BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Terdapat
penggolongan hadits yang dinilai dari berbagai segi, yang ditujukan untuk
mengetahui kualitas hadits tersebut, baik dilihat dari kuantitas, maupun
kualitas para perawinya.
Penggolongan
hadits tersebut beberapa diantaranya sudah dijelaskan pada makalah-makalah
sebelumnya, yaitu mengenai penggolongan hadits berdasarkan kuantitas perawinya.
Sedangkan pada makalah ini penulis akan menjelaskan tentang penggolongan hadits
berdasarkan kualitas perawinya.
Mengapa cara
diatas harus dipahami karena hal tersebut akan sangat berpengaruh pada proses
mengetahui kehujjahan hadits yang akan kita jadikan sebagai landasan hukum
dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu
penulis menganggap perlu untuk membahasnya dalam makalah ini, sehingga dapat
menciptkan sebuah pemahaman yang jelas tentang penggolongan hadits berdasarkan
kualitas perawinya, yaitu dalam hal ini akan dibahas tentang Hadits Shahih dan
Hadits Hasan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa
itu Hadits Shahih?
2. Apa
itu Hadits Hasan?
3.
Bagaimana
Problematika yang Terkait dengan Hadits Shahih dan Hadits Hasan?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui
tentang Hadits Shahih.
2. Mengetahui
tentang Hadits Hasan.
3. Mengetahui
Problematika yang Terkait dengan Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat yang di harapkan
dari makalah ini :
1. Teoretis: untuk mengkaji Ilmu Hadits khususnya dalam
memahami Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
2. Umum :
untuk meberikan pengetahuan tentang Hadits Shahih dan Hadits Hasan sehingga memungkinkan
dilakukannya penelahan ilmiah secara teratur dan cermat tentang ilmu hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Shahih
a.
Pengertian
hadits Shahih
1.
Menurut
‘Itr
الحديث
الصّحيح هو الحديث الّذى اتّصل سنده بنقل العدل الضّابط عن العدل الضّابط إلى
منتهاه ولا يكون شاذّا ولا معلّلا.
Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil
dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
mengandung cacat (illat).[1]
2.
Menurut
Khaeruman
Secara
bahasa shahih adalah lawan “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil.
Menurut istilah muhaditsin, hadits shahih adalah:[2]
ما
نقله عدل تامّ الضّابط متّصل السّند غير معلّل ولا شاذّ.
Artinya:
Hadits yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat, dan tidak
janggal.
3.
Menurut
Ash-shiddieqy
ما اتّصل سنده بنقل
العدل الضّابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة.
Hadits yang bersambung- sambung sanadnya yang dipindahkan
(diriwayatkan) oleh orang yang adil dan
kokoh ingatannya dari yang seumpamanya, tidak terdapat padanya keganjilan dan
cacat-cacat yang memburukannya.
4.
Menurut
Suparta
Shahih menurut bahasa berarti sah; benar, sempurna sehat (tiada
segalanya); pasti.[3]
b.
Syarat
Hadits Shahih
1.
Bersambung
sanadnya
Yang dimaksud dengan dengan ketersambungan sanad adalah bahwa
setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi hadis
yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang
pertama. Konsekuensinya, definisi ini tidak mencakup hadis mursal dan munqathi’
dalam berbagai variasinya.
Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung apabila terputus salah
seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap
putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan
tidak shahih.
2.
Keadilan
para rawinya
Uraian arti adil dan perincian syarat-syaratnya telah disebutkan di
muka. Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat,
karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk
bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang
merusak harga diri (muru’aah) seseorang.
Menurut Ar Razi dalamKhaeruman, keadilan adalah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertakwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan
melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang
menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing)
di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan.[4]
Dengan persyaratan ini, maka definisi di atas tidak mencakup hadits
maudhu dan hadits-hadits dhaif yang disebabkan rawinya dituduh fasik, rusak
muru’ahnya, dan sebagainya.
3.
Ke-dhabith-an
para rawinya
Yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadits yang
bersangkutan dapat menguasai haditsnya dengan baik, baik dengan hafalannya yang
kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya. Persyaratan ini menghendaki agar seorang rawi tidak
melalaikannya dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya, dan
sebagainya, sebagainya yang kami sebutkan dalam pembahasan tentang ke-dhabith-an
dan dalam ilmu riwayah.
4.
Tidak
rancu
Kerancuan (syududz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap rancu
karena apabila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari
segi kekuatan daya hafalnya atau jumlah mereka lebih banyak, para rawi yang
lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadzadz atau rancu. Dan
karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
Sebenarnya kerancuan suatu hadits itu akan hilang dengan
terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena para muhadditsin menganggap bahwa
ke-dhabith-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan
dengan sejumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian
dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabith-annya
sehubungan dengan hadits-haditsnya yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya
mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja.
5.
Tidak
ada cacat
Maksudnya adalah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat
keshahihannya. Yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat sama yang membuatnya
cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat
tersebut. Dengan kriteria ini maka definisi di atas tidak mencakup hadits
mu’allal bercacat. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits shahih.
c.
Contoh
Hadits Shahih
حدّثنا
قتيبة بن سعيد حدّثنا جرير عن عمارة بن القعقاع عن أبي زرعة عن أبي هريرة قال.جاء
رجل إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فقال يا رسول الله من أحقّ بحسن صحابتى؟
قال: أمّك. قال: ثمّ من؟ : قال : أمّك. قال ثمّ من؟ قال: أمّك. قال : ثمّ من؟ قال
ثمّ أبوك.(رواه البخارى والمسلم)
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, is berkata: “
meriwayatkan kepada kami Jarir bin “umarah bin Al Qa’qa’ dari Abu Zur’ah dari
Abu Hurairah, ia berkata: ‘ Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw,
lalu berkata: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan
perlakuan yang baik?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi” ‘
kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu kembali bertanya:
‘kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘kemudian bapakmu.’” (HR
Bukhari dan Muslim)
Sanad hadits di atas bersambung melalui pendengaran orang yang adil
dan dhabith dari orang yang semisalnya. Al Bukhari dan Muslim adalah dua orang
imam yang agung dalam bidang ini.
Dan guru mereka, Qutaibah bin Sa’id, adalah orang yang tsiqat dan shahih kitabnya. Ada yang
mengatakan bahwa pada akhir hayatnya ia meragukan apabila ia telah meriwayatkan
berdasarkan hafalannya. Namun hal itu tidak menjadi masalah karena Qutaibah bin
Sa’id adalah salah seorang muridnya yang senior dan telah lebih dahulu
mendengar hadits-haditsnya.
‘Umarah bin Al Qa’qa’ juga seorang yang tsiqat. Demikian pula Abu
Zur’ah al tabi’i. Ia adalah putra ‘Amr bin jarir bin Abdullah al Bajali.
Para rawi dalam sanad di atas seluruhnya orang tsiqat dan dipakai
berhujah oleh para imam. Untaian sanad di atas telah dikenal dikalangan
muhadditsin, dan padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal. Demikian pula
matan hadits tersebut sesuai dengan dalil-dalil lain tentang masalah yang sama.
Jadi hadits tersebut termasuk hadits shahih dengan sendirinya (shahih
lidzatihi).
d.
Macam-macam
Hadits Shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu:[5]
1.
Shahih
lidzatihi (shahih karena dirinya)
Shahih lidzatihi artinya: yang sah karena dzatnya, yakni yang
shahih dengan tidak ada bantuan keterangan lain.[6]
Adapun menurut Suparta, shahih lidzatihi adalah hadits yang
memenuhi syarat-syarat atau sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat
yang lima sebagaimana yang tersebut diatas.[7]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ
بْنُ يُوْسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ اِنَّ رَسُوْلَ
الله ص اللهِ قَالَ: اِذَا كَانُوْا ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجى اثْنَانِ دُوْنَ
الثَّلِثِ.
Artinya: (Kata Bukhari): Telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah
bin Yusuf, (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi, dari
Abdulllah bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “ Apabila mereka itu bertiga orang,
janganlah dua orang (dari antaranya) berbisik-bisikkan dengan tidak bersama
yang ketiganya.
Rawi-rawi yang ada dalam sanad hadits di atas, kalau disusun dengan
tertib, akan jadi seperti berikut:[8]
1.
Bukhari
2.
‘Abdullah
bin Yusuf
3.
Malik
4.
Nafi’
5.
‘Abdullah
(yaitu Ibnu ‘Umar)
6.
Rasulullah
saw
Keterangan:
a.
Kalau
kita memeriksa sanad tersebut, dari Bukhari sampai Nabi saw., kita akan dapati
bersambung dari seorang rawi kepada yang lain, karena Bukhari mendengar dari
‘Abdullah; ‘Abdullah ini mendengar dari Malik; Malik ini mendengar dari Nafi’;
Nafi’ ini mendengar dari ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar); ‘Abdullah ( Ibnu ‘Umar) ini
pula mendengar dari Rasullah saw.
b.
Rawi-rawi No.1 sampai no. 5 tersebut, semua
bersifat adil, kepercayaan dan dhabith dengan sempurna.
Adapun, Rasulullah saw. Tentu tidak perlu kita urus tentang sifat
beliau. Kita sekalian sudah maklum.
c.
Hadits
ini tidak terdapat syu-dzudz-nya, yakni tidak menyalahi hadits yang derajatnya
lebih kuat; dan tidak ada ‘illatnya, yaitu kekeliruan, kesalahan dan lain-lain
yang menyebabkan hadits itu tercela.
Alhasil, hadits tersebut mempunyai syarat-syarat sebagai mana
tertera dalam makna (ta’rif) shahih yang saya cantumkan.
2.
Shahih
lighairihi (shahih bukan karena dirinya)
Shahih li ghairihi, artinya: hadits di bawah tingkatan shahih yang
menjadi shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits yang lain.[9]
Sedangkan menurut Suparta, shahih lighairihi adalah hadits yang
tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits
maqbul (‘ala sifat al-qubul).[10]
Lebih jelas diterangkan oleh Zuhri bahwa Hadis Shahih li ghairih ialah hadis yang
tingkatannya berada dibawah tingkatan hadis Shahih li dzatihi, hadis ini
menjadi Shahih karena diperkuat dengan hadis- hadis lain. Sekiranya kalau hadis
yang memperkuat itu tidak ada maka hadis tersebut hanyalah menjadi hadis hasan.[11]
Supaya lebih jelas baiklah kita perhatikan hadits berikut:
عن أبى هريرة رضي الله
عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: لو لا ان اشقّ على امّتى لا مرتهم بالسّواك
عند كلّ صلاة (رواه البخارى والترمذى)
Dari Abu Hurairah, Bahwa Rasulullah bersabda, “ sekiranya aku tidak
menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap
salat. (HR. Bukhari dan Turmudzi)
Bila suatu hadits diriwayatkan
oleh lima buah sanad, maka hadits itu tidak dihitung sebagai satu hadits,
tetapi lima hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh empat buah sanad, dihitung
sebagai empat buah hadits, jadi hadits tersebut diatas, yang diriwayatkan oleh
Bukhari dengan sanad tersendiri dan Tirmizi dengan sanad tersendiri pula, dihitung
sebagai dua hadits. Pertama adalah hadits Bukhari, yang dinilai sebagai hadits
hasan lidzatihi, dan kedua yaitu hadits Tirmizi itu. Karena diperkuat oleh
hadits Bukhari, hadits Tirmizi naik tingkatannya menjadi shahih li ghairihi.
e.
Sumber-sumber
Hadits Shahih
Para ulama telah menyusun sejumlah kitab yang khusus menghimpun
hadits-hadits shahih. Yang paling masyhur diantarnya adalah Shahih al Bukhari
dan Shahih Muslim. Karena tingkat kemasyhurannya begitu tinggi, maka orang yang
tidak berilmu akan beranggapan bahwa kedua kitab ini telah mencakup seluruh
haidts shahih. Anggapan ini merupakan suatu kesalahan yang sangat besar Karen
penyusun ketua kitab ini tidak menyatakan demikian, bahkan mereka mengingatkan
bahwa mereka tidak menuliskan banyak hadits shahih karena khawatir kitabnya
akan menjadi terlalu tebal.
Selanjutnya akan kami bicarakan kitab-kitab yang disusun khusus
untuk menghimpun hadits-hadits shahih dan kitab-kitab yang disusun berkaitan
dengan shahihain, baik yang disusun sebgai mustadrak maupun sebagai mustakhrajnya.
Kitab-kitab yang kami maksud adalah al-muwathta, shahil al bukhari, shahih
muslim, shahih Ibnu khuzaimah, dan Shahih Ibnu Hibban.[12]
1.
Al-
Muwaththa’
Kitab ini disusun oleh Imam Malik bin Anas, seorang faqih,
mujtahid, pakar hadits nabawi, salah seorang pemuka umat Islam, dan salah
seorang fuqoha Madinah yang telah dijanjikan oleh Nabi Saw.
2.
Al
Jami al shahih al- Bukhari
Kitab ini disusun oleh Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al Mughirah al- Bukhari
al-Jufi ( dengan nisbat perwalian)
3.
Shahih
Muslim
Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin al Hajjaj al Naisaburi.
Lahir di kota Naisabur pada 206 H, dan wafat di kota yang sama pada 261 H.
4.
Shahih
Ibnu Khuzaimah
Kitab ini disusun oleh seorang imam dan muhaddits besar Abu
Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (w. 311 H). ia dikenal
sangat teliti sehingga dalam menshahihkan hadits ia menggunakan ungkapan yang
paling ringan dalam sanad sehingga ia berkata; ان صحّ
هذا الخبر atau ان ثبت كذا
5.
Shahih
Ibnu Hibban
Kitab ini disusun oleh seorang imam dan muhaddits, al Hafizh Abu
Hatim Muhammad bin Hibban al Busti (w. 354), seorang murid Ibnu khuzaimah.
6.
Almukhtarah
Kitab ini disusun oleh al Hafizh Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul
Wahid al Maqdisi (w. 643)
B.
Hadits Hasan
a.
Pengertian
Hadits Hasan
1.
Menurut
‘Itr
الْحَدِيْثُ
الْحَسَنُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِى اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ عَدْلٍ خَفَّ ضَبْطُهُ
غَيْرُ شَاذٍّ وَلَا مُعَلَّلٍ
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu
dan bercacat.[13]
2.
Menurut Soetari
مَا
نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلَا شَاذٍّ
Hadits yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna
ingatan sandanya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.[14]
3.
Menurut
As Shiddieqy
مَا
اتَّصَلَ سَنَدُهُ يَرْوِيْهِ غَيْرُ كَامِلِ الثِّقَةِ
Hadits yang bersambung-sambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh
orang yang tidak mempunyai derajat terpercaya yang sempurna.[15]
4.
Menurut
Suparta
Hadits hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh
nafsu(مَا تَشْتَهِيْهِ النَّفْسُ وَتَمِيْلُ اِلَيْه).[16]
5.
Menurut
Ibnu Hajar
وَخَبَرُ
الْأَحَدُ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ
وَلَا شَاذٍ هُوَ الصَّحِيْحُ لِذَاتِهِ. فَإِنْ قَالَ الضَّبْطُ فَالْحَسَنُ لِذَاتِهِ.
“Khabar Ahad yang
dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya
dengan tanpa ber’illat dan syadz disebut hadits shahih, namun bila kekuatan
ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan lidatzihi.[17]
b.
Syarat
Hadits Hasan
Menurut Suparta, Secara rinci syarat-syarat hadits hasan sebagai
berikut:[18]
a.
Sanadnya
bersambung
b.
Perawinya
adil
c.
Perawinya
dhabith, tetapi kualitas ke-dhabitah-annya dibawah ke-dhabith-an perawi hadits
d.
Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
e.
Tidak
ber’illat
c.
Contoh
Hadits Hasan
Contoh hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, ia
berkata, “Yahya bin Said meriwayatkan hadits kepada kami dari Bahz bin Hakim,
ia mengatakan, meriwayatkan hadits kepada Bapakku dari Kakekku, katanya: Aku
bertanya:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَبَرُّ؟ قَالَ: أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ، ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ ثُمَّ
أُمَّكَ .قَالَ قُلْتُ، ثُمَّ مَنْ؟قَالَ أُمَّكَ ،ثُمَّ أَبَاكَ
ثمُّ الْاَقْرَبَ فَالْاَقْرَبَ
Artinya: Ya Rasulullah, kepada siapakah aku harus
berbakti?Rasulullah menjawab, kepada ibumu”,
aku bertanya “lalu kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “ibumu, lalu aku
bertanya “ lalu kepada siapa?” Rasululullah menjawab, “ibumu, kemudian bapakmu,
kemudian kerabat terdekat dan selanjutnya.
Sanad ini bersambung tak ada kejanggalan dan tidak ada cacat
padanya, karena baik dalam rangkaian sanadnya maupun dalam matannya tidak
terdapat perbedaan riwayat-riwayatnya.
Imam Ahmad dan gurunya, Yahya bin Sa’id Al Qatan adalah dua orang
imam yang agung. Bahz dan Hakim adalah orang yang jujur dan dapat menjaga diri,
sehingga dinilai tsiqat oleh Ali bin Al madini, Yahya binNain dan An Nasai.
Akan tetapi sebagian ulama mempermasalahkan riwayatnya dan karena itu Syubah
bin Hajjaj memperbincagkannya. Namun sifat tersebut tidak mencabut sifat
kedhabithannya. Ayahnya Bahz, yaitu Hakim oleh Al ajli dan Ibnu Hibban dinilai
tsiqat. An Nasai mengatakan “. Laisa bihi ba’sien” dengan demikian tingkatan
hadits Bahz adalah hasan lizatihi.
Ada banyak keserupaan antara hadits hasan dan hadits shahih,
sehingga sekelompok ahli hadits memasukkan hadits hasan kedalam ajaran hadits
shahih, akan tetapi para muhadditsin tetap menganggap hadits hasan sebagai
suatu jenis hadits tersendiri karena yang dapat dipakai hujjah itu adakalanya
berada pada tingkat tertinggi (shahih) atau berada pada tingkatan lebih rendah
(hasan).
d.
Macam-macam
Hadits Hasan
1.
Hadits
Hasan Lidzatihi
Hadits Hasan Lidzatihi adalah hadits yang terwujud karena dirinya
sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadits shahih,
kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dhabith).[19]
Contoh Hadits Hasan Lidzatihi:
حدّثنا
ابو كريب حدّثنا عبدة بن سليمان عن محمّد ابن عمر وعن ابي سلمة عن ابي هريرة قال:
قال رسول الله ص: لو لا ان اشقّ على أمّتي لا مرتهم بالسّواك عند كلّ صلاة
(التّرمذي)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami, Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami. ‘Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abi
Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata:
telah bersabda Rasulullah saw: “jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku
perintah mereka bersugi diwaktu tiap-tiap hendak salat.”
Sanad hadits ini, jika kita gambarkan akan menjadi begini:
a.
Turmudzi
b.
Abu
Kuraib
c.
‘Abdah
bin Sulaiman
d.
Muhammad
bin ‘Amr
e.
Abi Salamah
f.
Abi
Hurairah
g.
Rasulullah
saw
Keterangan:
-
Kalau
diperiksa sanad ini, dari Turmudzi sampai kepada Nabi, kita akan dapatinya
bersambung, yakni tiap-tiap seorang mendengar atau mendapat khabar langsung
dari yang lain.
-
Rawi-rawi
dari no.1 sampai no.6, semua ‘adil dan dhabith, melainkan Muhammad bin ‘Amr,
seorang yang adil tetapi kedhabitannya kurang, karena lemah hafalannya.
-
Hadits
tersebut tidak ada syudzudz dan tidak pula ada ‘illahnya.
Oleh karena ada Muhammad bin ‘Amr tersebut, maka hadits itu
dinamakan hadits hasan lidzatihi.
2.
Hadits
Hasan Lighairihi
Hadits Hasan Lighairihi adalah hadits dibawah derajat hasan yang
naik ke tingkatan hadits hasan karena hadits lain yang menguatkannya atau
hadits hasan lighairihi adalah hadits dha’if yang karena dikuatkan oleh hadits
yang lain, meningkat menjadi hasan.[20] Hadits
dha’if yang dikuatkan dengan hadits lain bisa menjadi hadits hasan lighairihi
dan bisa pula tidak naik tingkatannya.
Contoh Hadits Hasan Lighairihi:
قال رسول الله ص: حقّا
على المسلمين ان يغتسل يوم الجمعة (رواه التّمذي)
Artinya: “Rasulullah saw bersabda, merupakan hak atas kaum
muslimin, mandi pada hari jum’at. (HR Turmudzi).
Hadits tersebut diterima oleh Turmudzi melalui dua sanad:
Pertama: dari Ali bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim
At-Taimi, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Lailla, dari Barra bin
Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua: dari Ahmad bin Mani, dari Hayim, dari Yazid bin Ziyad, dari
Abdurrahman bin Abi Lailla, dari Barra bin Azib, dari Rasulullah saw.
Rawi dalam sanad pertama terpercaya, kecuali Abu Yahya bin Ibrahim
At Taimi, yang lemah hapalannya. Karena itu, hadits yang diriwayatkannya oleh
sanad kedua itu juga dipandang dha’if. Kedua hadits itu ( karena ada dua sanad,
harus dihitung dua hadits), saling menguatkan sehingga masing-masingnya naik
menjadi hasan lighairihi.
e.
Sumber
Hadits Hasan
1.
Al
Jami’ karya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al Turmudi (209 H-279)
2.
As Sunan karya Imam Abu Dawud Sulaiman bin al
Asy’ats al Sijistani (202 H-273 H)
3.
Al
Mujtaba karya Imam Abu Abdirahman Ahmad bin Syu’aib al Nasai (215 H-303 H)
4.
Sunan
Al Musthafa karya Ibnu Majah Muhammad Bin Yazid al Qazwini, seorang hafiz yang
agung dan seorang mufassir (209 H- 273 H)
5.
Al
musnad karya imam besar Ahmad bin Hanbal, imam ahli Sunah dan hadits (164 H-241
H)
6.
Al
Musnad karya Abu Ya’la Al Maushili Ahmad bin Ali bin al Mutsanna
f.
Problematika
terkait Hadits Shahih dan Hadits Hasan
1.
Kehujjahan
hadits shahih
Ulama ahli hadits dan para ulama
yang pendapatnya dapat dipegangi dari kalangan fuqaha dan ahli ushul sepakat
bahwa hadits shahih dapat dipakai hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya
seorang diri atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir.
Ini, menurut hemat kami, adalah
suatu yang secara spontan sesuai dengan fitrah manusia serta tidak perlu banyak
dalil dan argumentasi. Tidak seorang manusia pun kecuali ia melandasi segala
urusannya dalam beramal, berdagang, atau belajar, dan sebagainya dengan
keterangan yang disampaikan oleh seseorang yang dapat dipercaya, yakni apabila
ada dugaan kuat akan kejujurannya lebih kuat daripada kemungkinan kesalahannya
atau kedustaannya adalah .
Bahkan dalam urusan-urusan besar yang
berkaitan dengan perjalanan bangsa cukup hanya berpegang kepada keterangan
perorangan; seperti para duta dan para utusan pemerintah. Penolakan terhadap
penerimaan hadits ahad itu akan berakibat pada terbengkalainya urusan agama dan
dunia.
Setelah para ulama sepakat atas
wajibnya mengamalkan hadits shahih ahad tentang hukum-hukum serta halal dan
haram, mereka berbeda pendapat tentang penetapan akidah dengan hadits ahad.
Sebagian besar ulama berpenapat bahwa akidah tidak dapat ditetapkan kecuali
dengan dalil yang yakin dan pasti yaitu nash al qur’an dan hadits mutawatir.
Sebagian ulama dari kalangan
Ahlusunnah dan Ibnu Hazm al Zhahiri berpendapat bahwa hadits shahih itu
memberikan kepastian dan harus diyakini. Dengan demikian hadits shahih dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan akidah.
Perlu diketahui bahwa
martabat hadits shahih ini tergantung kepada kedhabitan dan keadilan para
perawinya. Semakin shabith dan adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan
kualitas hadits yang diriwayatkan.
Berdsarkan martabat seperti ini,
para muhadditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
a. Ashah Alasanid, yakni rangkaian
sanad yang
Paling tinggi derajatnya. Para ulama hadits berbeda pendapat dalam
menentukan peringkatpertama ini:
Al Suyuti [21]menguraikannya
sebagai berikut:
-
Menurut
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuwaih, adalah jalur sanad Ibn Syihab Al
Zuhry- dari Salim ibn Abdullah ibn Umar-dari Ibn Umar.
-
Menurut
Ibn Al Madiny, Al Fallas dan Sulaiman ibn Harb, adalah; Muhammad ibn Sirin-
‘Abidah Al salmany-Ali ibn Abi thalib
-
Menurut
Abu Bakar ibn Abi Syaibah, adalah; Al Zuhry-Ali ibn Husain-Husein ibn Ali-Ali
ibn Abi thalib.
-
Menurut
Imam Al Bukhari, adalah; Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’ mawla Ibn Umar, Ibn
Umar.
Berdasarkan perbedaan pendapat seperti ini, Abu ‘Abdillah Al Hakim
mengatakan bahwa dasar penetapan “ashah alasanid” ada yang mengkhususkan
sahabat tertentu dan ada yang mengkhususkan kepada daerah tertentu.
b.
Ahsanul
Alasanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah tingkat pertama
diatas, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Sabit dari
Anas.
c.
Adh’aful
Alasanid, yakni rangkaian sanad hadits yang tingkatannya kedua, seperti hadits
riwayat suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah.
2.
Kehujjahan
hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih,
walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan
hadits hasan ini, baik hasan lizatih maupun hasan lighairih kedalam kelompok
shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memberikan
penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal
dengan hadits hasan ini.[22]
Agaknya Al Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadits ini.
Makanya Al Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan
disini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah hadits hasan lizatihi.
Sedangkan hadits hasan lighairihi jika kekurangan-kekurangannya
dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya riwayat lain, maka shlah
berhujjah dengannya. Bila tidak demikian, tidak sah berhujjah dengannya pada
hakikatnya hasan lighairihi pun bisa digunakan sebagai hujjah.
Kitab-kitab hadits yang banyak memuat hadits hasan ini adalah Sunan
At Tirmidzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan Al Daruquthny.[23]
Sementara para ulama yang membedakan kehujjahan hadits berdasarkan
perbedaan kualitas, hadits hasan lidzatihi dengan lighairihi, maupun antara
shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan ruthbah hadits-hadits tersebut
berdasarkan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menempatkan
hadits-hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dan seterusnya.
Penempatan hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan diatas,
akan terlihat kegunaannya ketika terjadi atau terlihat adanya pertentangan
(ta’arudh) antara dua hadits. Hadits-hadits yang menempatiurutan pertama
dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau
ketiga dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits pada urutan keempat atau
kelima.[24]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembahasan dalam makalah ini
menjelaskan tentang Penggolongan hadits
berdasarkan kualitasnya, yaitu hadits shahih dan hadits hasan. Selain itu syarat-syarat,
contoh serta sumbernya telah dibahas
dalam makalah ini.
B.
Saran
Dengan adanya pembahasan dalam
makalah ini, diharapkan penulis dan pembaca dapat mengerti tentang hadits
shahih dan hadits hasan sehingga dapat benar dalam memahami ilmu hadits secara
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan
Mudzakir, M, Ulumul Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Alkhatib, Ajjaj.
Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa musthalahuhu, Beirut: Dar Al Fikr, 1981, Cet
ke 4.
Hassan, Qadir. Ilmu
Musthalah Hadits, Bandung: Diponegoro, 2007.
‘Itr, Nuruddin, Ulumul Hadits, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 2014.
Khaeruman, Badri, Ulum Hadis, Bandung: PT Pustaka Setia. 2010
Mahfudz Ibn
Abdillah At Tirmisi, Muhammad. Manhaj Dzawi Al Nazhar, Jeddah: Alharamain,
1974, Cet. Ke 3.
Muhammad Hasbi As
shiddieqy, Teungku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2012.
Muhammad Muhammad
Darwisy, Dr. ‘Adil. Zad Al Du’at, Kairo: Al Markaz Al Alamy Li Al Komputer,
1997, Cet ke 2.
Soetari, Endang.
Ilmu Hadits (kajian riwayah dan dirayah), Bandung: CV Mimbar Pustaka, 2008.
Suparta, Munzier, Ilmu
hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Suyuti, Al. Al Jami’ Al Shaghir, Jilid I, Beirut:
Dar Al Fikr wa Maktabah Al Salafiyah, t.t.
Zuhri, Muh, Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana 1997.
[1]
Nuruddin ‘Itr. Ulumul Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014),
hal. 240
[2]
Badri Khaeruman. Ulum Hadis, ( Bandung: PT Pustaka Setia. 2010), hal.
119
[3]
Munzier Suparta, Ilmu hadits, (
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 126
[4]
Badri Khaeruman, Ulum Al Hadis, Hal. 120
[5]
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir. Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000), hal. 106
[6]
Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal.
29
[7]
Munzier Suparta, Ilmu hadits, hal.
134
[8]
Qadir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, hal. 30
[9] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir. Ulumul
Hadis. hal. 107
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal.
134.
[11] Muh, Zuhri. Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana
1997);
halaman 117
[12]
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, hal. 251-260
[13]
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, hal. 266
[14]
Endang Soetari, IIlmu Hadits (kajian riwayah dan dirayah), (Bandung: CV
Mimbar Pustaka, 2008), hal.132
[15]
Teungku Muhammad Hasbi As shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), hal.162
[16]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
hal.143
[17]
Munzier Suparta. Ilmu Hadis, hal.144
[18] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal.145
[19]
Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir. Ulumul Hadis, hal. 115
[20]
Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir. Ulumul Hadis, hal. 116
[21] Al Suyuti, Al Jami’ Al Shaghir, Jilid
I, (Beirut: Dar Al Fikr wa Maktabah Al Salafiyah, t.t), hal.77-78
[22]
Ajjaj Alkhatib, Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa musthalahuhu, (Beirut: Dar
Al Fikr, 1981), Cet ke 4, hal.334-335
[23]
Dr. ‘Adil Muhammad Muhammad Darwisy, Zad Al Du’at, (Kairo: Al Markaz Al
Alamy Li Al Komputer, 1997), Cet ke 2, hal. 49
[24]
Muhammad Mahfudz Ibn Abdillah At Tirmisi, Manhaj Dzawi Al Nazhar,
(Jeddah: Alharamain, 1974), Cet. Ke 3, hal. 20-22
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar