Minggu, 29 Januari 2023 | By: namakuameliya

Al-Qur’an dan Orientalisme

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi dasar segala segi kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Karena datang dari Allah swt. Maka dari itu umat Islam merasa perlu untuk mempelajari Alquran secara menyeluruh untuk menjaga otentisitasnya. Upaya itu telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah sampai hijrah ke Madinah, bahkan usaha pemeliharaan Alquran masih berlangsung sampai sekarang.

Meskipun al Qur’an itu adalah wahyu Ilahi yang bersifat qath’i, namun pada prakteknya terdapat dua penilaian yang kontradikfif terhadap Alquran.Penilaian pertama datangnya dari kaum muslim sendiri sedangkan penilaian yang kedua datangnya dari kalangan non muslim (Orientalis).

Penilaian dari luar (orientalis) pada umumnya bersifat negatif. Menurut mereka, Alquran itu bukanlah wahyu Allah, melainkan hasil karya Nabi Muhammad yang sumbernya dari berbagai pihak.

Berdasarkan alasan yang diungkapkan diatas, penulis merasa sangat perlu membahas penjelasan tentang al Qur’an khusunya definisi dan turunnya al Qur’an, agar dapat membentuk pemahaman tentang al Qur’an dengan baik dan jelas, sehingga tidak terpengaruh oleh pemahaman yang dimiliki oleh para orientalis.

Diantara obyek kajian yang dilakukan orientalis secara serius adalah studi al-Qur’an. Sisi-sisi al-Qur’an itu dikaji dengan cermat dan dipersoalkan dengan tujuan yang implisit untuk membuktikan ketidak aslian al-Qur’an. Dimana pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap sejarah al-Qur’an, proses kompilasinya, status ontologisnya, kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan ilmu pengetahuan Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan tradisi agama Kristen dan Yahudi.

Karena pendekatan ini berbeda dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka hasilnya pun akan berbeda. Kajian terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedangkan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan.

Maka perlu rasanya kami menulis mengenai “Al-Qur’an dan Orientalisme” dengan tujuan masyarakat muslim memperoleh pengetahuan mengenai rencana-rencana tersembunyi yang mungkin akan menghancurkan Islam, dan bisa mengantisipasi misi para orientalis yang negatif terhadap Islam.

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  DEFINISI AL QUR`AN

1.     Definisi Al Qur`an menurut Bahasa

Terdapat banyak pendapat tentang pengertian al Qur’an dari segi bahasa yang dilihat dari pola kata pembentukannya atau lafadznya. Menurut Ahli Al qur’an dalam Suma mengatakan bahwa kata al Qur`an berasal dari kata qara`a, yaqra`u, qur`anan wa qiraa`atan, yang artinya bacaan atau yang dibaca[1]

 

2.     Definisi al Qur`an menurut Istilah

Al Qur`an menurut istilah mempunyai beberapa makna, sebagai berikut:

a.     Al Qur`an adalah

كلام الله المنزّل على محمد صلى الله عليه وسلم المتعبد بتلاوته-

            Artinya: “Kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.” [2]

b.     Menurut Ahli Ushul Al’Qur’an dalam Chalil bahwa Al Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang bersifat mu’jizat dengan sebuah surat daripadanya dan beribadah bagi yang membacanya.[3]

c.      Menurut Federspiel, al Qur’an adalah firman Allah, dan merupakan sumber ajaran bagi masyarakat Islam yang menerima ajaran-ajaran Islam.[4]

d.     Sedangkan Menurut Kholfillah, Al Qur’an adalah

النصوص الإلهية للدعوة الإسلامية، النصوص التي نزلت من السماء على محمد بن عبد الله عليه السلا

  Artinya: “Kalam Allah yang ditujukan untuk mendakwahkan Islam, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bin ‘Abdullah”.[5]

e.       Menurut ‘Ali Ash Shaabuuny, bahwa al Qur`an adalah firman Allah yang mu’jiz, diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril yang tertulis dalam mashhaf, diriwayatkan secara mutawattir, menjadi ibadah bagi yang membacanya, diawali dari surat Al Fatihah dan diakhiri surat An Nas.[6]

Pendapat-pendapat yang dikemukakan diatas  merupakan pendapat yang sesuai dengan istilah-istilah ataupun definisi yang digunakan dalam beberapa ayat al Qur’an  seperti yang terdapat dalam Q.S Al an’am: 155, ayat tersebut menjelaskan bahwa al Qur’an adalah kalam Allah, dalam Q.S  Al An’am: 19 menjelaskan bahwa al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi saw, dan juga dalam Q.S Al Baqarah: 97 yang menjelaskan bahwa  al Qur’an adalah kalam Allah yang disampaikan melalui perantara malaikat Jibril.

Dari keseluruhan pengertian-pengertian tersebut, baik dari pendapat ulama maupun yang terdapat dalam al Qur’an dapat disimpulkan bahwa definisi al Qur’an yaitu kalam Allah yang diawali dari surat Al Fatihah dan diakhiri surat An Nas,yang bersifat mu’jiz, diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw bin ‘Abdullah melalui perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mashhaf, diriwayatkan secara mutawatir, menjadi ibadah bagi yang membacanya, dan juga bertujuan untuk mendakwahkan Islam.

 

B.  DEFINISI ORIENTALIME

Kata Orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah studi/penelitian yang dilakukan oleh selain orang timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama, sejarah, dan pemasalahan-permasalahan sosio-kultural bangsa timur, atau ada juga yang mengatakan orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang ketimuran. [7]

Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Orientalisme adalah kajian tentang Dunia Timur beserta peradaban dan agamanya yang dilakukan oleh bangsa Barat[8].

Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam.

Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat. .Menurut Edwar Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen. Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi pembudayaan terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif.

 

C.   SIAPA ORIENTALIS?

Kata orientalis identik digunakan bagi para ilmuwan barat yang mempelajari hal-hal ketimuran dalam berrbagai aspek, baik bahasa, kebiasaan, peradaban, terlebih agama-agamanya.

Secara umum bisa didefinisikan bahwa orientalis adalah sekelompok orang atau golongan yang berasal dari Negara dan ras yang berbeda-beda yang mengkosentrasikan diri dalam berbagai kajian ketimuran, khususnya Negara arab, cina, Persia, dan india.

Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini identik ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap islam dan bahasa Arab.

Setelah kita mengulas secara singkat, makna kata orientalisme dan orientalis, kita akan berpindah kepada hal-hal pokok yang banyak diperselisihkan kalangan ilmuwan dan pemikir tentang awal kemunculan orientalisme dan para tokoh  Barat pertama yang mengusungnya.[9]

 

D.  AWAL KEMUNCULAN ORIENTALISME

Tidak diketahui secara pasti, siapa orang barat pertama yang mempelajari orientalisme dan kapan waktunya. Satu hal yang bisa dipastikan, bahwa sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia bermaksud mempelajari islam, menerjemahkan Al-Qur’an, dan buku-buku berbahasa Arab kedalam bahasa mereka serta berguru kepada ulama-ulama Islam berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat, kedokteran, dan metafisika. Dan diantaranya para pendeta yang dating ke Andalusia tercatat sebagai berikut:

1.     Seoran pendeta perancis bernama (Gerbert), yang terpilih sebagai pemimpin gereja Roma tahun 999 M selepas belajar di berbagai perguruan di Andalusia dan kembali kenegaranya.

2.     Pendeta Petrus (1092-1156)

3.     Pendeta Gerrardi Krimon (1114-1187)

Sekembalinya para pendeta tersebut ke negaranya masing-masing, mereka menyebarkan kebudayaan Arab dan buku-buku karangan ulama-ulama terkenal islam. Kemudian mereka mendirikan sekolah-sekolah yang khusus mengkaji Islam, semisal madrasah Islam Badawiy dan sekolah-sekolah Islam lainnya yang mempelajari karya-karya ulama Islam yang telah diterjemahkan kedalam bahasa latin. Tidak ketinggalan mereka mendirikan universitas di barat dan menjadikan buku-buku karangan ulama Islam sebagai rujukan utama dan sumber yang asli kurang lebih selama 6 abad. Hasilnya, sejak saat itu orang-orang yang corncern mempelajari Islam dan Bahasa Arab begitu banyak dan tidak terputus hingga Al-Qur’an dan sebagian buku-buku baik itu ilmu umum maupun ilmu agama diterjemahkan kedalam  bahasa mereka sendiri.

Menjelang abad ke 18 yaitu abad dimana orang-orang Barat menguasai dunia Islam dan menguasai kerajaan-kerajaannya-para pemikir Barat mulai menyebarkan paha orientalisme melalui jurnal-jurnal yang diterbitkan diseluruh penjuru Negara dan kerajaan Barat.

Pada tahun 1873 digelar muktamar orientalis pertama di paris. Mukatamar tersebut diselenggarakan sebagai wadah pertemuan para orientalis dan wadah pengkajian isu-isu terhangat dunia Timur baik dari sisi perkembangan keagamaan maupun peradaban dunia Timur. Dengan demikian orientalisme merupakan gerakan yang telah mengakar lama dan terus berkembang merongrong dunia Islam hingga detik ini. [10]

 

 

 

E.   PERKEMBANGAN ORIENTALISME

Pada permulaan abad 13 hijriah (akhir abad 18 Masehi), para orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan wajah baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan orientalisme dari tujuan misionaris kepada arah penelitian ilmiah saja.

Berkembanglah di berbagai kota di eropa seperti London, Paris, Leiden, dan St. Petersbug kuliah-kuliah yang mempelajari bahasa Timur seperti Arab, Persia, Turki, dan Urdu. Tujuan Awal mereka dari kuliah-kuliah ini tiada lain dalam rangkaian memperluas kekuasaan kolonialisme dengan cara  memperalat para ahli-ahli dalam urusan tata Negara Islam.

Hasilnya, banyak pelajar Islam yang terkecoh, turut menimba ilmu disana, mengikuti kuliah-kuliah di Eropa, mendengarkan apa yang para orientalisme itu sampaikan di bangku kuliah, sehingga pada akhirnya berubah pola pikir generasi islam di Eropa terhadap Islam itu sendiri.”

Kemudian para Orientalisme itu mampu mengembangkan strategi dan wajah baru mereka ke area dan lembaga-lembaga keilmuan, seperti yang telah mereka lakukan di lembaga-lembaga bahasa dan mesir, lembaga-lembaga ilmu di Damaskus, dan lembaga-lembaga ilmu di Bagdad.

Sampai sekarang telah berdiri yayasan-yayasan keagamaan, politik dan ekonomi di barat yang hidup atas sokongan bantuan kerajaan dan para pemimpin masa lalu, berupa dana bantuan terhadap kegiatan orientalisme, lahan-lahan garapan serta beasiswa-beasiswa yang diberikan secara Cuma-Cuma kepada mahasiswa yang mau terjun dan menggeluti bidang orientalisme ini, Demi melakukan kegiatan orientalisme dan demi mewujudkan cita-citanya ini, mereka curahkan segalanya. Dan disesalkan lagi, Negara-negara islam, walaupun hal tersebut sah-sah saja, akan tetapi perlu diketahui, sesungguhnya tujuannya yang hakiki adalah membantuusaha penjajahan dari para misionaris katolik dan protestan. [11]

 

F.   FAKTOR-FAKTOR PENDORONG GERAKAN ORIENTALISME

               Berikut ini ringkasan factor-faktor penting pendorong munculnya Orientalisme.[12]

1.     Faktor Agama

Diantara  motif penting yang menyebabkan orang-orang Eropa melakukan gerakan orientalisme ini dimulai oleh para rahib gereja kemudian berlanjut para pendeta dimana mereka hanya memikirkan bagaimana caranya menyerang Islam dan memutarbalikkan fakta kebenaran ajaran Islam. Dengancara demikian, mereka menyampaikan kepada public bahwa Islam hanyalah agama kebudayaan Arab yang tidak layak untuk dianut dan diikuti.

Faktor inilah yang menjadi asas kepada kemunculan dan pertumbuhan orientalisma yang berlangsung begitu lama.

Sasarannya antara lain ialah :

a)       Menimbulkan keraguan ke atas kerasulan Muhammad s.a.w dan menganggap hadis Nabi sebagai amal perbuatan ummat Islam (bukannya daripada nabi) selama tiga abad pertama.

b)      Menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al-Qur'an dan memutar belitnnya.

c)       Memperkecil nilai fiqh Islam dan menganggapnya sebagai saduran dari hukum Romawi.

d)      Menganaktirikan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan yang semakin berkembang.

e)       Memperkenalkan teori bahwa Islam adalah berasal dari agama Yahudi dan Nasrani

f)        Mengkristiankan ummat Islam.

g)      Menggunakan hadis-hadis dha'if dan maudhu' untuk menyokong pendapatnya dan mengembangkan teorinya.

 

2.     Faktor Kolonialisme

Setelah bertubi-tubi mengalami kekalahan dalam peperangan Salib, bangsa Eropa tidak berputus asa untuk kembali berusaha berusaha menjajah Negara-negara Arab dan seluruh Negara Islam dengan berbagai cara, salah satunya, mereka mempelajari Negara-negara Islam baik dari segi ideology, adat-istiadat, perilaku, kekayaan alam, bahasa dll, Untuk mereka ketahui lebih jauh kekuatan dan kelemahan Negara-negara Islam tersebut.

Satu hal yang pasti, bahwa orientalisme dan kolonialisme mempunyai hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa eropa. Terlebih setelah Kekalahan kaum salibis , tujuan gerakan orientalisme melebur dengan tujuan perang salib, seolah-olah gerakan orientalisme sebagai pengganti strategi kaum salibis, dari perang fisik berganti menjadi perang pemikiran.

3.     Faktor Ekonomi

Diantara motif-motif yang mendorong kuat orang-orang Barat melakukan gerakan Orientalisme adalah keinginannya menguasai perekonomian Negara-negara Islam dengan meguasai pasar-pasar perdagangan, lembaga-lembaga keuangan, kekayaan alam dan mengekspor sumber-sumber alam migas maupun non migas dengan harga semurah mungkin.

4.     Faktor Politik

Setelah Negara-negara Islam terlepas dari penjajahan yang zalim, kekuatan dan taktik kolonialisme terus berjalan, antara lain dengan menempatkan orang-orang pilihan yang berpengalaman dan luas pengetahuannya mengenai dunia Islam di kedutaan-kedutaan dan konsulat-konsulat mereka untuk memenuhi kepentingan politik kolonnialisme di Negara-negara Islam. Selain itu, para duta besar tersebut diituntut untuk mempelajari bahasa, adat-istiadat dan agama Negara setempat serta memberikan informasi seputar kegiatan politik-nya guna memudahkan menguasai dan menjajah secara politik Negara tersebut.  

a)       Melemahkan semangat ukhuwah Islamiyah dan memecah belah ummat untuk membolehkan mereka (orang-orang Islam) dikuasai

b)      Menghidupkan bahasa Arab 'amiyyah (bahasa pasar) dan mengubah adat istiadat yang diamalkan.

c)       Para pegawai di negara-negara Islam diarahkan untuk mempelajari bahasa asing (yaitu bahasa penjajah) agar memahami kebudayaan dan agama penjajah. Tujuannya agar mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai.

 

5.     Faktor Keilmuan

Secara jujur, untuk mengatakan tidak sama sekali, bahwa motif keilmuan dan kecintaan untuk menelaah literature-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban yang dilakukan para orientalisme ini minim sekali. Sehingga tidak menutup kemungkinan, factor inilah yang telah membuka lebar-lebar ruang kekeliruan, serta kesalahan dalam memahami Islam terkecuali orang-orang yang diberikan petunjuk dan dibukakan pintu hatinya oleh Allah untuk tunduk menerima kebenaran Islam.

6.     Faktor Lainnya

Terdapat faktor-faktor lain-lainnya gerakana orientalisme ini, yaitu bagi orang-orang yang mencari keuntungan materi demi kepuasan hasrat pribadi.

 

G.  MISI KRISTEN DAN ORIENTALISME

Ketika nurkholish majid meluncurkan gagasan sekularisasi pada bulan januari 1970, mungkin belum terlintas dalam pikiran kaum muslim di Indonesia bahwa kaum sekularisme dan liberalisasi islam juga akan menyentuh hal-hal yang sangat mendasar, yaitu seputar autensititas Al-qur’an atau mushaf Ustmani.

Di Indonesia sendiri upaya untuk meragukan Al-qur’an telah dilakukan oleh kalangan misionaris Kristen seperti pendeta suradi dari kelompok Nehemia. Dalam wawancara dengan majalah Gatra (edisi 20 maret 2001), suradi menyatakan bahwa Al-qu’an bukanlah wahyu Allah swt. Menurut suradi Al-qur’an menyebutkan cirinya sebagai wahyu allah, surah an-nisaa ayat 82.

Ironisnya upaya untuk meragukan autensitas Al-qur’an juga muncul dikalangan aktivis jaringan islam liberal, meskipun dalam kadar dan cara yang lebih halus dari pada yang dilakukan oleh Zwemmer,suradi dan lain-lain. Sebutlah gagasan tentang Al-qur’an edisi kritis oleh islam liberal yang sebenarnya tidak mengakar dalam tradisi pemikiran islam, bahkan dengan mudah ditelusuri bahwa gagasan-gagasan seperti ini sebenarnya meneruskan jejak kalangan orientalis dan misionaris Kristen. Orientalis kontemporer seperti Andrew Rippin pun mengakui bahwa Abraham Geiger yang pertama kali menggunakan aspirasi modern dalam memahami Al-qur’an.

Dalam karyanya Geiger berpendapat bahwa kata-kata yang terdapat dalam Al-qur’an seperti Tabut, Taurat, Jannatu’ dan, Jahannam, berasal dari bahasa Ibrani. Selain kata-kata diatas Geiger kemudian perpendapat bahwa Al-qur’an juga terpengaruh dengan agama Yahudi ketika mengemukakan hal-hal berikut,pertama hal-hal yang menyangkut keimanan dan dokrin, kedua peraturan-peraturan hukum dan moral. Dan ketiga pandangan tentang kehidupan.

Pemikiran Geiger dikembangkan lagi oleh para orientalis lain. Theodor Noldeke menulis sebuah monograf dalam bahasa latin tentang asal mula penyusunan Al-qur’an pada tahun 1856. Pada tahun 1898, penerbit buku tersebut mengusulkan edisi kedua, karena Noldeke sendiri tidak sanggup melakukanya, maka tugas ini dipercayakan kepada muridnya, Friedich Schwally, yang kemudian mengedit dan merevisi buku tersebut menjadi dua edisi. Edisi pertama berisi asal mula Al-qur’an dan edisi kedua berisi penyusunan Al-qur’an,

Sepeninggalan Schawally proyek edisi ketiga dilanjutkan oleh Gotthelf Bergstasser di Konigsberg. Bagian ketiga tertunda karena munculnya banyak materi yang penting selanjutnya Bergstasser tanpa diduga meninggal pada tahun 1933. Karyanya dilanjutkan oleh orientalis lain yaitu Otto Pretzl yang menyempurnakanya pada tahun 1938.

Puin yang menyadari gegagalan mereka kemudian berpendapat bahwa sekalipun himpunan lengkap beragam variasi Al-qur’an dapat dicapai namun hal itu tidak akan membuat terobosan baru dalam kajian Al-qur’an. Walapun begitu himpunan ini akan mengngkapkan tahapan-tahapan ortografi Al-qur’an dan tulisan Arab.

Bagaimanapun para orientalis itu terus menggugat kesepakatan para ulama islam sepanjang masa, mereka melacak pemikiran pinggiran untuk menggerogoti ijma yang telah resmi. Ibnu miqsam yang tidak menjadikan autensitas isnad sering dijadikan bemper untuk menyalahkan autensitas mushaf utsamani. Padahal para ulama yang sezaman dengan ibnu miqsam telah menolak pendapat ibnu miqsam, oleh karena itu ibnu miqsam dilarang untuk menyebarkan pemikirannya dan pada akhirnya disebutkan bahwa ibnu miqsam bertobat kemudian mengikuti kesepakatan pada ulama.

Para orientalis juga sering menggunakan ibnu Shanabudh untuk menjustifikasi bahwa bacaan yang berbeda dengan mushaf utsmani diperbolehkan, di isukan juga Abu Bakar al-Baqillani tidak menyetujui rasm utsmani. Justru yang terjadi sebaliknya. Ibnu al-Baqillani berpendapat bahwa seseorang mungkin akan salah menafsirkan perbedaan pada qurra, seolah-olah mereka bebas memilih cara baca apa saja yang mereka inginkan. Bagi al-Baqillani pendapat seperti ini tidak ada dasarnya. Cara baca bisa diterima jika hanya ditransmisikan dengan sanad yang autentik, hal ini adalah ijma ulama.[13]

H.  ORIENTALIS DAN AL-QUR’AN

Diantara obyek kajian yang dilakukan orientalis secara serius adalah studi al-Qur’an. Motif kajiannya tetap sama dengan apa yang telah dibahas diatas. Sisi-sisi al-Qur’an itu dikaji dengan cermat dan dipersoalkan dengan tujuan yang implisit untuk membuktikan ketidak aslian al-Qur’an. Tokoh-tokoh mereka diantaranya adalah Bergtrasser, A. Jeffery, Mingana, Pretzl, Tisdal, Wamsbrough, Puindan banyak lagi lainnya. Namun yang paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini adalah Arthur Jeffery. Mereka itu telah mencurahkan seluruh kehidupan mereka guna menyingkap perubahan teks Al-Qur’an. Di antara karya-karya: 1) A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914; 2) G. Bergtrasser, “Plan eines Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7; 3) O. Pretzl, “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”, Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan 4) A. Jeffery, The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.

Berikut ini dipaparkan beberapa model kajian orientalis terhadap AL-Qur’an :

1. Mengaitkan dengan Teks terdahulu

Dengan pendekatan kesejarahan studi al-Qur’an di Barat dikaitkan dengan kitab suci tradisi Yahudi dan Kristen. J. Wansbrough menganggap al-Qur’an berasal dari Tradisi Yahudi dan Perjanjian Lama. Menurutnya ajaran tentang kemukjizatan Al-Qur’an adalah imitasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, itulah sebabnya mengapa Muslim menganggap “kumpulan ucapan” dalam al-Qur’an sebagai kitab suci yang mutlak kebenaranya. Sedangkan Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari tradisi dan kitab suci Kristen. Richard Bell mengatakan, pengaruh Kristen belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya, surah al-Ikhlas bukan polemik antara Muhammad dan orang Kristen, tetapi dengan orang musyrik yang percaya bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan. Kemudian ketika surah al-Alaq ayat 1 sampai 5 turun pengaruh Kristen juga belum nampak, karena disitu dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Sementara dalam konsep Bibel manusia itu diciptakan dari tanah. Baru kemudian pada surah al-Mu’min 67 dinyatakan bahwa :”Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, sesudah itu segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak..”. Di dalam surah ini pengaruh Kristen baru terbaca.

Selain itu, menurut Bell, pengaruh Bibel terhadap al-Qur’an dapat dilihat dari konsep penolakan penyaliban Yesus. Konsep ini, menurutnya diambil dari satu sekte Kristen di Syiria. Selain itu Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Hal ini merujuk kepada pengalaman orang-orang Kristen bahwa pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, dan sugesti itu terjadi secara alami. Sudah tentu masalah-masalah tersebut muncul karena dalam pandangan mereka hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat dikaji secara saintifik.

Upaya mengkaitkan al-Qur’an dengan tradisi agama mereka diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig. Ia menyatakan, bercermin dari sejarah Kristen, dimana ajaran dan riwayat hidup Yesus dibentuk secara kerygmatis dan dibangun melalui tradisi yang berkembang dalam komunitas para pengikutnya selama 40 tahun, akhirnya muncul Injil Markus, sehingga Yesus historis (historical Jesus) yang sesungguhnya nyaris mustahil untuk diketahui, maka bercermin dari kasus ini boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad SAW [yakni Al-Qur'an dan hadist] melalui proses serupa.

Abraham Geiger (1810-874), seorang intelektual dan pendiri gerakan Yahudi Liberal di Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam esainya yang berjudul “Apa Yang Telah Muhammad Pinjam Dari Yahudi ?”, memaparkan sejumlah indikasi bahwa al-Qur’an merupakan imitasi dari Taurat dan Injil antara lain dari segi kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu. Taabuut, Tauraat, Jahannam, Taaghuut, dan sebagainya. Selain itu, Geiger juga berkeyakinan bahwa muatan al-Qur’an sangat terpengaruh oleh agama Yahudi seperti penjelasan al-Qur’an mengenai: (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, (b) peraturan-peratuan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan.

Mengenai ayat-ayat di dalam al-Quran yang mengecam Yahudi, Geiger berpendapat bahwa kecaman itu disebabkan Muhammad telah menyimpang dan salah mengerti tentang doktrin-doktrin agama Yahudi. Selain itu Theodor Noldeke, seorang pendeta Kristen yang berasal dari Jerman juga menyoroti beberapa hal yang disebutnya sebagai ketidakakuratan Al-Qur’an. Orientalis yang satu ini mengukur kebenaran al-Qur’an dari Bibel. Maka, apa pun yang terkandung di dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan Bibel akan dianggap salah. Seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Nabi Isa. Pendapat Thedodor Noldeke ini, diamini oleh Ricordo dengan tambahan bahwa Muhammad telah salah paham terhadap konsepsi-konsepsi dogmatik dalam Kristen, seperti masalah trinitas, penyaliban Isa, dan lainya.

Arthur Jeffery, orientalis yang pernah mencoba membuat al-Qur’an edisi kritis, berpendapat bahwa kosa kata asing di dalam al-Qur’an mesti diteliti dan dirujuk hingga ke sumber asalnya. Dengan cara demikian, ia berharap bisa memahami sumber-sumber yang mempengaruhi Muhammad saw. dalam mengajarkan risalahnya. Karena menurutnya Muhammad termasuk orang yang haus darah, sehingga kebanyakan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat tidak humanis. Pola pikir ini bermula dari sebuah konsep yang subjektif, yaitu bahwa Muhammad saw. adalah penulis al-Qur’an yang sebenarnya. Dimana ayat-ayat al-Qur’an banyak dihasilkan dari pada apa yang dilihat oleh Muhammad disekitarnya, seperti menyebarkan Islam dengan pedang, hukum rajam, qhisas dan lain-lain.

Antonius Waleus, pendiri dan rektor Semanirium Indicum, (1622-1632), dalam karyanya yang berjudul Opera Omnia, mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang disimpangkan dan penuh dengan pemikiran yang saling bertentangan. Seperti beberapa penggalan ayat yang menerangkan tentang Tuhan, yang digambarkan dengan wujud fisik yang sedang duduk atau berada di atas Kursi. Tidak hanya itu, beberapa kandungan hukum al-Qur’an, banyak bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan. Legitimasi seorang untuk dapat kawin lebih dari satu, menurut mereka bertentangan dengan moral dan  merupakan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Demikian pula hukum pidana dalam al-Qur’an banyak bersifat lokal dan tidak humanis, seperti hukum rajam, qishas dan lain-lain. Ini semua menurut Kenneth Cragg merupakan hasil adopsi dari budaya yang berlaku ketika itu. Lebih pedas lagi ketika dia mengatakan bahwa sebenarnya Muhammad termasuk orang paling kejam dan paling berbahaya yang harus di hancurkan baik orangnya maupun Aqidahnya. Sebab, alasannya, dia yang menyebabkan pertarungan antara saudara dan permusuhan antara sukunya sendiri, seperti pertarungan antara orang Qurais sendiri dan suku-suku lainya. Ajaran agama baru yang dibawanya membiaskan permusuhan antara mereka sendiri.

2.  Mengutamakan Rasm dari Riwayah

Salah satu ciri dari pendekatan saintifik di Barat itu adalah penekanan pada fakta-fakta empiris yang berlebihan sehingga bukti-bukti lain selain yang memiliki fakta fisik (habeas corpus) tidak dapat diterima. Hal ini terbukti dari besarnya perhatian orientalis yang berlebihan dalam mengkaji sejarah kompilasi teks al-Qur’an atau sejarah teks al-Qur’an.[8] Ini nampaknya berdasarkan pengalaman mereka dalam melacak sejarah Bible yang hanya mengandalkan pada tulisan manuscript dalam bentuk papyrus, scroll dan sebagainya.  Manuscript itulah yang berperan dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi penulisan Gospel.

Dengan pendekatan tekstual itu maka orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, mengkaji al-Qur’an dengan berdasarkan sebuah asumsi bahwa Al-Qur’an adalah `dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai `hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking the Qur’an as text) mereka lantas mau menerapkan metode-meode filologis yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Logika tekstual itulah yang mengkibatkan anggapan bahwa al-Qur’an sebagai hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling mereka. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (tanpa mengetahui bagaimana teks aslinya itu) dan karena itu mereka lantas membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.

Sebenarnya, dalam Islam Al-Qur’an bukanlah `tulisan’ (rasm, text atau writing) tetapi merupakan `bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun (pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan `membaca’ al-Qur’an adalah `membaca dari ingatan’ (qara’a `an zhahri qalbin). Tulisan berfungsi sebagai alat penyimpan dan dokumentasi yang dapat berbentuk tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya. Namun semua itu berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qaari/muqri. Maka dari itu prinsip yang terkenal dikalangan para ulama adalah “al-rasm tabi li al-riwayah” (tulisan itu mengikuti riwayat). Bagaimana hafalan itu dapat terjaga dari lupa, para sahabat dan para ulama menggunakan metode isnad yang mutawaatir dari generasi ke generasi. Hafalan seorang alim di cross check dengan ulama yang lain. Dari sini maka keutuhan dan keaslian Al-Qur’an terjaga sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril a.s kepada Nabi SAW dan diteruskan kepada para Sahabat dan ulama hingga hari ini.

 

3. Mempersoalkan Pembentukan Mushaf

Para orientalis pada umumnya tidak percaya pada fakta tentang keberadaan al-Qur’an dalam bentuk lisan dari tradisi hapalan dikalangan orang-orang Arab pada waktu itu. Dengan memberi penekanan pada substansi al-Qur’an sebagai sebuah teks, kalangan orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di masa Muhammad dan di masa khalifah Abu Bakr, namun menerima upaya kompilasi yang dilakukan oleh ‘Utsman. Hanya saja mereka kemudian menduga adanya kemungkinan terjadinya kesalahan dalam teks Al-Qur’an di masa itu. Sebab antara wafatnya Rasulullah dengan distribusi naskah Al-Qur’an ke perbagai wilayah Dunia Islam selisih lima belas tahun. Mereka menganggap dalam rentang waktu tersebut telah terjadi pemalsuan teks aslinya. Padahal, ilmuwan Kitab Injil tidak mempermasalahkan sejarah Bibel, meskipun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi lisan setelah berselang delapan abad lamanya. Sebaliknya naskah bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Meskipun anggapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai sarana pembuktian kepalsuan naskah al-Qur’an dan kemungkinan adanya keragu-raguan, sangat tidak masuk akal.

Kajian-kajian orientalis seakan mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad, dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur’ an karena syahidnya para penghapal Qur’an. Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah dan kemudian memberi tahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka. Lebih jauh lagi, mengapa bahan-¬bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri.  Jika demikian, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan Suhuf itu. Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya adalah palsu. Selain itu mereka juga mempertanyakan jika terdapat satu naskah al-Qur’an milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan. Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr. Jadi, karena Nabi tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis kepada para sahabat, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut boleh saja dilontarkan, manun fakta-fakta bahwa para huffaz yang jumlahnya ribuan memperoleh ilmu pengetahuan Al-Qur’an melalui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini yang, akhirnya, sampai pada Nabi Muhammad. Hingga wafatnya Rasulullah SAW hampir seluruh catatan-catatan awal para sahabat nabi yang merupakan koleksi pribadi dengan perbedaan kualitas dan kuantitasnya telah wujud. Karena untuk keperluan masing-masing, banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka tulis. Namun, sekali lagi rekaman catatan para sahabat itu tidak lebih utama dari hapalan mereka. Itulah sebabnya mengapa setelah susutnya jumlah penghafal Al-Qur’an karena gugur di medan perang, Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a berusaha mengkodifikasikan  (jam’) dengan membentuk sebuah tim pengumpul hingga Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua  qira’at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Untuk membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang tidak hanya mesti membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Uthman. Jadi otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen.  Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara di suatu tempat tertentu. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standard yang masing-masing mengandung qira’at mutawaatirah yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi SAW. Jadi sangat jelaslah fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

 

 

 

4. Mempersoalkan kandungan al-Qur’an

Dari menekankan pada substansi al-Qur’an sebagai teks orientalis kemudian beralih mempersoalkan kandungan teks al-Qur’an. Dengan menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis, W. Montgomery Watt misalnya beranggapan bahwa sumber wahyu al-Qur’an itu ada dua yaitu Tuhan dan nabi Muhammad. Dari anggapan ini ia kemudian menafsirkan bahwa wahyu al-Qur’an itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan bahasanya sendiri dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen). Watt di satu sisi tidak menolak Islam yang fundamental, tetapi disisi lain dia menerapkan pendekatan Historisme yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Watt menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Baginya wahyu turun dari Tuhan hanya dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka dari sini menurutnya dimungkinkan terjadinya kekeliruan dalam al-Qur’an. Contoh kekeliruan yang ia tunjukkan adalah penolakan terhadap penyaliban Yesus dalam al-Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang keliru. Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan dalam Al-Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan Yesus dihilangkan, maka Islam dan Kristen bisa bersatu.

 

Kajian terhadap kandungan al-Qur’an dengan menggunakan framework Barat dilakukan oleh Joseph Schacht dalam karyanya Introduction to Islamic Law. Schacht membagi hukum dalam Islam kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain. Susunan seperti ini berdasarkan tata hukum Romawi dan bukan tata hukum Islamdan tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik bahasan serta pembagiannya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an dengan membagi Quranic Studies menurut empat prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) yaitu: (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory). Tafsir-tafsir seperti ini tidak dipahami oleh para ilmuwan Muslim baik yang berlatar belakang pendidikan Timur mau pun Barat. Barangkali hanya pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama yang mengerti jenis tafsir itu. Mengapa mereka melakukan itu semua, tidak lain adalah untuk membuktikan bahwa isi kandungan al-Qur’an itu bersumber dari Yahudi dan Kristen. Ini dapat diperkuat oleh pandangan Wansbrough, yang menyatakan bahwa “Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan ketokohan Muhammad, dihangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.” Kajian tentang kandungan al-Qur’an selain Joseph Schacht dan Wansbrough dilakukan oleh Noldeke. Ia mengkritik isi sejarah yang tertuang dalam al-Qur’an. Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam al-Qur’an karena “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi. Menurutnya terdapat kecerobohan dalam menyebut nama-nama yang dicuri dari sumber-sumber Yahudi.Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut:

“Bahkan orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih. Dan dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (QS XII: 49).”

Menurut Azami pandangan Noldeke ini sebenarnya juga merupakan kecerobohan. Sebab  menyimpulkan bahwa Fir’aun tidak memiliki seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang terdahulu, adalah naïf. Demikian ketika menyalahkan al-Qur’an dalam soal hubungan kekerabatan Maryam (Ibu Isa al-¬Masih) sebagai “saudara perempuan Harun” bukan Musa.[14] Noldeke salah sebab Maryam atau Elizabeth sebagai “saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan `Imran” (ayah Harun).

Kritikan orientalis mengenai kandungan al-Qur’am telah dibahas dengan baik oleh Muhmammad Khalifa, dalam The Sublime Qur’an and Orientalism. Dalam buku ini Khalifa adalah Konsep  Tuhan dalam al-Qur’an, pengertian Islam, kepercayaan dalam Islam, ritual-ritual dalam Islam, sikap al-Qur’an terhadap agama lain, Konsep moralitas dalam al-Qur’an, masalah Qada-Qadar dan masalah-masalah metafisis seperti ruh, jiwa, kematian, neraka, surga, hari akhir, pembalasan dan lain sebagainya.

5. Menggunakan Metodologi Bibel

Karakteristik orientalis yang lain adalah penerapan metodologi kajian Bibel kedalam kajian al-Qur’an. Metodologi tersebut adalah kritis historis. Tokohnya adalah pendeta Edward Sell (m. 1932), salah seorang misionaris terkemuka di Madras, India. Ia mendesak agar kajian kritis-historis al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan kritik Bibel (biblical criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya dengan menulis Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.Ia juga menjadikan karya Theodore Nöldeke, Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an. Jejak Sell kemudian diikuti oleh Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) yang menyatakan:

Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.

Selain itu Arthur Jeffery (M. 1959), seorang orientalis dari Australia melihat konsep kesucian al-Qur’an sebagaimana konsep kesucian Bibel. Kesucian Bibel bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi oleh karena tindakan komunitas masing-masing agama. Jeffery mengatakan:

Komunitaslah yang menentukan masalah suci dan tidaknya [kitab suci]. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”

Jeffery mencoba menyamakan apa yang terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament). Ini sama dengan komunitas Muslim, dimana penduduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘Abdullah ibn Mas‘ud sebagai al-Qur’an edisi mereka. Penduduk Basra menganggap Mushaf Abu Musa sebagai milik mereka, sedangkan penduduk Damaskus dengan Mushfaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay. Jeffery menyatakan sikap awal kaum Muslimin tersebut paralel sekali dengan sikap masing-masing pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri ragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),teks Netral (Neutral text), teks Barat (Western text),[24] dan teks Kaisarea (Caesarean text). Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri.

Bukan hanya itu, Jeffery juga menghimbau para cendekiawan Muslim untuk melakukan kritik teks kepada al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Jeffery meyatakan:

Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an.”[26]

Dari mencontoh kritik terhadap Bibel (biblical criticism), Jeffery merancang proyek ambisius yaitu mengedit al-Qur’an secara kritis (a critical editon of the Qur’an). Sekalipun proyek Jeffery gagal disebabkan kematian kolega-koleganya dan perang dunia ke-2 yang menghancurkan 40.000 naskah lebih yang telah dihimpun di Munich, usaha untuk mengadopsi metodologi Bibel kepada al-Qur’an, masih terus berlanjut. Pada pertengahan abad ke 20, John Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic Studies yang terbit pada tahun 1977, menggunakan kritik sumber (source criticism) ke dalam studi al-Qur’an. Ia menyatakan: “As a document susceptible of analysis by the instruments and techniques of Biblical criticism it is virtually unknown.”

Berlanjut sehingga kini, orientalis terus-menerus mengaplikasikan metodologi Bibel dalam studi al-Qur’an. Baru-baru ini ketika mereview Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur Entsclüsselung der Koransprache (Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur’an), karya Christoph Luxernberg (nama samaran), Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn menyatakan: “Tidak di dalam sejarah tafsir al-Qur’an karya seperti ini pernah dihasilkan. Karya-karya yang sama hanya dapat ditemukan di dalam bentuk kesarjanaan kritis teks Bibel.” (Not in the history of commentary on the Qur’an has a work like this been produced. Similar works can only be found in the body of text-critical scholarship on the Bible.)

Akibat penerapan biblical criticism dalam studi al-Qur’an, para orientalis  melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’an seperti:  al-Qur’an telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’an disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah karena telah mengkodifikasi al-Qur’an; perlunya mewujudkan al-Qur’an edisi kritis; al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik; al-Qur’an adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’an; tidak ada di dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’an, menyamaratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’an dan lain sebagainya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian diatas jelaslah bahwa pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap sejarah al-Qur’an, proses kompilasinya, status ontologisnya, kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan ilmu pengetahuan Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan tradisi agama Kristen dan Yahudi.

Karena pendekatan ini berbeda dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka hasilnya pun akan berbeda. Ketika mereka menerapkan metodologi Bibel, teks al-Qur’an dianggap sama dengan teks Bibel, padahal keduanya berbeda secara histories maupun secara tekstualnya. Kajian terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedangkan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan, sehingga hal-hal yang bersifat doktriner ditinggalkan. Al-Tabari, misalnya, menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah Nabi. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan! (min shartihi sihhat al-i‘tiqad, wa luzum sunnat al-din, fainna man kana magmusan ‘alayhi fi dinihi, la yu’tamana ‘ala al-dunya, fa kaifa ‘ala al-din!).

Kajian yang hanya mengandalkan akal hanya akan menimbulkan keraguan ketika menemui masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Oleh sebab itu, jika kaum Muslimin membaca karya orientalis mengenai al-Qur’an, mereka perlu bersikap hati-hati dan kritis. Abu Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” Jadi, keimanan dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’an. Ini disebabkan status al-Qur’an  yang berbeda dengan teks-teks yang lain.

Satu hal yang perlu diakui secara jujur adalah bahwa setiap teks memiliki latar belakang sejarahnya sendiri sendiri. Oleh sebab itu, menerapkan metodologi suatu teks kedalam kajian teks yang lain, khususnya al-Qur’an tidaklah tepat. Metodologi yang tidak sesuai untuk mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru bertentangan dengan esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya al-Qur’an telah memiliki metodologi tersendiri. Metodologi kajian al-Qur’an yang diwarisi dari para ulama itu adalah ‘ulum al-Qur’an. Meskipun ada beberapa persamaan antara ‘ulum al-Qur’an dan biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan yang mendasar terutamanya status teks itu sendiri. Jika metodologi Bibel ditrapkan dalam kajian al-Qur’an sudah tentu metode tafsir al-Qur’an juga dapat ditrapkan dalam kajian Bibel. Jika kajian al-Qur’an diterapkan kedalam kajian teks Bible, tentu Bibel menjadi tidak berarti apa-apa. Jadi Biblical criticism hanya tepat diterapkan untuk Bibel dan bukan untuk kajian al-Qur’an.  Sebab Bibel itu adalah hasil karangan beberapa orang penulis yang hidup dalam zaman yang berlain-lainan. Latar belakang penulis yang beragam mewarnai isi Bibel. Oleh sebab itu, textus receptus dan teks standar Bibel memang harus ditolak karena justru menghilangkan keaneka-ragaman yang memang sejak awal sudah terjadi.

Jika teks Bibel bisa disamakan dengan teks-teks lain yang dikarang oleh manusia, maka al-Qur’an tidak demikian, karena ia adalah tanzil yang tidak bisa disamakan dengan teks karangan manusia. Bahkan anggapan sementara orang bahwa al-Qur’an telah tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad telah terbantah oleh firman Allah SWT yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”. Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (Pekanbaru: Amzah, 2002)

Armas,  Adnin, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal , Jakarta Gema Insan, 2004

Abdul Rauf, Hasan dan Ghirah, Abdurrahman, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2007

 Dr. Muhammad ‘umar Hawiyah, “Nuzul Al Qur’an Al karim wa Tarikhuhu wa Maa Yata’alaq bihi”, (Madinah: Majmu’ Malik Fahad lithiba’ati al mushhaf, Tt)

Howard M. Federspiel, ‘Kajian  Al Qur’an di Indonesia’, (Bandung: Mizan, 1996)

http://www.tongkronganislami.net/2012/04/al-quran-dan-orientalisme.html

Jamillah, Maryam. 1997. Islam dan orientalisme. Jakarta:Badan Penerbitan Iain Wali Songo Press

Mummad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali pers, 2002)

Moenawar Chalil, ‘ Kembali kepada Al Qur’an dan As sunnah’, ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991)

Muhammad Ahmad Kholfillah, ‘Al Qur’an wa “ulumuhu wa Al Hadits wa ‘ulumuhu'(Al Muasasah Al’arobiyah lidirasat wa An Nasyr,  1986)

 

 

 

 

 

 

 



[1] Mummad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali pers, 2002), h.19.

[2] Dr. Muhammad ‘umar Hawiyah, “Nuzul Al Qur’an Al karim wa Tarikhuhu wa Maa Yata’alaq bihi”, (Madinah: Majmu’ Malik Fahad lithiba’ati al mushhaf, Tt), h 7.

[3] Moenawar Chalil, ‘ Kembali kepada Al Qur’an dan As sunnah’, ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), h 169.

[4] Howard M. Federspiel, ‘Kajian  Al Qur’an di Indonesia’, (Bandung: Mizan, 1996), h.181.

[5]  Muhammad Ahmad Kholfillah, ‘Al Qur’an wa “ulumuhu wa Al Hadits wa ‘ulumuhu'(Al Muasasah Al’arobiyah lidirasat wa An Nasyr,  1986),h 5.

[6]Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (Pekanbaru: Amzah, 2002), h.29.

[7] Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 3

[8]Maryam Jamillah. 1997. Islam dan orientalisme. Jakarta: Badan Penerbitan Iain Wali Songo Press. Hlm. x

 

[9] Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 4

[10] Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 5

[11] Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 9

[12] Hasan Abdul Rauf, Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2007, Hal. 12

[13] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal , Jakarta Gema Insan, 2004, Hal. 61


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction