Rabu, 22 Maret 2023 | By: namakuameliya

PROBLEMATIKA SEPUTAR HADITS AKIDAH, HUKUM, FADHA'ILUL A'MAL (AL-TARHIB WAT TARGHIB), HADITS SYAMA'IL/MANAQIB,FADHA'IL

 

PROBLEMATIKA SEPUTAR HADITS AKIDAH, HUKUM, FADHA'ILUL A'MAL (AL-TARHIB WAT TARGHIB), HADITS SYAMA'IL/MANAQIB,FADHA'IL

I.         Pendahuluan

            Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadits berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi  kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadits jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an.

Untuk kepentingan validitas dan sterelisasi hadits, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadits melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadits dengan menilai para perawi hadits dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadits tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadits terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadits.

Usaha para ulama dalam validitas dan sterelisasi hadits telah dilakukan sedemikian rupa. Namun bukan berarti keseluruhan hadits yang dihasilkan dapat dijadikan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an. Sehingga masih didapati beberapa hadits yang mengandung problematika yang harus dicarikan solusinya. Perbedaan pendapat banyak terjadi seputar problematika hadits tentang aqidah, hukum, fadhail a’maal dan manaqib atau sanjungan. Berdasarkan permasalahan di atas, dalam makalah ini penulis akan membahasa Problematika Seputar Hadits Akidah, Hukum, Fadha'ilul A'mal (Al-Tarhib Wat Targhib), Hadits Syama'il/Manaqib,Fadha'il.

II.           Pembahasan

A.    Problematika Seputar Hadits-Hadits tentang Aqidah dan Hukum

Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadits, timbullah bermacam-macam istilah tentang rangkaian sanad yang pada masa rasul tidak digunakan istilah-istilah tersebut.  Salah satu kriteria hadits diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadits mutawatir dan ahad. Bilangan sanad inilah yang menjadikan perbedaan dalam menentukan boleh tidaknya suatu hadits dipakai dalam masalah aqidah, karena ada golongan yang berkeyakinan bahwa hadits ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal aqidah dan hukum, mereka beralasan hadits ahad bukan sumber pasti dan tidak dapat memberikan khobar yang bersifat keilmuan dan yakin. Sementara itu ada pula golongan ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan landasan dalam aqidah dan hukum.

1.      Pengertian Hadits Ahad dan Pembagiannya

Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”. 

            Imam al-Syafi’i mendefenisikan hadits ahad sebagai berikut:

كل خبر يرويه  الواحد أو اثنان أو الأكثر من ذلك ولا يتوفر فيه سبب الشهرة

Artinya: setiap hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya mashyhur.[1]

 

            Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu :Masyhur‘Aziz, dan Gharib.

a.       Hadits Masyhur

Masyhur (atau juga dikenal dengan nama haditsMustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”[2]. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

 

Artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan

 

b.      Hadits Aziz

Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadits Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua dua orang, atau pada suatu tingkat terdiri dari dua dua orang saja”.[3] Contohnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

 

Artinya: ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia”

 

c.       Hadits Gharib

Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”.[4] Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :

            Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabishallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya”.

Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..

Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perbedaan (ciri khusus) yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Ghorb nisbi tidak berkaitan dengan jumlahperowi namun . pada kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan kondisi sanad lain. Perbedaan tersebut berkaitan dengan tempat atau sifat perowi. Misalnya : Hadits, “rasulullah pada hari raya idul fitri dan adha membaca surat Qaf dan surat al-Qomar”

Contoh Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum

Berikut ini adalah beberapa hadits ahad yang berkaitan dengan masalah aqidah dan hokum:[5]

a.       Dari Shahi Bukhari yaitu sebuah hadits ahad dan gharib. 

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه

ِ"Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan". [Muttafaqun ‘alaih].

 

b.      Hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan :

مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ 

"Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab,”Muhammad mengatakan: ‘ Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian'. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…”"

 

c.     Hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان َ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Islam dibangun diatas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak Ilah yang hak kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji dan puasa ramadlan (dalam riwayat lain puasa Ramadlan baru haji)" 

 

d.    Hadits no. 26

عن أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ

"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya." Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Jihad di jalan Allah'. Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Haji yang mabrur.'

 

2.      Argumentasi Penolak Hadits Ahad Sebagai Dalil Aqidah dan Hukum

Pembagian hadits dari segi kuantitas ahad-mutawatir sehingga menimbulkan penolakan terhadap penggunaan hadits ahad dalam masalah aqidah banyak dituduhkan kepada kelompok Mu’tazilah. Menurut Ibn Hazm seperti yang dikutip oleh Ali Mustofa Ya’qub, “umat islam secara keseluruhan, baik ahlussunah, khawarij, Syiah dan Qodariyah menerima hadits ahad. Baru pada awal abad kedua hijri para ahli ilmu kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi. Memang, al-Nadhom (wafat antara 221-223 H) dan Muhammad Abd Wahhab Abu Ali al-Jubba’I (w.303 H) disebut sebagai orang yang berpendapat demikian, sementara keduanya berasal dari kelompok Mu’tazilah. Namun tidak ada kejelasan apakah hal ini merupakan pendapat resmi kelompok Mu’tazilah atau pendapat mereka sendiri. Sebab ulama Mu,tazilah yang lain tidak berpendapat seperti ini.

Pendapat tidak dapat dijadikan hadits ahad sebagai hujjah juga disetujui oleh banyak ulama kontemporer, seperti: Muhammad Syaltut[6] dan Muhammad Ghozali. Menurut mereka  bahwa, “akidah tidak dapat ditetapkan melainkan dengan keterangan yang pasti sumbernya dan tegas tujuannya. Sehubungan dengan itu perlu diterangkan pula prinsip yang menentukan sunnah itu qoth’I atau zonni harus memperhatikan keadaan sunnah kurang pasti ialah dari dua segi; sumbernya dan tujuannya. Dalam hubungan ini terdapat tiga kemungkinan; pertama, keraguan apakah hubungan riwayat itu sampai kepada Rasullullah atau tidak. Ini menurutnya tidak pasti. kedua, keraguan tentang tujuannya, bisa kepada dua tiga pengertian. Dan ini juga menurutnya tidak pasti tujuannya. Ketiga, keraguan dalam dua hal, sumber dan tujuannya. Akidah islam tidak dapat ditetapkan dengan hadits dari ketiga macam itu. Hadits yang dapat menetapkan aqidah dan yang boleh dijadikan alasan untuk aqidah ialah hadits yang bersumber pasti dan bertujuan tegas. Menurutnya hadits yang bersumber pasti dan tegas adalah hadits mutawatir dan jumlah hadits mutawatir sangat sedikit. Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

 

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]

 

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

 

Artinya: “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]

 

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 27-28]

 

3.      Argumentasi Penerima Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hal Aqidah

Hadits sebagai hujah dalam berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadits mutawatir tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadits mutawatir memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah perowi yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadits ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan) yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa perowi yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang didistorsi oleh seorang atau beberapa perowi. Hal ini berdampak pada sebagian sikap umat Islam yang tidak menerima hadits ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Karena menurut mereka hadits ahad yang sifatnya zhon tidak dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti akidah.

Argumen kelompok penerima kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah dengan hadits maupun al-Quran.

۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢

Artinya:   Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At Taubah: 122)

 

Menurut ayat di atas, merupakan fardhu kifayah bagi sebagian kelompok orang-orang mukmin untuk pergi mendalami agamanya meliputi aspek aqidah atau pun hukum. Thaifah (kelompok) dalam bahasa Arab mengandung arti satu orang atau lebih.[7]

Kalau sekiranya tidak boleh berhujjah dengan hadits ahad dalam aspek aqidah maupun hukum, niscaya Allah     dalam ayat di atas, tidak mengkhususkan mereka  untuk menyampaikan ilmu (tabligh), (“Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Dengan demikian ayat tersebut menegaskan bahwa ilmu termasuk kandungan hadits ahad.

 

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

 

Artinya: “Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang mendengarkan hadits dari kami lalu menghafalnya hingga menyampaikannya. Berapa  banyak orang yang mendengar hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaiknnya. Berapa banyak orng yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari padanya, dan berapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak mengerti”.

 

 

Bantahan terhadap dalil al-Quran pun mereka gunakan. Pemakaian kata zhon  memiliki makna kontradiktif. Bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakin.  zhon adalah keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti dan menghukuminya. Menghukumi yaitu jika zhon itu lemah disebut waham. Jika zhon itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan kejelasan beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin. Dalam Alquran terdapat kata zhon yang merujuk masalah aqidah dan Allah memujinya. Ayat yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam sholat adalah “alladzina yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum ilahi raaji’un” (QS. Al-Baqarah: 46). Menurut ulama tafsir antara lain Wahbah Zuhaili, zhon dalam ayat itu bermakna keyakinan yang pasti yang tidak dipengaruhi oleh keraguan.[8] Demikian pula, zhon yang berkaitan dengan hadits ahad yang shohih adalah zhon yang meyakinkan, sebab indikasi kebenaran otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW telah dibuktikan melalui serangkaian penelitian. Sementara menolak berhujjah dengannya berarti mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang dibawa hadits itu. Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah didasarkan pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhon) itu sendiri.

 

4.      Analisis Kehujjahan  Hadits Ahad Dalam Aqidah

Kontroversi tentang apakah hadits ahad dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadits ahad itu berfaedah qath’i atau zhonniPerdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadits ahad sebagai hujjah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat memberikan suatu kepastian yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhonni akan menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah.

Pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dha’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :

1.      Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).[9]

2.      Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dhla’if, Maudlu’.[10]

Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.

Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dhorury (aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .

Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nazhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan), maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan).

Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak.

Penentuan jumlah perawi tertentu yang bersifat baku justru tidak realistis mengingat perbedaan yang cukup signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap perawi sebagaimana tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil. Perbedaan peringkat ta’dil sejumlah perawi tertentu dengan perawi yang lainnya berimplikasi pada perbedaan bobot kesahihan hadis yang diriwayatkan masing-masing. Dengan demikian, logis bila penetapan standar minimal tertentu untuk jumlah perawi mutawatir sulit dilakukan.

As-Sayuti di dalam bukunya menjelaskan, “sesungguhnya para ulama khususnya muhadditsin, tidak pernah mengatakan bahwa hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah. Yang mereka katakan hanyalah hadis shahih dan hadits hasan dapat menjadi hujjah dalam ajaran islam, baik masalah aqidah, syariah, maupun akhlak. Sedangkan hadits dhoif tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah aqidah dan syariah tetapi hanya dapat dipakai dalam masalah fadhoilul a’mal dengan syarat-syarat tertentu.[11]

Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidah Islam yang harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafa’at nabi SAW di hari akhir, mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan seterusnya. [12]

 

B.     Problematika Hadits tentang Fadha'ilul A'mal (Al- Targhib Wat Tarhib), Hadits Syama'il/Manaqib dan Fadha'il.

 

1.      Hadits tentang Fadha'ilul A'mal (Al- Targhib Wat Tarhib)

Pada bagian ini akan dicantumkan beberapa contoh hadits yang berkaitan dengan fadhail amal.[13]

a. Keutamaan Surat Yasin

Diriwayatkan dari Anas bin Malik , Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْباً وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس وَمَنْ قَرَأَ يس كَتَبَ اللهُ لَهُ بِقِرَاءَتِهَا قِرَاءَةَ الْقُرآنِ عَشْرَ مَرَّاتٍ

“Sungguh segala sesuatu memiliki jantung, dan jantungnya Al-Qur’an adalah Yasin. Barangsiapa membaca Yasin maka Allah l akan mencatat baginya dengan membacanya seperti membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”

 

b. Keutamaan Surat Ad-Dukhan

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ قَرَأَ حم الدُّخَانَ فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ يَسْتَغْفِرُ لَهُ سَبعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ

“Barangsiapa membaca di malam hari surat Ad-Dukhan, di pagi harinya, 70.000 malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untuknya.”

c.       Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Siapa yang meninggalkan shalat sehingga habis waktunya lalu menqadha’nya maka akan diadzab di neraka selama haqban. Haqbu adalah delapan puluh tahun, setahun adalah tiga ratus enam puluh hari. Satu hari lamanya sama dengan seribu tahun.

Lantas mengalikan angka-­angka tersebut. Katanya, “Satu haqbu adalah dua puluh delapan juta dan delapan ratus ribu tahun. Namun aku tidak mendapati hadits ini dalam kitab-kitab hadits yang aku miliki”. (Tablighi Nishab ha1.355)

 

2.      Hadits-hadits tentang Syama’il/ Manaqib dan Fadhail

a.      Sanjungan terhadap Abu Bakar

و عن ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( لو كنت متخذا من أمتي خليلا لاتخذت أبا بكر ولكن أخي وصاحبي)[14]

Artinya: dari Ibnu Abbas, r.a dari Nabi saw bahwasanya besabda: “seandainya aku menjadikan seorang kekasih dari umatku, niscaya aku akan memilih Abu Bakar, tetapi ia saudaraku dan sahabatku.

b.      Sanjungan terhadap Para Sahabat Nabi yang Diberi kabar Gembira akan Masuk Surga

-عن أبي موسى رضي الله عنه قال كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم في حائط من حيطان المدينة فجاء رجل فاستفتح فقال النبي صلى الله عليه وسلم افتح له وبشره بالجنة ففتحت له فإذا أبو بكر فبشرته بما قال النبي صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم جاء رجل فاستفتح فقال النبي صلى الله عليه وسلم افتح له وبشره بالجنة ففتحت له فإذا هو عمر فأخبرته بما قال النبي صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم استفتح رجل فقال لي افتح له وبشره بالجنة على بلوى تصيبه فإذا عثمان فأخبرته بما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم قال الله المستعان[15]

 

c.       Sanjungan Nabi Kepada Ali r.a

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاص رضي الله تعالي عنه ٍ قَال: (قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي)[16]

Artinya: dari Sa’ad bin Abi Waqash r.a ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepada Ali r.a:” kedudukanmu terhadap aku seperti kedudukan Harun a.s  terhadap Musa a.s hanya saja tidak ada nabi setelahku”.

 

d.      Sanjungan Nabi terhadap Kota Yaman dan Penduduknya.

عن ثوبان أن نبي الله ثلى الله عليه وسلم قال إني لبعقر حوضي أذود الناس لأهل اليمن أضرب بعصاي حتى يرفض علييهم

Artinya: dari sahaba Tsauban berkata: Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya aku (nanti di akhirat) berada di samping telagaku aku akan menghalangi setiap manusia yang akan minum dari telagaku sehingga penduduk Yaman dapat meminum air dari telagaku erlebih dahulu, aku memukul dengan tongkatku sehingga mengalirlah air telaga tersebut sampai pada mereka. (HR. Muslim)

 

3.      Problematika Seputar Hadits fdhail Amal (targhib dan tarhib), Syamail/ manawib dan Fadhail.

Hadits dho’if adalah setiap hadits yang mardud (tertolak) yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hadits hasan. Boleh jadi hadits tersebut terputus sanadnya, terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak sholih), sering berdusta, dituduh dusta, sering keliru, atau hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi) atau riwayatnya menyelisihi riwayat perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya) darinya.

Tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parah lagi hadits palsu menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di tengah-tengah ummat Islam. Perusakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya lebih parah dari penyerangan tentara Yahudi terhadap umat Islam. Karena yang merusak dengan menyebarkan hadits dho’if dan palsu adalah umat Islam sendiri, amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan puasa Nishfu Sya’ban atau shalat pada malam Nishfu Sya’ban terjadi karena motivasi dari hadits dho’if. Begitu pula beberapa dzikir tanpa tuntunan seringkali jadi amalan juga karena motivasi dari hadits-hadits dho’if atau bahkan palsu yang sengaja dibuat-buat oleh orang-orang yang bermaksud baik namun lewat jalan yang keliru.

Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan perkataan Abul Fadhl Al Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah dalam Islam dan yang sengaja membuat hadits maudhu’ (yang palsu yang diriwayatkan oleh perowi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merusak daripada orang mulhid (musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merusak Islam dari luar.”

Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia katakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu dusta, maka ia termasuk salah satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3).

 

Bagaimana hukum beramal dengan hadits dho’if tentang fadhilah amal (keutamaan amal)? Ulama pakar hadits dan pakar fiqih dahulu dan sekarang terus berselisih pendapat dalam masalah ini

a.      Pendapat yang Melarang secara Mutlak

Menurut sekelompok ulama, hadits dho’if tidak digunakan dalam fadho’il a’mal (menjelaskan keutamaan amal) dan juga tidak dalam masalah lainnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Al Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya.

Muslim An Naisaburi rahimahullah mengatakan, “Hadits dalam agama ini boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan larangan, atau boleh jadi membicarakan tentang dorongan (targhib) atau ancaman (tarhib) tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perowi yang meriwayatkan hadits bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian ada pula perowi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang menyebarkan hadits yang mengandung perowi semacam ini adalah orang yang berdosa karena perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum muslimin yang awam. Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang  yang mendengar hadits-hadits dho’if semacam ini mengamalkannya, mengamalkan sebagian atau lebih banyak. Padahal di antara hadits-hadits tersebut ada yang berisi perowi pendusta, sebagian lainnya adalah hadits yang tidak diketahui asal usulnya.” Intinya, Imam Muslim berpandangan bahwa hadits dho’if tidak boleh diamalkan sama sekali.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang dikatakan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab shahihnya –secara zhohir (tekstual)- bermakna hadits dalam masalah targib (memotivasi untuk beramal) diriwayatkan sama halnya dengan riwayat yang membicarakan tentang masalah hukum”. Artinya jika hadits yang membicarakan tentang masalah hukum tidak boleh berasal dari hadits dho’if, hal yang sama berlaku pula pada masalah fadhilah ‘amal.

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak bolehnya menggunakan hadits dho’if secara mutlak baik dalam masalah fadhoil a’mal dan masalah lainnya. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dan juga murid-muridnya.

b.      Pendapat yang Bersikap Lebih Ringan

Sebagian ulama ada yang memberi keringanan  dalam menyebutkan hadits dho’if asalkan memenuhi tiga syarat:

1.      Dho’if-nya tidak terlalu dho’if.

2.      Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih.

3.      Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.

Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dhoif (seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.

Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan. Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih: Kita meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya dhoif. Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadits shahih. Hanya saja hadits dho’if tersebut sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan sebenarnya adalah hadits shahih.

Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, yaitu hendaklah tidak diyakini bahwa hadits dhoif tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan. Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ditegaskan kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam syarat ketiga ini para ulama memberi aturan, hadits dho’if tersebut hendaknya dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa para ulama salaf membolehkan penghujjahan hadits dlaif hanya pada fadhail amal. Ulama yang dimaksud diantaranya al Nawawi dalam buku al-Adzkar, Ali Burhan Al-halabi dalam bukunya Insaan ‘Uyuun dan Ibnu Fakhruddin al-Ruumi dalam bukunya al-Asraar al-Muhammadiyyah.[17]

c.      Penjelasan Apik dari Ibnu Taimiyah

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah berdasarkan hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya ketika kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masalah hukum) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi jika diketahui sesuatu itu terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan diketahui bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta, maka hadits tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta (baca: hadits maudhu’/ palsu). Namun patut diketahui bahwa memotivasi suatu amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang jelek didukung dengan dalil lain (yang shahih), bukan hanya dengan hadits yang tidak jelas status keshahihannya.” 

Ada dua point berharga yang bisa kita ambil dari penjelasan Syaikhul Islam di atas. Pertama, tidak boleh menggunakan hadits maudhu’ (hadits palsu yang berisi perowi pendusta) dalam masalah targib dan tarhib. Kedua, hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam beramal, hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih lainnya. Sehingga sebenarnya yang kita amalkan adalah hadits shahih dan bukan hadits dhoifnya.

Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if yang membicarakan masalah fadhilah amal, maka hadits tersebut bisa diriwayatkan asalkan haditnys bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perowi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk beramal, pen) tidak diketahui ukuran pastinya. Oleh karenanya, jika dalam masalah ukuran pahala diriwayatkan dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits yang dusta (hadits maudhu’), maka hadits semacam ini tidak dikatakan dusta. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan meriwayatkan hadits dhoif dalam masalah fadhoil a’mal. Adapun jika suatu amalan dikatakan sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata), maka beliau menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.”

Beliau menjelaskan pula, “Jika hadits dho’if tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu –seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau tata cara tertentu-, maka hadits semacam ini tidak boleh diamalkan. Karena tata cara amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal  ini berbeda halnya jika diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah”, maka pahalanya sekian dan sekian, maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan karena ini termasuk amalan yang dilakukan di saat kebanyakan orang sedang lalai.”

Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat bagus dalam perkataan selanjutnya,

فَالْحَاصِلُ : أَنَّ هَذَا الْبَابَ يُرْوَى وَيُعْمَلُ بِهِ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ لَا فِي الِاسْتِحْبَابِ ثُمَّ اعْتِقَادُ مُوجِبِهِ وَهُوَ مَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ يَتَوَقَّفُ عَلَى الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ .

“Intinya, hadits dho’if bisa diriwayatkan namun dalam masalah targhib dan tarhib saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya suatu amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau akibat buruk dari suatu amalan jelek, maka cukup dalil syar’i (yang shahih) yang jadi pegangan. ”

 

d.      Sikap yang Lebih Hati-Hati

Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if  tidak boleh digunakan secara mutlak kecuali jika ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk memotivasi pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan yang jelek sebenarnya sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

al-Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.

al-Qardhawi,Yusuf, Kayfa Nata’amal m’a al-Sunnah,Kairo: Daar al-Wafa, 1992.

Itr ,Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Daar al-fikr, 1979.

Syaltut, Mahmud, aal-Islam, Aqidah wa Syariat, Kairo: Daar Al-Syuruuq, 2001.

 

Aplikasi Ayat, Tafsir ibnu Ashour,  KSU, created Saturday, July 26, 2014, 5:34:27 AM

www.almanhaj.or.id Conto-contoh Hadits Ahad, created Yesterday, November 29, 2015, 7:55:56 AM

www.asysyariahonline.com, Mengenal hadit-hadits lemah dan palsu dalam fadhail amal, created Yesterday, November 29, 2015, 8:31:20 AM

 



[1] Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, hlm. 157.

[2] Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Daar al-fikr, 1979, hlm. 408

[3] Op. cit, hlm. 158

[4] Loc. cit

[5] www.almanhaj.or.id Conto-contoh Hadits Ahad, created Yesterday, November 29, 2015, 7:55:56 AM

[6] Mahmud Syaltut, aal-Islam, Aqidah wa Syariat, Kairo: Daar Al-Syuruuq, 2001, hlm. 61

[7] Aplikasi Ayat, Tafsir ibnu Ashour,  KSU, created Saturday, July 26, 2014, 5:34:27 AM

[8] Aplikasi Ayat, Tafsir ibnu Ashour,  KSU, created Saturday, July 26, 2014, 5:34:27 AM

 

[9] Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Daar al-fikr, 1979, hlm. 241

[10] Ibid, hlm. 285

[11] Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, hlm. 164.

 

[12] Ibid, hlm.158

[13] www.asysyariahonline.com, Mengenal hadit-hadits lemah dan palsu dalam fadhail amal, created Yesterday, November 29, 2015, 8:31:20 AM

[14] Sayyi Mubarak, Fdhail wa Manaqib al-Asyrah al-Mubasyaruuna bi al-Jannah, Mesir, hlm. 5

[15] Ibid, hlm. 11

[16] Ibid, hlm. 64

[17] Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’amal m’a al-Sunnah,Kairo: Daar al-Wafa, 1992, hlm 35


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction