tEORI SAPIR-WHORF Berikut adalah keterkaitan antara bahasa
dan pikiran dinyatakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Sapir dan
Whorf melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari
bahasa tertentu yang digunakan manusia. Sapir dan Whorf menguraikan dua
hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran. 1. Hipotesis pertama
adalah linguistic relativity hypothesis (hipotesis relativitas bahasa) yang
menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan
kognitif non bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang
menggunakan bahasa tersebut. 2. Hipotesis kedua adalah linguistic determinism
yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan
menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan
oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. Edward Sapir
(1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von
Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas
kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya
bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu
masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa
itu. Karena itulah, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat dianggap
mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa dari satu masyarakat telah
“mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa
banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah
bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga menyatakan apa yang kita
lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena
sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahhulu.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai
hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir
merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan
meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya
menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan
pengamatan yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara
pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa
menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya
sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan
“kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan
pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup
efek-lepas (after effect) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi
kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini
tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau
terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang telah
ditentukan bahasanya. Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa
bukan hanya merupakan alat untuk mengungkapkan ide-ide, tetapi juga merupakan
pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang, penentu
struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan
jalan pikiran seseorang, bukan kata-kata. Hipotesis Sapir-Whorf tampak lebih
memfokuskan pada hubungan antara tata bahasa dan pikiran manusia, bukan
kata-kata (Chaer, 2009:53). Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa
Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, Whorf mengajukan satu
hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf)
mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda
“membedah” alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu
relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa beragam
yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Hipotesis relativitas
linguistik beranggapan bahwa bahasa hanya refleksi dari pikiran yang
memunculkan makna. Bahasa memengaruhi pikiran, sehingga muncul ungkapan bahwa
bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya. Determinisme linguistik adalah
klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat memengaruhi cara seseorang berpikir
atau mempersepsi dunia. Whorf sangat terkesan oleh kenyataan bahwa
masing-masing bahasa menekankan pada perbedaan struktur berdasarkan perbedaan
aspek dunia sebagai landasan pembentukan struktur tersebut. dia menyakini bahwa
penekanan itu memberi pengaruh cukup besar terhadap cara penutur bahasa
berpikir tentang dunia. Whorf meyakini bahwa kehidupan suatu masyarakat
dibangun oleh sifat-sifat bahasa yang digunakan anggota masyarakat tersebut.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui
aspek formal bahasa, misalnya grammar dan leksikon. Whorf mengatakan
“grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain
the conceptual representations available to their speakers” (Grammar dan
leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada
dalam pengguna bahasa tersebut). Selain habituasi dan aspek formal bahasa,
salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf adalah masalah
bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi
premis dalam berpikir. Untuk memperkuat hipotesisnya, Sapir dan Whorf
memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh yang diambil adalah kata salju.
Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk
menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah
mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju tersebut tetap dinamakan
salju. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat, orang Eskimo memberi label yang
berbeda pada objek salju tersebut. Banyak lagi contoh yang lain, misalnya orang
Hanunoo di Filipina memiliki kira-kira 92 nama untuk berbagai jenis rice
(padi). Orang Arab memiliki beberapa nama untuk camels (unta). Whorf merasa
bahwa terminologi/istilah yang sangat beragam tersebut menyebabkan penutur
bahasa tersebut mempersepsi dunia secara berbeda-beda dari seorang yang hanya
memiliki satu kata untuk satu kategori tertentu. Sapir menolak pandangan yang
menyatakan bahwa berpikir dan bahasa merupakan dua entitas berbeda atau berdiri
sendiri. Sapir dan Whorf sepakat bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang.
Jalan pikiran seseorang sangat ditentukan oleh bahasanya. Berdasarkan hipotesis
Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup
bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain)
adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan
hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika,
Eropa, Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka
berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan
kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi dioraganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa
(event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan
waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit itu
akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya
bibit tidaklah penting. Yang penting adalah peristiwa menanam dan peristiwa
tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang
penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan
realitas hidup dengan cara-cara yang berlainan. Untuk menunjukkan bahwa bahasa
menuntun jalan pikiran manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that
wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that
house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam
kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang pun yang melihat satu
ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah
menggambarkan begitu kepada kita. ini adalah satu kepalsuan fakta yang
disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini; dan kita tidak sadar bahwa
pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat
ditanggalkan. Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa
biasanya tidak diminati oleh ilmuan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan
pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup
dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang
biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi
medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama
untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat
dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik
yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang
dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan
tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang
masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu,
masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori
pula. Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwabahasa dan pikiran tidak
bisa dipisahkan satu sama lain.karena yang menentukan jalan pikiran seseorang
adalah tata bahasa bukan kata-kata.oleh karena itu , bahasa tidak saja berperan
sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi antara yang satu dengan
yang laintetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.kenyataannya
bahwa seseorang berbicara atau mengungkapkan pendapatnya dengan cara/bahasa
yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda pula.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wiwinratna/teori-sapir-dan-whorf_55296054f17e61e8678b45e0
Hipotesis Sapir-Whorf adalah sebuah pernyataan dalam teori
linguistik relativitas yang mengatakan bahwa ada hubungan kuat antara bahasa,
budaya, dan pikiran seorang penutur. Lalu, dalam proses berbahasa, terbukti
bahwa kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang
digunakan dalam komunikasi sehari-hari.[1]. Pola budaya suatu masyarakat,
menurut hipotesis ini, mampu mengkonstruk klausa sehingga memberikan variasi
informasi dan kesantunan suatu bahasa. [1] Hipotesis ini didasari oleh
penelitian Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf terhadap suku Hopi di Afrika
https://id.wikipedia.org/wiki/Hipotesis_Sapir-Whorf
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar