BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi dasar
segala segi kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang
mutlak. Karena datang dari Allah swt. Maka dari itu umat Islam merasa perlu
untuk mempelajari Alquran secara menyeluruh untuk menjaga otentisitasnya. Upaya
itu telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah sampai
hijrah ke Madinah, bahkan usaha pemeliharaan Alquran masih berlangsung sampai
sekarang.
Meskipun al Qur’an itu adalah wahyu Ilahi yang bersifat qath’i,
namun pada prakteknya terdapat dua penilaian yang kontradikfif terhadap
Alquran.Penilaian pertama datangnya dari kaum muslim sendiri sedangkan
penilaian yang kedua datangnya dari kalangan non muslim (Orientalis).
Penilaian dari luar (orientalis) pada umumnya bersifat negatif.
Menurut mereka, Alquran itu bukanlah wahyu Allah, melainkan hasil karya Nabi
Muhammad yang sumbernya dari berbagai pihak.
Berdasarkan alasan yang diungkapkan diatas, penulis merasa sangat perlu
membahas penjelasan tentang al Qur’an khusunya definisi dan turunnya al Qur’an,
agar dapat membentuk pemahaman tentang al Qur’an dengan baik dan jelas,
sehingga tidak terpengaruh oleh pemahaman yang dimiliki oleh para orientalis.
Diantara obyek kajian yang dilakukan orientalis
secara serius adalah studi al-Qur’an. Sisi-sisi al-Qur’an itu dikaji dengan
cermat dan dipersoalkan dengan tujuan yang implisit untuk membuktikan ketidak
aslian al-Qur’an. Dimana pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh
motif-motif tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian
mereka terhadap sejarah al-Qur’an, proses kompilasinya, status ontologisnya,
kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan ilmu pengetahuan
Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan tradisi agama Kristen dan
Yahudi.
Karena pendekatan ini berbeda dengan apa yang
terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka hasilnya pun akan berbeda. Kajian
terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedangkan para orientalis
itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan.
Maka perlu rasanya kami menulis mengenai “Al-Qur’an
dan Orientalisme” dengan tujuan masyarakat muslim memperoleh pengetahuan
mengenai rencana-rencana tersembunyi yang mungkin akan menghancurkan Islam, dan
bisa mengantisipasi misi para orientalis yang negatif terhadap Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI AL
QUR`AN
1. Definisi Al
Qur`an menurut Bahasa
Terdapat banyak pendapat tentang
pengertian al Qur’an dari segi bahasa yang dilihat dari pola kata pembentukannya
atau lafadznya. Menurut Ahli Al qur’an dalam Suma mengatakan bahwa kata al
Qur`an berasal dari kata qara`a, yaqra`u, qur`anan wa qiraa`atan, yang artinya bacaan atau yang dibaca[1]
2. Definisi al
Qur`an menurut Istilah
Al Qur`an menurut istilah mempunyai beberapa makna, sebagai
berikut:
a.
Al Qur`an
adalah
كلام الله المنزّل على محمد صلى الله
عليه وسلم المتعبد بتلاوته-
Artinya: “Kalam atau firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW.” [2]
b. Menurut Ahli Ushul Al’Qur’an dalam Chalil bahwa Al Qur’an adalah
Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang bersifat mu’jizat
dengan sebuah surat daripadanya dan beribadah bagi yang membacanya.[3]
c. Menurut Federspiel, al Qur’an adalah firman Allah, dan merupakan
sumber ajaran bagi masyarakat Islam yang menerima ajaran-ajaran Islam.[4]
d. Sedangkan Menurut Kholfillah, Al Qur’an adalah
النصوص الإلهية للدعوة
الإسلامية، النصوص التي نزلت من السماء على محمد بن عبد الله عليه السلا
Artinya: “Kalam
Allah yang ditujukan untuk mendakwahkan Islam, yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW bin ‘Abdullah”.[5]
e. Menurut ‘Ali Ash Shaabuuny,
bahwa al Qur`an adalah firman Allah yang mu’jiz,
diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril yang tertulis dalam mashhaf, diriwayatkan secara mutawattir, menjadi ibadah bagi yang
membacanya, diawali dari surat Al Fatihah dan diakhiri surat An Nas.[6]
Pendapat-pendapat yang dikemukakan diatas merupakan pendapat yang sesuai dengan
istilah-istilah ataupun definisi yang digunakan dalam beberapa ayat al
Qur’an seperti yang terdapat dalam Q.S
Al an’am: 155, ayat tersebut menjelaskan bahwa al Qur’an adalah kalam Allah,
dalam Q.S Al An’am: 19 menjelaskan bahwa
al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi saw, dan juga dalam
Q.S Al Baqarah: 97 yang menjelaskan bahwa
al Qur’an adalah kalam Allah yang disampaikan melalui perantara malaikat
Jibril.
Dari keseluruhan pengertian-pengertian tersebut, baik dari
pendapat ulama maupun yang terdapat dalam al Qur’an dapat disimpulkan bahwa
definisi al Qur’an yaitu kalam Allah yang diawali dari surat Al Fatihah dan
diakhiri surat An Nas,yang bersifat mu’jiz,
diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw bin ‘Abdullah melalui perantara
malaikat Jibril yang tertulis dalam mashhaf, diriwayatkan secara mutawatir,
menjadi ibadah bagi yang membacanya, dan juga bertujuan untuk mendakwahkan
Islam.
B. DEFINISI ORIENTALIME
Kata Orientalisme adalah kata yang
dinisbatkan kepada sebuah studi/penelitian yang dilakukan oleh selain orang
timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama, sejarah,
dan pemasalahan-permasalahan sosio-kultural bangsa timur, atau ada juga yang
mengatakan orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang
ketimuran. [7]
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient
yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna
bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang
bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran
ini disebut orientalis. Orientalisme adalah kajian tentang Dunia
Timur beserta peradaban dan agamanya yang dilakukan oleh bangsa Barat[8].
Objek kajiannya meliputi peradaban, agama,
seni, sastra, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan
kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam.
Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran
cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan peradaban antara Timur (Islam)
dengan Barat. .Menurut Edwar Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis
tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara
politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental
bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah
Muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan
ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam
slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang
mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan, kekayaan ekonomi dan
penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga
bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi pembudayaan terhadap dunia
Timur yang terbelakang, jika tidak primitif.
C.
SIAPA ORIENTALIS?
Kata orientalis identik digunakan bagi
para ilmuwan barat yang mempelajari hal-hal ketimuran dalam berrbagai aspek,
baik bahasa, kebiasaan, peradaban, terlebih agama-agamanya.
Secara umum bisa didefinisikan bahwa
orientalis adalah sekelompok orang atau golongan yang berasal dari Negara dan
ras yang berbeda-beda yang mengkosentrasikan diri dalam berbagai kajian
ketimuran, khususnya Negara arab, cina, Persia, dan india.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini
identik ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk
melakukan studi terhadap islam dan bahasa Arab.
Setelah kita mengulas secara singkat,
makna kata orientalisme dan orientalis, kita akan berpindah kepada hal-hal
pokok yang banyak diperselisihkan kalangan ilmuwan dan pemikir tentang awal
kemunculan orientalisme dan para tokoh
Barat pertama yang mengusungnya.[9]
D. AWAL KEMUNCULAN ORIENTALISME
Tidak diketahui secara pasti, siapa orang
barat pertama yang mempelajari orientalisme dan kapan waktunya. Satu hal yang
bisa dipastikan, bahwa sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia bermaksud
mempelajari islam, menerjemahkan Al-Qur’an, dan buku-buku berbahasa Arab
kedalam bahasa mereka serta berguru kepada ulama-ulama Islam berbagai disiplin
ilmu khususnya filsafat, kedokteran, dan metafisika. Dan diantaranya para
pendeta yang dating ke Andalusia tercatat sebagai berikut:
1.
Seoran pendeta
perancis bernama (Gerbert), yang terpilih sebagai pemimpin gereja Roma tahun
999 M selepas belajar di berbagai perguruan di Andalusia dan kembali kenegaranya.
2.
Pendeta Petrus
(1092-1156)
3.
Pendeta Gerrardi
Krimon (1114-1187)
Sekembalinya para pendeta tersebut ke
negaranya masing-masing, mereka menyebarkan kebudayaan Arab dan buku-buku
karangan ulama-ulama terkenal islam. Kemudian mereka mendirikan sekolah-sekolah
yang khusus mengkaji Islam, semisal madrasah Islam Badawiy dan sekolah-sekolah
Islam lainnya yang mempelajari karya-karya ulama Islam yang telah diterjemahkan
kedalam bahasa latin. Tidak ketinggalan mereka mendirikan universitas di barat
dan menjadikan buku-buku karangan ulama Islam sebagai rujukan utama dan sumber
yang asli kurang lebih selama 6 abad. Hasilnya, sejak saat itu orang-orang yang
corncern mempelajari Islam dan Bahasa Arab begitu banyak dan tidak terputus
hingga Al-Qur’an dan sebagian buku-buku baik itu ilmu umum maupun ilmu agama
diterjemahkan kedalam bahasa mereka
sendiri.
Menjelang abad ke 18 yaitu abad dimana
orang-orang Barat menguasai dunia Islam dan menguasai kerajaan-kerajaannya-para
pemikir Barat mulai menyebarkan paha orientalisme melalui jurnal-jurnal yang
diterbitkan diseluruh penjuru Negara dan kerajaan Barat.
Pada tahun 1873 digelar muktamar
orientalis pertama di paris. Mukatamar tersebut diselenggarakan sebagai wadah
pertemuan para orientalis dan wadah pengkajian isu-isu terhangat dunia Timur
baik dari sisi perkembangan keagamaan maupun peradaban dunia Timur. Dengan
demikian orientalisme merupakan gerakan yang telah mengakar lama dan terus
berkembang merongrong dunia Islam hingga detik ini. [10]
E.
PERKEMBANGAN ORIENTALISME
Pada permulaan abad 13 hijriah (akhir abad
18 Masehi), para orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan wajah
baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan orientalisme dari tujuan
misionaris kepada arah penelitian ilmiah saja.
Berkembanglah di berbagai kota di eropa seperti
London, Paris, Leiden, dan St. Petersbug kuliah-kuliah yang mempelajari bahasa
Timur seperti Arab, Persia, Turki, dan Urdu. Tujuan Awal mereka dari
kuliah-kuliah ini tiada lain dalam rangkaian memperluas kekuasaan kolonialisme
dengan cara memperalat para ahli-ahli
dalam urusan tata Negara Islam.
Hasilnya, banyak pelajar Islam yang
terkecoh, turut menimba ilmu disana, mengikuti kuliah-kuliah di Eropa,
mendengarkan apa yang para orientalisme itu sampaikan di bangku kuliah,
sehingga pada akhirnya berubah pola pikir generasi islam di Eropa terhadap
Islam itu sendiri.”
Kemudian para Orientalisme itu mampu
mengembangkan strategi dan wajah baru mereka ke area dan lembaga-lembaga
keilmuan, seperti yang telah mereka lakukan di lembaga-lembaga bahasa dan
mesir, lembaga-lembaga ilmu di Damaskus, dan lembaga-lembaga ilmu di Bagdad.
Sampai sekarang telah berdiri
yayasan-yayasan keagamaan, politik dan ekonomi di barat yang hidup atas
sokongan bantuan kerajaan dan para pemimpin masa lalu, berupa dana bantuan
terhadap kegiatan orientalisme, lahan-lahan garapan serta beasiswa-beasiswa
yang diberikan secara Cuma-Cuma kepada mahasiswa yang mau terjun dan menggeluti
bidang orientalisme ini, Demi melakukan kegiatan orientalisme dan demi
mewujudkan cita-citanya ini, mereka curahkan segalanya. Dan disesalkan lagi,
Negara-negara islam, walaupun hal tersebut sah-sah saja, akan tetapi perlu
diketahui, sesungguhnya tujuannya yang hakiki adalah membantuusaha penjajahan
dari para misionaris katolik dan protestan. [11]
F.
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG GERAKAN ORIENTALISME
Berikut ini ringkasan
factor-faktor penting pendorong munculnya Orientalisme.[12]
1.
Faktor Agama
Diantara motif penting yang menyebabkan orang-orang
Eropa melakukan gerakan orientalisme ini dimulai oleh para rahib gereja
kemudian berlanjut para pendeta dimana mereka hanya memikirkan bagaimana
caranya menyerang Islam dan memutarbalikkan fakta kebenaran ajaran Islam.
Dengancara demikian, mereka menyampaikan kepada public bahwa Islam hanyalah
agama kebudayaan Arab yang tidak layak untuk dianut dan diikuti.
Faktor
inilah yang menjadi asas kepada kemunculan dan pertumbuhan orientalisma yang
berlangsung begitu lama.
Sasarannya
antara lain ialah :
a) Menimbulkan keraguan ke atas kerasulan Muhammad
s.a.w dan menganggap hadis Nabi sebagai amal perbuatan ummat Islam (bukannya
daripada nabi) selama tiga abad pertama.
b) Menimbulkan keraguan terhadap kebenaran
al-Qur'an dan memutar belitnnya.
c) Memperkecil nilai fiqh Islam dan menganggapnya
sebagai saduran dari hukum Romawi.
d) Menganaktirikan bahasa Arab dan menjauhkannya
dari ilmu pengetahuan yang semakin berkembang.
e) Memperkenalkan teori bahwa Islam adalah berasal
dari agama Yahudi dan Nasrani
f)
Mengkristiankan ummat Islam.
g) Menggunakan hadis-hadis dha'if dan maudhu'
untuk menyokong pendapatnya dan mengembangkan teorinya.
2.
Faktor Kolonialisme
Setelah bertubi-tubi
mengalami kekalahan dalam peperangan Salib, bangsa Eropa tidak berputus asa
untuk kembali berusaha berusaha menjajah Negara-negara Arab dan seluruh Negara
Islam dengan berbagai cara, salah satunya, mereka mempelajari Negara-negara Islam
baik dari segi ideology, adat-istiadat, perilaku, kekayaan alam, bahasa dll,
Untuk mereka ketahui lebih jauh kekuatan dan kelemahan Negara-negara Islam
tersebut.
Satu hal yang pasti,
bahwa orientalisme dan kolonialisme mempunyai hubungan yang erat guna mewujudkan
cita-cita bangsa eropa. Terlebih setelah Kekalahan kaum salibis , tujuan
gerakan orientalisme melebur dengan tujuan perang salib, seolah-olah gerakan
orientalisme sebagai pengganti strategi kaum salibis, dari perang fisik
berganti menjadi perang pemikiran.
3.
Faktor Ekonomi
Diantara motif-motif
yang mendorong kuat orang-orang Barat melakukan gerakan Orientalisme adalah
keinginannya menguasai perekonomian Negara-negara Islam dengan meguasai
pasar-pasar perdagangan, lembaga-lembaga keuangan, kekayaan alam dan mengekspor
sumber-sumber alam migas maupun non migas dengan harga semurah mungkin.
4.
Faktor Politik
Setelah Negara-negara
Islam terlepas dari penjajahan yang zalim, kekuatan dan taktik kolonialisme
terus berjalan, antara lain dengan menempatkan orang-orang pilihan yang
berpengalaman dan luas pengetahuannya mengenai dunia Islam di kedutaan-kedutaan
dan konsulat-konsulat mereka untuk memenuhi kepentingan politik kolonnialisme
di Negara-negara Islam. Selain itu, para duta besar tersebut diituntut untuk
mempelajari bahasa, adat-istiadat dan agama Negara setempat serta memberikan
informasi seputar kegiatan politik-nya guna memudahkan menguasai dan menjajah
secara politik Negara tersebut.
a) Melemahkan semangat ukhuwah Islamiyah dan
memecah belah ummat untuk membolehkan mereka (orang-orang Islam) dikuasai
b) Menghidupkan bahasa Arab 'amiyyah (bahasa
pasar) dan mengubah adat istiadat yang diamalkan.
c) Para pegawai di negara-negara Islam diarahkan
untuk mempelajari bahasa asing (yaitu bahasa penjajah) agar memahami kebudayaan
dan agama penjajah. Tujuannya agar mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai.
5.
Faktor Keilmuan
Secara jujur, untuk
mengatakan tidak sama sekali, bahwa motif keilmuan dan kecintaan untuk menelaah
literature-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban yang
dilakukan para orientalisme ini minim sekali. Sehingga tidak menutup
kemungkinan, factor inilah yang telah membuka lebar-lebar ruang kekeliruan,
serta kesalahan dalam memahami Islam terkecuali orang-orang yang diberikan
petunjuk dan dibukakan pintu hatinya oleh Allah untuk tunduk menerima kebenaran
Islam.
6.
Faktor Lainnya
Terdapat faktor-faktor
lain-lainnya gerakana orientalisme ini, yaitu bagi orang-orang yang mencari
keuntungan materi demi kepuasan hasrat pribadi.
G. MISI KRISTEN DAN ORIENTALISME
Ketika nurkholish majid meluncurkan
gagasan sekularisasi pada bulan januari 1970, mungkin belum terlintas dalam
pikiran kaum muslim di Indonesia bahwa kaum sekularisme dan liberalisasi islam
juga akan menyentuh hal-hal yang sangat mendasar, yaitu seputar autensititas
Al-qur’an atau mushaf Ustmani.
Di Indonesia sendiri upaya untuk meragukan
Al-qur’an telah dilakukan oleh kalangan misionaris Kristen seperti pendeta
suradi dari kelompok Nehemia. Dalam wawancara dengan majalah Gatra (edisi
20 maret 2001), suradi menyatakan bahwa Al-qu’an bukanlah wahyu Allah swt.
Menurut suradi Al-qur’an menyebutkan cirinya sebagai wahyu allah, surah an-nisaa
ayat 82.
Ironisnya upaya untuk meragukan autensitas
Al-qur’an juga muncul dikalangan aktivis jaringan islam liberal, meskipun dalam
kadar dan cara yang lebih halus dari pada yang dilakukan oleh Zwemmer,suradi
dan lain-lain. Sebutlah gagasan tentang Al-qur’an edisi kritis oleh islam
liberal yang sebenarnya tidak mengakar dalam tradisi pemikiran islam, bahkan
dengan mudah ditelusuri bahwa gagasan-gagasan seperti ini sebenarnya meneruskan
jejak kalangan orientalis dan misionaris Kristen. Orientalis kontemporer
seperti Andrew Rippin pun mengakui bahwa Abraham Geiger yang pertama kali
menggunakan aspirasi modern dalam memahami Al-qur’an.
Dalam karyanya Geiger berpendapat bahwa
kata-kata yang terdapat dalam Al-qur’an seperti Tabut, Taurat, Jannatu’ dan, Jahannam,
berasal dari bahasa Ibrani. Selain kata-kata diatas Geiger kemudian perpendapat
bahwa Al-qur’an juga terpengaruh dengan agama Yahudi ketika mengemukakan
hal-hal berikut,pertama hal-hal yang menyangkut keimanan dan dokrin, kedua
peraturan-peraturan hukum dan moral. Dan ketiga pandangan tentang kehidupan.
Pemikiran Geiger dikembangkan lagi oleh
para orientalis lain. Theodor Noldeke menulis sebuah monograf dalam bahasa latin
tentang asal mula penyusunan Al-qur’an pada tahun 1856. Pada tahun 1898,
penerbit buku tersebut mengusulkan edisi kedua, karena Noldeke sendiri tidak
sanggup melakukanya, maka tugas ini dipercayakan kepada muridnya, Friedich
Schwally, yang kemudian mengedit dan merevisi buku tersebut menjadi dua edisi.
Edisi pertama berisi asal mula Al-qur’an dan edisi kedua berisi penyusunan
Al-qur’an,
Sepeninggalan Schawally proyek edisi
ketiga dilanjutkan oleh Gotthelf Bergstasser di Konigsberg. Bagian ketiga tertunda
karena munculnya banyak materi yang penting selanjutnya Bergstasser tanpa
diduga meninggal pada tahun 1933. Karyanya dilanjutkan oleh orientalis lain
yaitu Otto Pretzl yang menyempurnakanya pada tahun 1938.
Puin yang menyadari gegagalan mereka kemudian
berpendapat bahwa sekalipun himpunan lengkap beragam variasi Al-qur’an dapat
dicapai namun hal itu tidak akan membuat terobosan baru dalam kajian Al-qur’an.
Walapun begitu himpunan ini akan mengngkapkan tahapan-tahapan ortografi
Al-qur’an dan tulisan Arab.
Bagaimanapun para orientalis itu terus
menggugat kesepakatan para ulama islam sepanjang masa, mereka melacak pemikiran
pinggiran untuk menggerogoti ijma yang telah resmi. Ibnu miqsam yang tidak
menjadikan autensitas isnad sering dijadikan bemper untuk menyalahkan
autensitas mushaf utsamani. Padahal para ulama yang sezaman dengan ibnu miqsam
telah menolak pendapat ibnu miqsam, oleh karena itu ibnu miqsam dilarang untuk
menyebarkan pemikirannya dan pada akhirnya disebutkan bahwa ibnu miqsam bertobat
kemudian mengikuti kesepakatan pada ulama.
Para orientalis juga sering menggunakan
ibnu Shanabudh untuk menjustifikasi bahwa bacaan yang berbeda dengan mushaf
utsmani diperbolehkan, di isukan juga Abu Bakar al-Baqillani tidak menyetujui
rasm utsmani. Justru yang terjadi sebaliknya. Ibnu al-Baqillani berpendapat
bahwa seseorang mungkin akan salah menafsirkan perbedaan pada qurra,
seolah-olah mereka bebas memilih cara baca apa saja yang mereka inginkan. Bagi
al-Baqillani pendapat seperti ini tidak ada dasarnya. Cara baca bisa diterima
jika hanya ditransmisikan dengan sanad yang autentik, hal ini adalah ijma
ulama.[13]
H. ORIENTALIS
DAN AL-QUR’AN
Diantara
obyek kajian yang dilakukan orientalis secara serius adalah studi al-Qur’an.
Motif kajiannya tetap sama dengan apa yang telah dibahas diatas. Sisi-sisi
al-Qur’an itu dikaji dengan cermat dan dipersoalkan dengan tujuan yang implisit
untuk membuktikan ketidak aslian al-Qur’an. Tokoh-tokoh mereka diantaranya
adalah Bergtrasser, A. Jeffery, Mingana, Pretzl, Tisdal, Wamsbrough, Puindan
banyak lagi lainnya. Namun yang paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini
adalah Arthur Jeffery. Mereka itu telah mencurahkan seluruh kehidupan mereka
guna menyingkap perubahan teks Al-Qur’an. Di antara karya-karya: 1) A. Mingana
and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-’Othmanic
with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914; 2) G. Bergtrasser, “Plan eines
Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930,
Heft 7; 3) O. Pretzl, “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”,
Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan 4) A. Jeffery, The
Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.
Berikut ini dipaparkan
beberapa model kajian orientalis terhadap AL-Qur’an :
1. Mengaitkan dengan Teks
terdahulu
Dengan pendekatan kesejarahan
studi al-Qur’an di Barat dikaitkan dengan kitab suci tradisi Yahudi dan
Kristen. J. Wansbrough menganggap al-Qur’an berasal dari Tradisi Yahudi dan
Perjanjian Lama. Menurutnya ajaran tentang kemukjizatan Al-Qur’an adalah imitasi
dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, itulah sebabnya mengapa Muslim
menganggap “kumpulan ucapan” dalam al-Qur’an sebagai kitab suci yang mutlak
kebenaranya. Sedangkan Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari tradisi
dan kitab suci Kristen. Richard Bell mengatakan, pengaruh Kristen belum terjadi
pada masa akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya, surah al-Ikhlas bukan
polemik antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi dengan orang musyrik yang
percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Kemudian ketika surah
al-Alaq ayat 1 sampai 5 turun pengaruh Kristen juga belum nampak, karena disitu
dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Sementara dalam konsep
Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Baru kemudian pada surah al-Mu’min 67
dinyatakan bahwa :”Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes air mani, sesudah itu segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai
seorang anak..”. Di dalam surah ini pengaruh Kristen baru terbaca.
Selain itu, menurut Bell,
pengaruh Bibel terhadap al-Qur’an dapat dilihat dari konsep penolakan
penyaliban Yesus. Konsep ini, menurutnya diambil dari satu sekte Kristen di
Syiria. Selain itu Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad
merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Hal ini merujuk
kepada pengalaman orang-orang Kristen bahwa pengetahuan tentang agama Kristen
diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar) dalam
suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan
sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, dan sugesti itu terjadi secara
alami. Sudah tentu masalah-masalah tersebut muncul karena dalam pandangan
mereka hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat dikaji secara saintifik.
Upaya mengkaitkan al-Qur’an
dengan tradisi agama mereka diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig. Ia
menyatakan, bercermin dari sejarah Kristen, dimana ajaran dan riwayat hidup
Yesus dibentuk secara kerygmatis dan dibangun melalui tradisi yang berkembang
dalam komunitas para pengikutnya selama 40 tahun, akhirnya muncul Injil Markus,
sehingga Yesus historis (historical Jesus) yang sesungguhnya nyaris mustahil
untuk diketahui, maka bercermin dari kasus ini boleh jadi tradisi
[riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad SAW [yakni Al-Qur'an dan hadist]
melalui proses serupa.
Abraham Geiger (1810-874),
seorang intelektual dan pendiri gerakan Yahudi Liberal di Jerman, mengajukan
teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam
esainya yang berjudul “Apa Yang Telah Muhammad Pinjam Dari Yahudi ?”,
memaparkan sejumlah indikasi bahwa al-Qur’an merupakan imitasi dari Taurat dan
Injil antara lain dari segi kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu.
Taabuut, Tauraat, Jahannam, Taaghuut, dan sebagainya. Selain itu, Geiger juga
berkeyakinan bahwa muatan al-Qur’an sangat terpengaruh oleh agama Yahudi
seperti penjelasan al-Qur’an mengenai: (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan
doktrin, (b) peraturan-peratuan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang
kehidupan.
Mengenai ayat-ayat di dalam
al-Quran yang mengecam Yahudi, Geiger berpendapat bahwa kecaman itu disebabkan
Muhammad telah menyimpang dan salah mengerti tentang doktrin-doktrin agama
Yahudi. Selain itu Theodor Noldeke, seorang pendeta Kristen yang berasal dari
Jerman juga menyoroti beberapa hal yang disebutnya sebagai ketidakakuratan
Al-Qur’an. Orientalis yang satu ini mengukur kebenaran al-Qur’an dari Bibel.
Maka, apa pun yang terkandung di dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan Bibel
akan dianggap salah. Seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Nabi Isa.
Pendapat Thedodor Noldeke ini, diamini oleh Ricordo dengan tambahan bahwa
Muhammad telah salah paham terhadap konsepsi-konsepsi dogmatik dalam Kristen,
seperti masalah trinitas, penyaliban Isa, dan lainya.
Arthur Jeffery, orientalis
yang pernah mencoba membuat al-Qur’an edisi kritis, berpendapat bahwa kosa kata
asing di dalam al-Qur’an mesti diteliti dan dirujuk hingga ke sumber asalnya.
Dengan cara demikian, ia berharap bisa memahami sumber-sumber yang mempengaruhi
Muhammad saw. dalam mengajarkan risalahnya. Karena menurutnya Muhammad termasuk
orang yang haus darah, sehingga kebanyakan hukum yang terkandung dalam
al-Qur’an bersifat tidak humanis. Pola pikir ini bermula dari sebuah konsep
yang subjektif, yaitu bahwa Muhammad saw. adalah penulis al-Qur’an yang
sebenarnya. Dimana ayat-ayat al-Qur’an banyak dihasilkan dari pada apa yang
dilihat oleh Muhammad disekitarnya, seperti menyebarkan Islam dengan pedang,
hukum rajam, qhisas dan lain-lain.
Antonius Waleus, pendiri dan
rektor Semanirium Indicum, (1622-1632), dalam karyanya yang berjudul Opera
Omnia, mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang disimpangkan dan
penuh dengan pemikiran yang saling bertentangan. Seperti beberapa penggalan
ayat yang menerangkan tentang Tuhan, yang digambarkan dengan wujud fisik yang
sedang duduk atau berada di atas Kursi. Tidak hanya itu, beberapa kandungan
hukum al-Qur’an, banyak bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan.
Legitimasi seorang untuk dapat kawin lebih dari satu, menurut mereka
bertentangan dengan moral dan merupakan
pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Demikian pula hukum pidana dalam
al-Qur’an banyak bersifat lokal dan tidak humanis, seperti hukum rajam, qishas
dan lain-lain. Ini semua menurut Kenneth Cragg merupakan hasil adopsi dari
budaya yang berlaku ketika itu. Lebih pedas lagi ketika dia mengatakan bahwa
sebenarnya Muhammad termasuk orang paling kejam dan paling berbahaya yang harus
di hancurkan baik orangnya maupun Aqidahnya. Sebab, alasannya, dia yang
menyebabkan pertarungan antara saudara dan permusuhan antara sukunya sendiri,
seperti pertarungan antara orang Qurais sendiri dan suku-suku lainya. Ajaran
agama baru yang dibawanya membiaskan permusuhan antara mereka sendiri.
2. Mengutamakan Rasm dari Riwayah
Salah satu ciri dari
pendekatan saintifik di Barat itu adalah penekanan pada fakta-fakta empiris
yang berlebihan sehingga bukti-bukti lain selain yang memiliki fakta fisik
(habeas corpus) tidak dapat diterima. Hal ini terbukti dari besarnya perhatian
orientalis yang berlebihan dalam mengkaji sejarah kompilasi teks al-Qur’an atau
sejarah teks al-Qur’an.[8] Ini nampaknya berdasarkan pengalaman mereka dalam
melacak sejarah Bible yang hanya mengandalkan pada tulisan manuscript dalam
bentuk papyrus, scroll dan sebagainya.
Manuscript itulah yang berperan dan berfungsi sebagai acuan dan landasan
bagi penulisan Gospel.
Dengan pendekatan tekstual
itu maka orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, mengkaji
al-Qur’an dengan berdasarkan sebuah asumsi bahwa Al-Qur’an adalah `dokumen
tertulis’ atau teks, bukan sebagai `hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan
asumsi keliru ini (taking the Qur’an as text) mereka lantas mau menerapkan
metode-meode filologis yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti
historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.
Logika tekstual itulah yang mengkibatkan anggapan bahwa al-Qur’an sebagai hasil
interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling mereka.
Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap
dan berbeda dengan aslinya (tanpa mengetahui bagaimana teks aslinya itu) dan
karena itu mereka lantas membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun
membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.
Sebenarnya, dalam Islam
Al-Qur’an bukanlah `tulisan’ (rasm, text atau writing) tetapi merupakan `bacaan
(qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun
(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya
dilakukan melalui lisan dan hafalan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan
`membaca’ al-Qur’an adalah `membaca dari ingatan’ (qara’a `an zhahri qalbin).
Tulisan berfungsi sebagai alat penyimpan dan dokumentasi yang dapat berbentuk
tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya. Namun semua itu
berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam
ingatan sang qaari/muqri. Maka dari itu prinsip yang terkenal dikalangan para ulama
adalah “al-rasm tabi li al-riwayah” (tulisan itu mengikuti riwayat). Bagaimana
hafalan itu dapat terjaga dari lupa, para sahabat dan para ulama menggunakan
metode isnad yang mutawaatir dari generasi ke generasi. Hafalan seorang alim di
cross check dengan ulama yang lain. Dari sini maka keutuhan dan keaslian
Al-Qur’an terjaga sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril a.s kepada Nabi
SAW dan diteruskan kepada para Sahabat dan ulama hingga hari ini.
3. Mempersoalkan Pembentukan Mushaf
Para orientalis pada umumnya
tidak percaya pada fakta tentang keberadaan al-Qur’an dalam bentuk lisan dari
tradisi hapalan dikalangan orang-orang Arab pada waktu itu. Dengan memberi
penekanan pada substansi al-Qur’an sebagai sebuah teks, kalangan orientalis
berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad dan di
masa khalifah Abu Bakr, namun menerima upaya kompilasi yang dilakukan oleh
‘Utsman. Hanya saja mereka kemudian menduga adanya kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam teks Al-Qur’an di masa itu. Sebab antara wafatnya Rasulullah
dengan distribusi naskah Al-Qur’an ke perbagai wilayah Dunia Islam selisih lima
belas tahun. Mereka menganggap dalam rentang waktu tersebut telah terjadi
pemalsuan teks aslinya. Padahal, ilmuwan Kitab Injil tidak mempermasalahkan
sejarah Bibel, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan
transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya. Sebaliknya naskah
bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari
Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti
ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak
dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Meskipun
anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai sarana pembuktian
kepalsuan naskah al-Qur’an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak
masuk akal.
Kajian-kajian orientalis
seakan mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi
Muhammad, dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat,
mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur’ an karena syahidnya para penghapal
Qur’an. Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan
Yamamah dan kemudian memberi tahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab
Suci ini lantaran kematian mereka. Lebih jauh lagi, mengapa bahan-¬bahan yang
telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri. Jika demikian, mengapa pula Zaid bin Thabit
tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan Suhuf itu. Meskipun berita itu
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin,
penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang
didiktekan sejak awal dan penulisannya adalah palsu. Selain itu mereka juga
mempertanyakan jika terdapat satu naskah al-Qur’an milik Nabi Muhammad mengapa
beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan.
Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai
narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr. Jadi, karena Nabi tidak pernah
menyerahkan bahan-bahan tertulis kepada para sahabat, maka tidak ada unsur
kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai
sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut boleh saja dilontarkan, manun fakta-fakta bahwa para huffaz yang
jumlahnya ribuan memperoleh ilmu pengetahuan Al-Qur’an melalui satu-satunya
otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini yang, akhirnya, sampai pada Nabi
Muhammad. Hingga wafatnya Rasulullah SAW hampir seluruh catatan-catatan awal
para sahabat nabi yang merupakan koleksi pribadi dengan perbedaan kualitas dan
kuantitasnya telah wujud. Karena untuk keperluan masing-masing, banyak yang
menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir) dipinggir
ataupun disela-sela ayat yang mereka tulis. Namun, sekali lagi rekaman catatan
para sahabat itu tidak lebih utama dari hapalan mereka. Itulah sebabnya mengapa
setelah susutnya jumlah penghafal Al-Qur’an karena gugur di medan perang,
Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a berusaha mengkodifikasikan (jam’) dengan membentuk sebuah tim pengumpul
hingga Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung
(first-hand) dan mutawaatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr r.a
(13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat
(23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada
Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah
sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali
semua qira’at yang ada, serta meneliti
dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan
standarisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Untuk membuat kompilasi
Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang tidak hanya mesti
membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian
bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hukum kesaksian ini juga dihidupkan
kembali di zaman pemerintahan `Uthman. Jadi otoritas saksi merupakan poin
paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen. Ayat-ayat yang telah ditulis tetap
terpelihara di suatu tempat tertentu. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standard
yang masing-masing mengandung qira’at mutawaatirah yang disepakati keshahihan
periwayatannya dari Nabi SAW. Jadi sangat jelaslah fakta sejarah dan proses
kodifikasinya.
4. Mempersoalkan kandungan al-Qur’an
Dari menekankan pada substansi
al-Qur’an sebagai teks orientalis kemudian beralih mempersoalkan kandungan teks
al-Qur’an. Dengan menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis, W.
Montgomery Watt misalnya beranggapan bahwa sumber wahyu al-Qur’an itu ada dua
yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Dari anggapan ini ia kemudian menafsirkan bahwa
wahyu al-Qur’an itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan
bahasanya sendiri dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan
Kristen). Watt di satu sisi tidak menolak Islam yang fundamental, tetapi disisi
lain dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan
Islam. Watt menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Baginya wahyu turun
dari Tuhan hanya dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada
peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari sini menurutnya
dimungkinkan terjadinya kekeliruan dalam al-Qur’an. Contoh kekeliruan yang ia
tunjukkan adalah penolakan terhadap penyaliban Yesus dalam al-Qur’an (QS
4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen
Syiria yang keliru. Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad
dalam subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam Al-Qur’an bila
kekeliruan seperti penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa
bersatu.
Kajian terhadap kandungan
al-Qur’an dengan menggunakan framework Barat dilakukan oleh Joseph Schacht
dalam karyanya Introduction to Islamic Law. Schacht membagi hukum dalam Islam
kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum
(obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and
contracts in particular), dan lain-lain. Susunan seperti ini berdasarkan tata
hukum Romawi dan bukan tata hukum Islamdan tidak ada kaitannya sama sekali
dengan topik bahasan serta pembagiannya yang digunakan dalam sistem
perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an
dengan membagi Quranic Studies menurut empat prinsip-prinsip penafsiran
(Principles of Exegesis) yaitu: (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2)
Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4)
Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan
(Rhetoric and allegory). Tafsir-tafsir seperti ini tidak dipahami oleh para
ilmuwan Muslim baik yang berlatar belakang pendidikan Timur mau pun Barat.
Barangkali hanya pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian
Lama yang mengerti jenis tafsir itu. Mengapa mereka melakukan itu semua, tidak
lain adalah untuk membuktikan bahwa isi kandungan al-Qur’an itu bersumber dari
Yahudi dan Kristen. Ini dapat diperkuat oleh pandangan Wansbrough, yang
menyatakan bahwa “Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan ketokohan Muhammad,
dihangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.” Kajian tentang kandungan
al-Qur’an selain Joseph Schacht dan Wansbrough dilakukan oleh Noldeke. Ia
mengkritik isi sejarah yang tertuang dalam al-Qur’an. Dalam satu artikel
Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam
al-Qur’an karena “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi.
Menurutnya terdapat kecerobohan dalam menyebut nama-nama yang dicuri dari
sumber-sumber Yahudi.Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut:
“Bahkan orang Yahudi yang
paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri
Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan
Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih. Dan dalam kebodohannya tentang
sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan
hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan
bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (QS XII: 49).”
Menurut Azami pandangan
Noldeke ini sebenarnya juga merupakan kecerobohan. Sebab menyimpulkan bahwa Fir’aun tidak memiliki
seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci
yang terdahulu, adalah naïf. Demikian ketika menyalahkan al-Qur’an dalam soal
hubungan kekerabatan Maryam (Ibu Isa al-¬Masih) sebagai “saudara perempuan
Harun” bukan Musa.[14] Noldeke salah sebab Maryam atau Elizabeth sebagai
“saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan `Imran” (ayah
Harun).
Kritikan orientalis mengenai
kandungan al-Qur’am telah dibahas dengan baik oleh Muhmammad Khalifa, dalam The
Sublime Qur’an and Orientalism. Dalam buku ini Khalifa adalah Konsep Tuhan dalam al-Qur’an, pengertian Islam,
kepercayaan dalam Islam, ritual-ritual dalam Islam, sikap al-Qur’an terhadap
agama lain, Konsep moralitas dalam al-Qur’an, masalah Qada-Qadar dan
masalah-masalah metafisis seperti ruh, jiwa, kematian, neraka, surga, hari
akhir, pembalasan dan lain sebagainya.
5. Menggunakan Metodologi Bibel
Karakteristik orientalis yang
lain adalah penerapan metodologi kajian Bibel kedalam kajian al-Qur’an.
Metodologi tersebut adalah kritis historis. Tokohnya adalah pendeta Edward Sell
(m. 1932), salah seorang misionaris terkemuka di Madras, India. Ia mendesak
agar kajian kritis-historis al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan kritik Bibel
(biblical criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya dengan menulis
Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di
Madras, India.Ia juga menjadikan karya Theodore Nöldeke, Geschichte des Qorans,
sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an. Jejak Sell kemudian diikuti oleh
Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) yang menyatakan:
Sudah tiba masanya untuk
melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan
terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang
berbahasa Yunani.
Selain itu Arthur Jeffery (M.
1959), seorang orientalis dari Australia melihat konsep kesucian al-Qur’an
sebagaimana konsep kesucian Bibel. Kesucian Bibel bukan karena dirinya sendiri,
akan tetapi oleh karena tindakan komunitas masing-masing agama. Jeffery
mengatakan:
Komunitaslah yang menentukan
masalah suci dan tidaknya [kitab suci]. Komunitaslah yang memilih dan
mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang
mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik
yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”
Jeffery mencoba menyamakan
apa yang terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian
community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah
korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan
Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament). Ini sama
dengan komunitas Muslim, dimana penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf
‘Abdullah ibn Mas‘ud sebagai al-Qur’an edisi mereka. Penduduk Basra menganggap
Mushaf Abu Musa sebagai milik mereka, sedangkan penduduk Damaskus dengan
Mushfaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay. Jeffery
menyatakan sikap awal kaum Muslimin tersebut paralel sekali dengan sikap
masing-masing pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri ragam
variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai
versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),teks Netral (Neutral text),
teks Barat (Western text),[24] dan teks Kaisarea (Caesarean text).
Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri.
Bukan hanya itu, Jeffery juga
menghimbau para cendekiawan Muslim untuk melakukan kritik teks kepada
al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak
menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang
menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis
terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode
kritis ilmiah (biblical criticism). Jeffery meyatakan:
Apa yang kita butuhkan,
bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan
oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis
modern untuk tafsir al-Qur’an.”[26]
Dari mencontoh kritik
terhadap Bibel (biblical criticism), Jeffery merancang proyek ambisius yaitu
mengedit al-Qur’an secara kritis (a critical editon of the Qur’an). Sekalipun
proyek Jeffery gagal disebabkan kematian kolega-koleganya dan perang dunia ke-2
yang menghancurkan 40.000 naskah lebih yang telah dihimpun di Munich, usaha
untuk mengadopsi metodologi Bibel kepada al-Qur’an, masih terus berlanjut. Pada
pertengahan abad ke 20, John Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic
Studies yang terbit pada tahun 1977, menggunakan kritik sumber (source
criticism) ke dalam studi al-Qur’an. Ia menyatakan: “As a document susceptible
of analysis by the instruments and techniques of Biblical criticism it is
virtually unknown.”
Berlanjut sehingga kini,
orientalis terus-menerus mengaplikasikan metodologi Bibel dalam studi
al-Qur’an. Baru-baru ini ketika mereview Die syro-aramäische Lesart des Koran.
Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache (Cara membaca al-Qur’an dengan
bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami
bahasa al-Qur’an), karya Christoph Luxernberg (nama samaran), Robert R. Phenix
Jr. and Cornelia B. Horn menyatakan: “Tidak di dalam sejarah tafsir al-Qur’an
karya seperti ini pernah dihasilkan. Karya-karya yang sama hanya dapat
ditemukan di dalam bentuk kesarjanaan kritis teks Bibel.” (Not in the history
of commentary on the Qur’an has a work like this been produced. Similar works
can only be found in the body of text-critical scholarship on the Bible.)
Akibat penerapan biblical
criticism dalam studi al-Qur’an, para orientalis melontarkan berbagai pendapat yang
kontroversial mengenai al-Qur’an seperti:
al-Qur’an telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’an
disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah
karena telah mengkodifikasi al-Qur’an; perlunya mewujudkan al-Qur’an edisi
kritis; al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik;
al-Qur’an adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan
al-Qur’an; tidak ada di dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit
karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’an,
menyamaratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan
kalimat dalam al-Qur’an dan lain sebagainya.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas jelaslah
bahwa pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu
yang penuh dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap
sejarah al-Qur’an, proses kompilasinya, status ontologisnya, kandungannya dan
metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan ilmu pengetahuan Barat sekuler dan
diwarnai oleh kepercayaan dan tradisi agama Kristen dan Yahudi.
Karena pendekatan ini berbeda
dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka hasilnya pun akan
berbeda. Ketika mereka menerapkan metodologi Bibel, teks al-Qur’an dianggap
sama dengan teks Bibel, padahal keduanya berbeda secara histories maupun secara
tekstualnya. Kajian terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan,
sedangkan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan, sehingga
hal-hal yang bersifat doktriner ditinggalkan. Al-Tabari, misalnya, menegaskan
bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen
mengikut sunnah Nabi. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk
mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan
keagamaan! (min shartihi sihhat al-i‘tiqad, wa luzum sunnat al-din, fainna man
kana magmusan ‘alayhi fi dinihi, la yu’tamana ‘ala al-dunya, fa kaifa ‘ala
al-din!).
Kajian yang hanya
mengandalkan akal hanya akan menimbulkan keraguan ketika menemui
masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Oleh sebab itu, jika kaum
Muslimin membaca karya orientalis mengenai al-Qur’an, mereka perlu bersikap
hati-hati dan kritis. Abu Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin,
al-Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya ilmu
ini adalah din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil
agamamu.” Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat penting
bagi seorang yang mengkaji al-Qur’an. Ini disebabkan status al-Qur’an yang berbeda dengan teks-teks yang lain.
Satu hal yang perlu diakui
secara jujur adalah bahwa setiap teks memiliki latar belakang sejarahnya sendiri
sendiri. Oleh sebab itu, menerapkan metodologi suatu teks kedalam kajian teks
yang lain, khususnya al-Qur’an tidaklah tepat. Metodologi yang tidak sesuai
untuk mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru bertentangan
dengan esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya al-Qur’an telah memiliki
metodologi tersendiri. Metodologi kajian al-Qur’an yang diwarisi dari para
ulama itu adalah ‘ulum al-Qur’an. Meskipun ada beberapa persamaan antara ‘ulum
al-Qur’an dan biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan yang
mendasar terutamanya status teks itu sendiri. Jika metodologi Bibel ditrapkan
dalam kajian al-Qur’an sudah tentu metode tafsir al-Qur’an juga dapat ditrapkan
dalam kajian Bibel. Jika kajian al-Qur’an diterapkan kedalam kajian teks Bible,
tentu Bibel menjadi tidak berarti apa-apa. Jadi Biblical criticism hanya tepat
diterapkan untuk Bibel dan bukan untuk kajian al-Qur’an. Sebab Bibel itu adalah hasil karangan
beberapa orang penulis yang hidup dalam zaman yang berlain-lainan. Latar belakang
penulis yang beragam mewarnai isi Bibel. Oleh sebab itu, textus receptus dan
teks standar Bibel memang harus ditolak karena justru menghilangkan
keaneka-ragaman yang memang sejak awal sudah terjadi.
Jika teks Bibel bisa
disamakan dengan teks-teks lain yang dikarang oleh manusia, maka al-Qur’an
tidak demikian, karena ia adalah tanzil yang tidak bisa disamakan dengan teks
karangan manusia. Bahkan anggapan sementara orang bahwa al-Qur’an telah
tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad telah terbantah oleh firman Allah SWT
yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas
(nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar
Kami potong urat tali jantungnya”. Allah juga berfirman yang artinya: “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (Pekanbaru: Amzah, 2002)
Armas, Adnin, Pengaruh
Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal , Jakarta
Gema Insan, 2004
Abdul Rauf, Hasan dan Ghirah,
Abdurrahman, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2007
Dr. Muhammad
‘umar Hawiyah, “Nuzul Al Qur’an Al
karim wa Tarikhuhu wa Maa Yata’alaq bihi”, (Madinah: Majmu’ Malik Fahad
lithiba’ati al mushhaf, Tt)
Howard
M. Federspiel, ‘Kajian Al Qur’an di
Indonesia’, (Bandung: Mizan, 1996)
http://www.tongkronganislami.net/2012/04/al-quran-dan-orientalisme.html
Jamillah, Maryam. 1997. Islam
dan orientalisme. Jakarta:Badan Penerbitan Iain Wali Songo Press
Mummad
Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta:
Rajawali pers, 2002)
Moenawar
Chalil, ‘ Kembali kepada Al Qur’an dan As sunnah’, ( Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1991)
Muhammad
Ahmad Kholfillah, ‘Al Qur’an wa “ulumuhu wa Al Hadits wa ‘ulumuhu'(Al
Muasasah Al’arobiyah lidirasat wa An Nasyr, 1986)
[1] Mummad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali pers, 2002), h.19.
[2] Dr. Muhammad ‘umar Hawiyah, “Nuzul
Al Qur’an Al karim wa Tarikhuhu wa Maa
Yata’alaq bihi”, (Madinah: Majmu’ Malik Fahad lithiba’ati al mushhaf, Tt),
h 7.
[3] Moenawar
Chalil, ‘ Kembali kepada Al Qur’an dan As sunnah’, ( Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1991), h 169.
[4] Howard M.
Federspiel, ‘Kajian Al Qur’an di
Indonesia’, (Bandung: Mizan, 1996), h.181.
[5] Muhammad Ahmad Kholfillah, ‘Al Qur’an wa “ulumuhu wa Al Hadits
wa ‘ulumuhu'(Al Muasasah Al’arobiyah lidirasat wa An Nasyr, 1986),h 5.
[6]Abu Anwar, Ulumul
Qur’an, (Pekanbaru: Amzah, 2002), h.29.
[7]
Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 3
[8]Maryam Jamillah. 1997. Islam
dan orientalisme. Jakarta: Badan Penerbitan Iain Wali Songo Press. Hlm. x
[9]
Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 4
[10]
Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 5
[11]
Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 9
[12]
Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 12
[13]
Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal , Jakarta Gema
Insan, 2004, Hal. 61
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar