum.

c.      Hadits ini tidak terdapat syu-dzudz-nya, yakni tidak menyalahi hadits yang derajatnya lebih kuat; dan tidak ada ‘illatnya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain yang menyebabkan hadits itu tercela.

Alhasil, hadits tersebut mempunyai syarat-syarat sebagai mana tertera dalam makna (ta’rif) shahih yang saya cantumkan.

2.     Shahih lighairihi (shahih bukan karena dirinya)

Shahih li ghairihi, artinya: hadits di bawah tingkatan shahih yang menjadi shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits yang lain.[9]

Sedangkan menurut Suparta, shahih lighairihi adalah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul (‘ala sifat al-qubul).[10]

Lebih jelas diterangkan oleh Zuhri bahwa Hadis Shahih li ghairih ialah hadis yang tingkatannya berada dibawah tingkatan hadis Shahih li dzatihi, hadis ini menjadi Shahih karena diperkuat dengan hadis- hadis lain. Sekiranya kalau hadis yang memperkuat itu tidak ada maka hadis tersebut hanyalah menjadi hadis hasan.[11]

Supaya lebih jelas baiklah kita perhatikan hadits berikut:

عن أبى هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: لو لا ان اشقّ على امّتى لا مرتهم بالسّواك عند كلّ صلاة (رواه البخارى والترمذى)

Dari Abu Hurairah, Bahwa Rasulullah bersabda, “ sekiranya aku tidak menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap salat. (HR. Bukhari dan Turmudzi)

          Bila suatu hadits diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadits itu tidak dihitung sebagai satu hadits, tetapi lima hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh empat buah sanad, dihitung sebagai empat buah hadits, jadi hadits tersebut diatas, yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad tersendiri dan Tirmizi dengan sanad tersendiri pula, dihitung sebagai dua hadits. Pertama adalah hadits Bukhari, yang dinilai sebagai hadits hasan lidzatihi, dan kedua yaitu hadits Tirmizi itu. Karena diperkuat oleh hadits Bukhari, hadits Tirmizi naik tingkatannya menjadi shahih li ghairihi.

e.      Sumber-sumber Hadits Shahih

Para ulama telah menyusun sejumlah kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits shahih. Yang paling masyhur diantarnya adalah Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim. Karena tingkat kemasyhurannya begitu tinggi, maka orang yang tidak berilmu akan beranggapan bahwa kedua kitab ini telah mencakup seluruh haidts shahih. Anggapan ini merupakan suatu kesalahan yang sangat besar Karen penyusun ketua kitab ini tidak menyatakan demikian, bahkan mereka mengingatkan bahwa mereka tidak menuliskan banyak hadits shahih karena khawatir kitabnya akan menjadi terlalu tebal.

Selanjutnya akan kami bicarakan kitab-kitab yang disusun khusus untuk menghimpun hadits-hadits shahih dan kitab-kitab yang disusun berkaitan dengan shahihain, baik yang disusun sebgai mustadrak maupun sebagai mustakhrajnya. Kitab-kitab yang kami maksud adalah al-muwathta, shahil al bukhari, shahih muslim, shahih Ibnu khuzaimah, dan Shahih Ibnu Hibban.[12]

1.     Al- Muwaththa’

Kitab ini disusun oleh Imam Malik bin Anas, seorang faqih, mujtahid, pakar hadits nabawi, salah seorang pemuka umat Islam, dan salah seorang fuqoha Madinah yang telah dijanjikan oleh Nabi Saw.

2.     Al Jami al shahih al- Bukhari

Kitab ini  disusun oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al Mughirah al- Bukhari al-Jufi ( dengan nisbat perwalian)

3.     Shahih Muslim

Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin al Hajjaj al Naisaburi. Lahir di kota Naisabur pada 206 H, dan wafat di kota yang sama pada 261 H.

4.     Shahih Ibnu Khuzaimah

Kitab ini disusun oleh seorang imam dan muhaddits besar Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (w. 311 H). ia dikenal sangat teliti sehingga dalam menshahihkan hadits ia menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam sanad sehingga ia berkata; ان صحّ هذا الخبر atau ان ثبت كذا

5.     Shahih Ibnu Hibban

Kitab ini disusun oleh seorang imam dan muhaddits, al Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban al Busti (w. 354), seorang murid Ibnu khuzaimah.

6.     Almukhtarah

Kitab ini disusun oleh al Hafizh Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul Wahid al Maqdisi (w. 643)

B.    Hadits Hasan

a.      Pengertian Hadits Hasan

1.     Menurut ‘Itr

    الْحَدِيْثُ الْحَسَنُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِى اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ عَدْلٍ خَفَّ ضَبْطُهُ غَيْرُ شَاذٍّ وَلَا مُعَلَّلٍ

Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan bercacat.[13]

2.     Menurut  Soetari

مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ

Hadits yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan sandanya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.[14]

3.     Menurut As Shiddieqy

مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ يَرْوِيْهِ غَيْرُ كَامِلِ الثِّقَةِ

Hadits yang bersambung-sambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang yang tidak mempunyai derajat terpercaya yang sempurna.[15]

4.     Menurut Suparta

Hadits hasan menurut bahasa berarti  sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu(مَا تَشْتَهِيْهِ النَّفْسُ وَتَمِيْلُ اِلَيْه).[16]

5.     Menurut Ibnu Hajar

وَخَبَرُ الْأَحَدُ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍ هُوَ الصَّحِيْحُ لِذَاتِهِ. فَإِنْ قَالَ الضَّبْطُ فَالْحَسَنُ لِذَاتِهِ.

“Khabar Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa ber’illat dan syadz disebut hadits shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan lidatzihi.[17]

b.     Syarat Hadits Hasan

Menurut Suparta, Secara rinci syarat-syarat hadits hasan sebagai berikut:[18]

a.      Sanadnya bersambung

b.     Perawinya adil

c.      Perawinya dhabith, tetapi kualitas ke-dhabitah-annya dibawah ke-dhabith-an perawi hadits

d.      Tidak terdapat kejanggalan atau syadz

e.      Tidak ber’illat

 

c.      Contoh Hadits Hasan

Contoh hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, ia berkata, “Yahya bin Said meriwayatkan hadits kepada kami dari Bahz bin Hakim, ia mengatakan, meriwayatkan hadits kepada Bapakku dari Kakekku, katanya: Aku bertanya:

يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَبَرُّ؟ قَالَ: أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ، ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ أُمَّكَ .قَالَ قُلْتُ، ثُمَّ مَنْ؟قَالَ أُمَّكَ ،ثُمَّ أَبَاكَ ثمُّ الْاَقْرَبَ فَالْاَقْرَبَ

Artinya: Ya Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti?Rasulullah menjawab, kepada ibumu”,  aku bertanya “lalu kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “ibumu, lalu aku bertanya “ lalu kepada siapa?” Rasululullah menjawab, “ibumu, kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdekat dan selanjutnya.

Sanad ini bersambung tak ada kejanggalan dan tidak ada cacat padanya, karena baik dalam rangkaian sanadnya maupun dalam matannya tidak terdapat perbedaan riwayat-riwayatnya.

Imam Ahmad dan gurunya, Yahya bin Sa’id Al Qatan adalah dua orang imam yang agung. Bahz dan Hakim adalah orang yang jujur dan dapat menjaga diri, sehingga dinilai tsiqat oleh Ali bin Al madini, Yahya binNain dan An Nasai. Akan tetapi sebagian ulama mempermasalahkan riwayatnya dan karena itu Syubah bin Hajjaj memperbincagkannya. Namun sifat tersebut tidak mencabut sifat kedhabithannya. Ayahnya Bahz, yaitu Hakim oleh Al ajli dan Ibnu Hibban dinilai tsiqat. An Nasai mengatakan “. Laisa bihi ba’sien” dengan demikian tingkatan hadits Bahz adalah hasan lizatihi.

Ada banyak keserupaan antara hadits hasan dan hadits shahih, sehingga sekelompok ahli hadits memasukkan hadits hasan kedalam ajaran hadits shahih, akan tetapi para muhadditsin tetap menganggap hadits hasan sebagai suatu jenis hadits tersendiri karena yang dapat dipakai hujjah itu adakalanya berada pada tingkat tertinggi (shahih) atau berada pada tingkatan lebih rendah (hasan).

d.     Macam-macam Hadits Hasan

1.     Hadits Hasan Lidzatihi

Hadits Hasan Lidzatihi adalah hadits yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dhabith).[19]

Contoh Hadits Hasan Lidzatihi:

حدّثنا ابو كريب حدّثنا عبدة بن سليمان عن محمّد ابن عمر وعن ابي سلمة عن ابي هريرة قال: قال رسول الله ص: لو لا ان اشقّ على أمّتي لا مرتهم بالسّواك عند كلّ صلاة (التّرمذي)

Artinya: Telah menceritakan kepada kami, Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami. ‘Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia  berkata: telah bersabda Rasulullah saw: “jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersugi diwaktu tiap-tiap hendak salat.”

Sanad hadits ini, jika kita gambarkan akan menjadi begini:

a.      Turmudzi

b.     Abu Kuraib

c.      ‘Abdah bin Sulaiman

d.     Muhammad bin ‘Amr

e.       Abi Salamah

f.      Abi Hurairah

g.     Rasulullah saw

Keterangan:

-        Kalau diperiksa sanad ini, dari Turmudzi sampai kepada Nabi, kita akan dapatinya bersambung, yakni tiap-tiap seorang mendengar atau mendapat khabar langsung dari yang lain.

-        Rawi-rawi dari no.1 sampai no.6, semua ‘adil dan dhabith, melainkan Muhammad bin ‘Amr, seorang yang adil tetapi kedhabitannya kurang, karena lemah hafalannya.

-        Hadits tersebut tidak ada syudzudz dan tidak pula ada ‘illahnya.

Oleh karena ada Muhammad bin ‘Amr tersebut, maka hadits itu dinamakan hadits hasan lidzatihi.

2.     Hadits Hasan Lighairihi

Hadits Hasan Lighairihi adalah hadits dibawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan karena hadits lain yang menguatkannya atau hadits hasan lighairihi adalah hadits dha’if yang karena dikuatkan oleh hadits yang lain, meningkat menjadi hasan.[20] Hadits dha’if yang dikuatkan dengan hadits lain bisa menjadi hadits hasan lighairihi dan bisa pula tidak naik tingkatannya.

Contoh Hadits Hasan Lighairihi:

قال رسول الله ص: حقّا على المسلمين ان يغتسل يوم الجمعة (رواه التّمذي)

Artinya: “Rasulullah saw bersabda, merupakan hak atas kaum muslimin, mandi pada hari jum’at. (HR Turmudzi).

Hadits tersebut diterima oleh Turmudzi melalui dua sanad:

Pertama: dari Ali bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At-Taimi, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Lailla, dari Barra bin Azib, dari Rasulullah saw.

Kedua: dari Ahmad bin Mani, dari Hayim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Lailla, dari Barra bin Azib, dari Rasulullah saw.

Rawi dalam sanad pertama terpercaya, kecuali Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, yang lemah hapalannya. Karena itu, hadits yang diriwayatkannya oleh sanad kedua itu juga dipandang dha’if. Kedua hadits itu ( karena ada dua sanad, harus dihitung dua hadits), saling menguatkan sehingga masing-masingnya naik menjadi hasan lighairihi.

e.      Sumber Hadits Hasan

1.     Al Jami’ karya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al Turmudi (209 H-279)

2.      As Sunan karya Imam Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani (202 H-273 H)

3.     Al Mujtaba karya Imam Abu Abdirahman Ahmad bin Syu’aib al Nasai (215 H-303 H)

4.     Sunan Al Musthafa karya Ibnu Majah Muhammad Bin Yazid al Qazwini, seorang hafiz yang agung dan seorang mufassir (209 H- 273 H)

5.     Al musnad karya imam besar Ahmad bin Hanbal, imam ahli Sunah dan hadits (164 H-241 H)

6.     Al Musnad karya Abu Ya’la Al Maushili Ahmad bin Ali bin al Mutsanna

 

f.      Problematika terkait Hadits Shahih dan Hadits Hasan

1.     Kehujjahan hadits shahih

Ulama ahli hadits dan para ulama yang pendapatnya dapat dipegangi dari kalangan fuqaha dan ahli ushul sepakat bahwa hadits shahih dapat dipakai hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya seorang diri atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.

Ini, menurut hemat kami, adalah suatu yang secara spontan sesuai dengan fitrah manusia serta tidak perlu banyak dalil dan argumentasi. Tidak seorang manusia pun kecuali ia melandasi segala urusannya dalam beramal, berdagang, atau belajar, dan sebagainya dengan keterangan yang disampaikan oleh seseorang yang dapat dipercaya, yakni apabila ada dugaan kuat akan kejujurannya lebih kuat daripada kemungkinan kesalahannya atau kedustaannya adalah .

          Bahkan dalam urusan-urusan besar yang berkaitan dengan perjalanan bangsa cukup hanya berpegang kepada keterangan perorangan; seperti para duta dan para utusan pemerintah. Penolakan terhadap penerimaan hadits ahad itu akan berakibat pada terbengkalainya urusan agama dan dunia.

             Setelah para ulama sepakat atas wajibnya mengamalkan hadits shahih ahad tentang hukum-hukum serta halal dan haram, mereka berbeda pendapat tentang penetapan akidah dengan hadits ahad. Sebagian besar ulama berpenapat bahwa akidah tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil yang yakin dan pasti yaitu nash al qur’an dan hadits mutawatir.

                Sebagian ulama dari kalangan Ahlusunnah dan Ibnu Hazm al Zhahiri berpendapat bahwa hadits shahih itu memberikan kepastian dan harus diyakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan akidah.

                  Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih ini tergantung kepada kedhabitan dan keadilan para perawinya. Semakin shabith dan adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkan.

Berdsarkan martabat seperti ini, para muhadditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:

a.      Ashah Alasanid, yakni rangkaian sanad yang

Paling tinggi derajatnya. Para ulama hadits berbeda pendapat dalam menentukan peringkatpertama ini:

Al Suyuti [21]menguraikannya sebagai berikut:

-        Menurut Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuwaih, adalah jalur sanad Ibn Syihab Al Zuhry- dari Salim ibn Abdullah ibn Umar-dari Ibn Umar.

-        Menurut Ibn Al Madiny, Al Fallas dan Sulaiman ibn Harb, adalah; Muhammad ibn Sirin- ‘Abidah Al salmany-Ali ibn Abi thalib

-        Menurut Abu Bakar ibn Abi Syaibah, adalah; Al Zuhry-Ali ibn Husain-Husein ibn Ali-Ali ibn Abi thalib.

-        Menurut Imam Al Bukhari, adalah; Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’ mawla Ibn Umar, Ibn Umar.

Berdasarkan perbedaan pendapat seperti ini, Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan bahwa dasar penetapan “ashah alasanid” ada yang mengkhususkan sahabat tertentu dan ada yang mengkhususkan kepada daerah tertentu.

b.     Ahsanul Alasanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah tingkat pertama diatas, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Sabit dari Anas.

c.      Adh’aful Alasanid, yakni rangkaian sanad hadits yang tingkatannya kedua, seperti hadits riwayat suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah.

2.     Kehujjahan hadits hasan

Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadits hasan ini, baik hasan lizatih maupun hasan lighairih kedalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal dengan hadits hasan ini.[22] Agaknya Al Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadits ini. Makanya Al Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah hadits hasan lizatihi.

Sedangkan hadits hasan lighairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya riwayat lain, maka shlah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian, tidak sah berhujjah dengannya pada hakikatnya hasan lighairihi pun bisa digunakan sebagai hujjah.

Kitab-kitab hadits yang banyak memuat hadits hasan ini adalah Sunan At Tirmidzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan Al Daruquthny.[23]

Sementara para ulama yang membedakan kehujjahan hadits berdasarkan perbedaan kualitas, hadits hasan lidzatihi dengan lighairihi, maupun antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan ruthbah hadits-hadits tersebut berdasarkan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dan seterusnya.

Penempatan hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan diatas, akan terlihat kegunaannya ketika terjadi atau terlihat adanya pertentangan (ta’arudh) antara dua hadits. Hadits-hadits yang menempatiurutan pertama dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau ketiga dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits pada urutan keempat atau kelima.[24]

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

 

Pembahasan dalam makalah ini menjelaskan tentang  Penggolongan hadits berdasarkan kualitasnya, yaitu hadits shahih dan hadits hasan. Selain itu syarat-syarat, contoh serta sumbernya telah  dibahas dalam makalah ini.

B.    Saran

Dengan adanya pembahasan dalam makalah ini, diharapkan penulis dan pembaca dapat mengerti tentang hadits shahih dan hadits hasan sehingga dapat benar dalam memahami ilmu hadits secara maksimal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Mudzakir, M, Ulumul Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

Alkhatib, Ajjaj. Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa musthalahuhu, Beirut: Dar Al Fikr, 1981, Cet ke 4.

Hassan, Qadir. Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Diponegoro, 2007.

 ‘Itr, Nuruddin, Ulumul Hadits, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014.

 Khaeruman, Badri, Ulum Hadis,  Bandung: PT Pustaka Setia. 2010

Mahfudz Ibn Abdillah At Tirmisi, Muhammad. Manhaj Dzawi Al Nazhar, Jeddah: Alharamain, 1974, Cet. Ke 3.

Muhammad Hasbi As shiddieqy, Teungku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012.

Muhammad Muhammad Darwisy, Dr. ‘Adil. Zad Al Du’at, Kairo: Al Markaz Al Alamy Li Al Komputer, 1997, Cet ke 2.

Soetari, Endang. Ilmu Hadits (kajian riwayah dan dirayah), Bandung: CV Mimbar Pustaka, 2008.

Suparta, Munzier, Ilmu hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Suyuti, Al.  Al Jami’ Al Shaghir, Jilid I, Beirut: Dar Al Fikr wa Maktabah Al Salafiyah, t.t.

Zuhri, Muh, Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana 1997.

 

 

 

 

 



[1] Nuruddin ‘Itr. Ulumul Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014), hal. 240

[2] Badri Khaeruman. Ulum Hadis, ( Bandung: PT Pustaka Setia. 2010), hal. 119

[3] Munzier Suparta,  Ilmu hadits, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 126

[4] Badri Khaeruman, Ulum Al Hadis, Hal. 120

[5] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir. Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hal. 106

[6] Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal. 29

[7] Munzier Suparta,  Ilmu hadits, hal. 134

[8] Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits,  hal. 30

[9]  Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir. Ulumul Hadis. hal. 107

[10]  Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal. 134.

[11] Muh, Zuhri. Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana 1997); halaman  117

[12] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, hal. 251-260

[13] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, hal. 266

[14] Endang Soetari, IIlmu Hadits (kajian riwayah dan dirayah), (Bandung: CV Mimbar Pustaka, 2008), hal.132

[15] Teungku Muhammad Hasbi As shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), hal.162

[16] Munzier Suparta,  Ilmu Hadis, hal.143

[17] Munzier Suparta. Ilmu Hadis, hal.144

[18]  Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal.145

[19] Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir. Ulumul Hadis, hal. 115

[20] Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir. Ulumul Hadis, hal. 116

[21]  Al Suyuti, Al Jami’ Al Shaghir, Jilid I, (Beirut: Dar Al Fikr wa Maktabah Al Salafiyah, t.t), hal.77-78

[22] Ajjaj Alkhatib, Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa musthalahuhu, (Beirut: Dar Al Fikr, 1981), Cet ke 4, hal.334-335

[23] Dr. ‘Adil Muhammad Muhammad Darwisy, Zad Al Du’at, (Kairo: Al Markaz Al Alamy Li Al Komputer, 1997), Cet ke 2, hal. 49

[24] Muhammad Mahfudz Ibn Abdillah At Tirmisi, Manhaj Dzawi Al Nazhar, (Jeddah: Alharamain, 1974), Cet. Ke 3, hal. 20-22


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction