PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur`an
adalah kalam Allah sekaligus merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang sampai kepada umat manusia dengan cara mutawattir
dan termaktub dalam mushaf-mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan Nabi
pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis ketauhidan, keimanan, dan
ketaqwaan bagi manusia agar dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, karena
di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang sedemikian luasnya yang apabila
ditelaah dan dipelajari akan memberikan penerangan serta membimbing manusia
menuju jalan yang lurus, jalan petunjuk atau jalan yang diridhai oleh Allah
SWT.
Akan
tetapi, Al-Quran tidaklah seperti kitab ilmiah yang dikenal dalam dunia ilmu
pengetahuan. Misi Al-Qur’an adalah dakwah untuk mengajak manusia menuju jalan
yang terbaik. Allah swt menghendaki agar pesan-pesan-Nya diterima secara utuh
dan menyeluruh, karena ajaran yang ada di dalam Al-Qur’an adalah satu kesatuan
yang terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dan bagi mereka yang tekun
mempelajarinya justru akan menemukan keserasian hubungan (munasabah) yang
mengagumkan, sehingga kesan yang tadinya terlihat sukar untuk dipahami berubah
menjadi kesan yang terangkai indah, mudah dipahami, dan penuh hikmah.
Berdasarkan dari pernyataan di atas
maka penulis tertarik untuk membahas munasabah dalam Al-Qur`an beserta
contoh-contohnya yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang termasuk salah
satu kajian Dirosatul Qur’an
B. Perumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Apa
definisi munasabah secara etimologi dan terminologi ?
2.
Apa dasar-dasar
pemikiran adanya munasabah
3.
bagaimana
langkah – langkah cara untuk mengetahui munasabah?
4.
Ada
berapakah macam-macam munasabah?
5.
Apa manfaat
munasabah dalam menafsirkan Al-Qur’an?
C. Tujuan
Pembuatan Makalah
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui definisi munasabah secara etimologi dan terminologi.
2.
Untuk
mengetahui dasar-dasar pemikiran adanya munasabah.
3.
Untuk
mengetahui langkah – langkah munasabah.
4.
Untuk
mengetahui macam-macam munasabah.
5.
Untuk mengetahui
6.
Untuk
mengetahui manfaat munasabah dalam menafsirkan Al-Qur’an.
D. Metode
Penulisan
Dalam menyusun makalah ini penyusun
menggunakan teknik studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan
keterangan-keterangan dari berbagai referensi (sumber), seperti dari buku-buku
yang ada di perpustakaan dan berbagai sumber lainnya yang relevan dengan materi
yang akan dibahas.
PEMBAHASAN
MUNASABAH Al-QUR’AN
A.
Pengertian
Munasabah
Pengertian munasabah terbagi menjadi dua,
yaitu menurut bahasa (etimologi) dan menurut istilah (terminologi). Pengertian
munasabah secara bahasa (etimologi) yaitu:
1. Al-musyakalah artinya
keserupaan dan al-muqarabah artinya kedekatan (As-Suyuthi);[1]
2. Menurut
Az-Zarkasyi, ia memberi contoh sebagai berikut: “Fulan yunasib fulan”,
berarti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Dari kata
itu lahir pula kata an-nasib berarti kerabat yang mempunyai
hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra paman;[2]
3. Pada
‘illat dalam bab qiyas, munasabah berarti al-wasf al-muqarib lilhukum yang artinya gambaran yang berhubungan dengan hukum;[3]
Adapun pengertian munasabah secara istilah
(terminologi) adalah sebagai berikut:
1. Menurut
Az-Zarkasyi:
اَلْمُنَاسَبَةُ أَمْرٌمعْقُوْلٌ إِذَا
عُرِضَ عَلَى اْلعُقُوْلِ تَلَقَّتْهُ بِالْقَبُوْلِ.
Artinya: "Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami.
Tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan
menerimanya”.
2. Menurut
Manna’ Al-Qaththan[4]:
وَجْهُ اْلإِرْتِبَاطِ بَيْنَ
الْجُمْلَةِ وَ اْلجُمْلَةِ فِى اْلآيةِ
اْلوَاحِدَةِ أَوْ َبيْنَ
اْلآيةِ
وَ
اْلآيةِ فِى اْلآيةِ اْلمُتَعَدِّدَةِ أَوْ بَيْنَ
السُّوْرَةِ وَالسُّوْرَةِ.
Artinya: “
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa umgkapan di dalam satu ayat
atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat (dalam Al-Qur’an)“.
3. Menurut
Ibnu Al-‘Arabi:
اِرْتِبِاطُ أَيِّ
اْلقُرْاَنِ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ حَتَّى تَكُوْنَ كَاْلكَلِمَةِ اْلوَاحِدَةِ
مُتَّسِقَةِ الْمَعَانِيْ مُنْتَظِمَةِ اْلمَبَانِيْ
عِلْمٌ عَظِيْمٌ.
ِِArtinya:
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah
merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”
4.
Menurut Al-Biqa’i:
“Munasabah
adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau
urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.”
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an,
munasabah berarti menjelaskan segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan
kalimat yang lain dalam satu ayat atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam
banyak ayat atau antara satu surat dengan surat yang lain, baik korelasi itu
bersifat umum ataupun khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy),
atau imajinatif (khayali); atau korelasi sebab-akibat, ‘illat dan
ma’lul, perbandingan dan perlawanan.[5]
B.
Dasar-dasar Pemikiran Adanya
Munasabah
Pada dasarnya pengetahuan tentang
munasabah atau hubungannya antara ayat-ayat itu bukan merupakan hal yang tauqifi
(ketetapan Nabi), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir dan tingkat
penghayatannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi
keterangannya yang mandiri. Apabila munasabah atau hubungan itu halus maknanya,
harmonis konteknya, dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu
bahasa Arab, maka hubungan tersebut dapat diterima.[6]
Imam As-Sathibi menjelaskan bahwa pada
satu surat tertentu walaupun mengandung banyak pembahasan, tetapi
pembahasan-pembahasan tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga seseorang hendaknya tidak hanya mengarahkan pandangannya pada awal
surat saja, tetapi memperhatikan pula akhir surat atau sebaiknya. Karena jika
tidak demikian, maka akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.[7]
Mengenai hubungan antar ayat atau surat
dengan ayat atau surat lain (sebelum dan sesudahnya) tidak kalah pentingnya
dibanding dengan mengetahui asbab an-nuzul ayat. Sebab mengetahui adanya
hubungan antar ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita dalam
memahami secara tepat ayat-ayat dan surat-surat yang berhubungan satu sama
lain. Ilmu inilah yang kemudian disebut ilmu munasabah.
Ilmu munasabah ini dapat berperan
mengganti ilmu Asbab an-Nuzul apabila seseorang tidak dapat mengetahui sebab
turunnya suatu ayat, tapi seseorang bisa mengetahui adanya relevansi atau
hubungan ayat itu dengan ayat lainnya, sehingga dikalangan ulama timbul
perdebatan tentang kepentingan diantara kedua ilmuwan ini. Masalahnya terutama
terkait dengan keilmuwan mana yang harus didahulukan, apakah mengetahui sebab
turunnya ayat (asbab an-nuzul) atau mengetahui hubungan antara ayat itu dengan
yang lainnya (munasabah).
Perdebatan lainnnya dalam munasabah ini
terkait dengan masalah kepastian apakah setiap ayat atau surat selalu ada
relevansinya dengan ayat atau surat lain. Sebagian ulama menyatakan selalu ada
relevansinya dengan ayat lain, tetapi yang lainnya mengatakan bahwa hubungan
itu tidak selalu ada. Namun bisa diasumsikan bahwa sebagian besar ayat-ayat dan
surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Masalah lainnya terkait dengan
pendapat bahwa lebih mudah mencari hubungan antar suatu ayat dengan ayat lain
dibanding mencari hubungan antar suatu surat dengan surat lain.[8]
Namun terkadang seorang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dan terkadang
tidak. Ketika seseorang tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan
memaksakan diri. Orang yang menghubung-hubungkan dalam hal demikian, berarti ia
telah memaksakan diri dalam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-hubungkan
kecuali dengan cara yang sangat lemah yang tidak lebih baik. Itu semua
mengingat Al-Qur’an diturunkan dalam waktu lebih dari 20 tahun, mengenai
berbagai hukum dan karena sebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mudah
menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Dalam hal ini Syekh
‘Izzuddin ‘Abd As-Salam, menurut kutipan Az-Zarkasyi (1972: 37) berkata:
اَلْمُنَاسَبَةُ عِلْمٌ حَسَنٌ وَلَكِنْ
يُشْتَرَطُ فِى حُسْنِ ارْتِبَاطِ الْكَلاَمِ أَنْ يَقَعَ فِى أَمْرٍ مُتَّحِدٍ مُرْتَبِطٍ
أَوَّلُهُ بِآخِرِهِ فَإِنَّ عَلىَ أَسْبَابٍ مُخْتَلِفَةٍ لَمْ يُشْتَرَطْ فِيْهِ
اِرْتِبَاطُ أَحَدِهِمَا بِاْلآخَرِ.
Artinya:
“Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan
antar kata-kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal yang awal dengan
akhirnya memang bersatu dan berkaitan, sedang dalam hal yang mempunyai beberapa
sebab yang berlainan tidak disyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan
yang lain.”
C.
Cara
Mengetahui Munasabah
Untuk meneliti keserasian susunan ayat
atau surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang
mendalam. As-Syuyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan
untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1. harus
diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian;
2. memperhatikan
uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang di bahas dalam surat;
3. menentukan
tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak; dan
4. dalam
mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya
dengan benar dan tidak berlebihan.[9]
D.
Macam-macam Munasabah
Prof.
DR. Rosihon Anwar dalam bukunya mengemukakan bahwa menurut As-Suyuthi munasabah
dalam al-qur’an terbagi menjadi delapan bagian, yaitu:
1.
Munasabah antar surat dengan surat
sebelumnya[10]
As-Suyuthi
menyimpulkan bahwa munasabah antar surat dengan surat sebelumnya berfungsi
“menerangkan” atau “menyempurnakan” ungkapan sebelumnya. Contohnya, dalam surat
Al-Fatihah ayat 1 terdapat ungkapan
الحمدلله
yang berkorelasi dengan surat Al-Baqarah
ayat 152 dan 186:
ÇÊÎËÈ
Èbrãàÿõ3s? wur Í<(#rãà6ô©$#ur Nä.öä.ør&
þÎTrãä.ø$$sù
Artinya:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[11]
dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”.(Q.S.
al-Baqarah: 152)
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ)
Èb$tãy ( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku,
Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran.(Q.S.
Al-Baqarah:186)
Ungkapan
“rabb al-‘alamiin” dalam surat Al-Fatihah berkorelasi dengan surat
Al-Baqarah ayat 21-22:
$pkr'¯»t â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇËÊÈ Ï%©!$# @yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( xsù (#qè=yèøgrB ¬! #Y#yRr& öNçFRr&ur cqßJn=÷ès? ÇËËÈ
Artinya:“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[12],
padahal kamu Mengetahui”. (Q.S.
Al-Baqarah:21-22)
Dalam urat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan “Dzalik Al-Kitab la
raiba fih”. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-‘Imran ayat 3:
tA¨tR øn=tã |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷yt tAtRr&ur
sp1uöqG9$# @ÅgUM}$#ur ÇÌÈ
Artinya: “Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya;
membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil”.(Q.S. al-‘Imran ayat 3)
Demikian
pula, apa yang surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu ungkapan “ Wa ma unzila min qablik”, dirinci
lebih jauh oleh surat Al-‘Imran ayat 3.
Berkaitan
dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr abu
Zaid. Ia menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-fatihah dengan surat
Al-Baqarah merupakan hubungan setilistika-kebahasaan. Sementara
hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan
kandungan. Hubungan setilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan bahwa
surat Al-Fatihah diakhiri dengan do’a:
$tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã
Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
Artinya: “Tunjukilah[13]
kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat[14].
(Al-Fatihah:6-7)
Do’a ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif,
Lam, Mim. Dzalika Al-kitabu La Raiba fihi Hudan li Al-Muttaqin. Atas
dasar ini, kita dapat menyimpulkan bahwa teks tersebut berkesinambungan:
“seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang
lurus, dikatakanlah kepada mereka: petunjuk yang lurus yang engkau minta itu
adalah Al-Kitabin.”
Jika kaitan antara surat Al-Fatihah dan surat Al-Baqarah merupakan
kaitan setilistika, hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Al-‘Imran
lebih mirip dengan hubungan antara “dalil” dengan “keraguan-keraguan akan dalil”.
Maksudnya, surat Al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai
hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah, sementara surat Al-‘Imran
“sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”.
Kaitan antara surat Al-Baqarah dan surat Al-‘Imran merupakan kaitan
yang didasarkan pada semacam ta’wil (interpretasi) yang membatasi
kandungan surat Al-‘Imran pada ayat ke 7 saja.[15]
2.
Munasabah antar
nama surat dan tujuan turunnya[16]
Setiap surat mempunyai tema dan
pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing,
seperti surat Al-Baqarah, surat Yusuf, surat An- Naml, dan surat Al-Jin.[17]
Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah ayat 67-71:
øÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù't br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏGs?r& #Yrâèd ( tA$s% èqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ (#qä9$s% äí÷$# $uZs9 y7/u ûÎiüt7ã $uZ©9 $tB }Ïd 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ w ÖÚÍ$sù wur íõ3Î/ 8b#uqtã ú÷üt/ y7Ï9ºs ( (#qè=yèøù$$sù $tB crãtB÷sè? ÇÏÑÈ (#qä9$s% äí÷$# $oYs9 /u ûÎiüt6ã $oY©9 $tB $ygçRöqs9 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ âä!#tøÿ|¹ ÓìÏ%$sù $ygçRöq©9 Ý¡s? úïÌÏ໨Z9$# ÇÏÒÈ (#qä9$s% äí÷$# $uZs9 y7/u ûÎiüt7ã $uZ©9 $tB }Ïd ¨bÎ) ts)t6ø9$# tmt7»t±s? $uZøn=tã !$¯RÎ)ur bÎ) uä!$x© ª!$# tbrßtGôgßJs9 ÇÐÉÈ tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ w ×Aqä9s çÏVè? uÚöF{$# wur Å+ó¡s? y^öptø:$# ×pyJ¯=|¡ãB w spuÏ© $ygÏù 4 (#qä9$s% z`»t«ø9$# |M÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ 4 $ydqçtr2xsù $tBur (#rß%x. cqè=yèøÿt ÇÐÊÈ
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata:
"Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"[18]
Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil".(67)
Mereka
menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan
kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu". (68)
Mereka
berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan
kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua
warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."(69)
Mereka
berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu
(masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."(70)
Musa
berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk
mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu.[19](71) (Q.S
Al-Baqarah:67-71)
Cerita
tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti
pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan
perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan
kepada hari kemudian.
3. Munasabah antar
bagian suatu ayat[20]
Munasabah
ayat yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan yang lain. Munasabah ini
berbentuk persambungan-persambungan sebagai berikut:
1)
Munasabah antara
ayat 103 surat Ali Imran dengan ayat 102 surat Ali Imran:
“Dan
berpeganglah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai. . .”
Kegunaan
dari munasabah dengan ‘athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut
sebagai dua hal yang sama. Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa, dan ayat
103 surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang
sama, karena berpegang teguh kepada Allah merupakan bagian dari pada taqwa.
2)
Tidak
di’athafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara
ayat 10 dan 11 pada surat Ali Imran:
¨bÎ) úïÏ%©!$#
(#rãxÿx.
`s9
_Í_øóè?
óOßg÷Ytã
óOßgä9ºuqøBr&
Iwur
Oèdß»s9÷rr&
z`ÏiB
«!$#
$\«øx©
( y7Í´¯»s9'ré&ur
öNèd
ßqè%ur
Í$¨Y9$#
ÇÊÉÈ
É>ù&y2
ÉA#uä öNÍkÍ5qçRäÎ/
3 ª!$#ur
ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
ÇÊÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan
anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan
mereka itu adalah bahan bakar api neraka.
(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan
orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; Karena itu
Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat keras
siksa-Nya. (Q.S. Al-‘Imran: 10-11)
Dalam
munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat 11 dan 10 surat Ali Imran,
sehingga ayat 11 surat Ali Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari
ayat 10 surat Ali Imran.
3)
Digabungkannya dua
hal yang sama, seperti persambungan ayat 5 dan 4 surat al-Anfal:
y7Í´¯»s9'ré&
ãNèd
tbqãZÏB÷sßJø9$#
$y)ym
4
öNçl°;
ìM»y_uy
yYÏã
óOÎgÎn/u
×otÏÿøótBur
×-øÍur
ÒOÌ2
ÇÍÈ
!$yJx.
y7y_t÷zr&
y7/u
.`ÏB
y7ÏG÷t/
Èd,ysø9$$Î/
¨bÎ)ur
$Z)Ìsù
z`ÏiB
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
tbqèdÌ»s3s9
ÇÎÈ
Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.
Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran[21],
padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak
menyukainya”.
Kedua
ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5 menerangkan kebenaran
bahwa Nabi diperintahkan hijrah, dan ayat 4 tersebut menerangkan kebenaran
status mereka sebagai kaum mu’minin.
4)
Dikumpulkannya dua
hal yang kontradiksi. Seperti dikumpulkannya ayat 95 dan 94 surat al-A’raf:
!$tBur
$uZù=yör&
Îû
7ptös%
`ÏiB
@cÓÉ<¯R
HwÎ)
!$tRõs{r&
$ygn=÷dr&
Ïä!$yù't7ø9$$Î/
Ïä!#§Ø9$#ur
óOßg¯=yès9
tbqãã§Øo
ÇÒÍÈ
§NèO
$uZø9£t/
tb%s3tB
Ïpy¥Íh¡¡9$#
spoY|¡ptø:$#
4Ó®Lym
(#qxÿtã
(#qä9$s%¨r
ôs%
¡§tB
$tRuä!$t/#uä
âä!#§Ø9$#
âä!#§£9$#ur
Mßg»tRõs{r'sù
ZptGøót/
öNèdur
w
tbráãèô±o
ÇÒÎÈ
Artinya: “Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada
sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami
timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk
dengan merendahkan diri.
Kemudian kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga
keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata:
"Sesungguhnya nenek moyang kamipun Telah merasai penderitaan dan
kesenangan", Maka kami timpakan siksaan atas mereka dengan
sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya. (Q.S. Al-A’raf: 94-95)
Ayat
94 surat al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan
kepada penduduk. Tetapi ayat 95 menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu
diganti dengan kesenangan.
5)
Dipindahkannya
satu pembicaraan, seperti terdapat dalam surat Shaad ayat 55 dan 54:
¨bÎ)
#x»yd
$oYè%øÌs9
$tB
¼çms9
`ÏB
>$xÿ¯R
ÇÎÍÈ
#x»yd
4
cÎ)ur
tûüÉó»©Ü=Ï9
§|³s9
5>$t«tB
ÇÎÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezki dari Kami
yang tiada habis-habisnya. Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi
orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk”.(Q.S.
Shaad:54-55)
Dialihkannya
pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali
ketempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 yaitu membicarakan rizki
dan para ahli sorga.
4.
Munasabah
antar ayat yang letaknya berdampingan[22]
Munasabah
antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas. Munasabah
antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid
(penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid
(penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila
salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang
terletak di sampingnya. Contoh firman Allah:
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÊÈ ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
Artinya: “Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji[23]
bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-Fatihah:1-2)
Ungkapan “rabb al-‘alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “ar-rahman” dan “ar-rahim”
pada ayat pertama.
Munasabah antar ayat menggunakan
pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya
oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman Allah SWT:
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
Artinya:”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib,[24]
yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezk yang kami anugerahkan
kepada mereka.” (Q.S. Al-Baqarah: 2-3)
Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat
ketiga. Dengan demikian, orang yang bertaqwa ialah orang yang mengimani hal-hal
yang ghaib, menunaikan sholat, dan seterusnya.
Munasabah antar ayat menggunakan pola i’tiradh apabila
terletak satu kalimat lebih dan tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur
kalimat), baik dipertengahan kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan
maknanya. Contoh firman Allah pada surat An-Nahl ayat 57:
tbqè=yèøgsur ¬! ÏM»oYt7ø9$# ¼çmoY»ysö7ß Nßgs9ur $¨B cqåktJô±t ÇÎÐÈ
Artinya:
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan.[25]
Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka
sukai (yaitu anak-anak laki-laki). (Q.S. An-Nahl:57)
Kata “subhanahu” pada ayat di atas merupakan
bentuk I’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan
dari klaim orang-oang kafir yang menetapkan anak-anak perempuan bagi Allah.
Adapun munasabah antar ayat menggunakan pola tasydid apabila sau ayat atau
bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Contohnya firman
Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
$tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)
Ungkapan “As-shirath Al-mustaqim” pada ayat 6 dipertegas
oleh ungkapan “shirathallidzina…”. Antara ungkapan yang saling
memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang
pula tidak diperkuat olehnya (tidak langsung).
Munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara’in
ma’nawiyyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah, yaitu At-tanzir
(perbandingan), Al-mutadhadat (perlawanan), isthidrat (penjelasan
lebih lanjut), dan At-takhallush (perpindahan).
Munasabah yang berpolakan At-tanzir terlihat pada adanya
perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan. Contoh firman Allah dalam
surat Al-Anfal ayat:4-5:
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uy yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOÌ2 ÇÍÈ !$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/ ¨bÎ)ur $Z)Ìsù z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# tbqèdÌ»s3s9 ÇÎÈ
Artinya:
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki
(nikmat) yang mulia.” (Q.S. Al-Anfal: 4-5)
Pada ayat kelima, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar terus
melaksanakan perintah-Nya meskipyn para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara
pada ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk
berperang. Munasabah antara kedua ayat tersebut di atas terletak pada
perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang
dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal, sudah jelas
dalam kedua perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan
kejayaan Islam.
Munasabah yang berpolakan Al-mudhadat terlihat pada adanya
perlawanan makna antara satu ayat makna yang lain yang berdampingan. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 6 misalnya, terdapat ungkapan:
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? w tbqãZÏB÷sã ÇÏÈ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama
saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka
tidak juga akan beriman.” (Q.S. Al-Baqarah:6)
Ayat ini berbicara tentang wataq oarng-orang kafir dan sikap mereka
terhadap peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang wataq
orang-orang mukmin.
Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelaan
lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya, dalam surat Al-A’raf ayat 26:
ûÓÍ_t6»t tPy#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqã öNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)G9$# y7Ï9ºs ×öyz 4 Ï9ºs ô`ÏB ÏM»t#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbrã©.¤t ÇËÏÈ
Artinya: “Hai anak Adam[530], Sesungguhnya kami Telah menurunkan
kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan
Pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raf:
26)
Menurut Az-Zamakhsyari, ayat ini
dating setelah npembicaraan tentang terbukanya aurta adam dan hawa dan
kemutupnya dengna daun-daun. Hubungan ini dimaksudkan untuk memnunjukkan bahwa
penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia dari Allah, sementara
telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina dan menutupnya
merupakan bagian besar dari taqwa.
Selanjutnya, pola munasabah takhallus
terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara
halus. Misalnya, dalam surat Al-A’raf,
mula-mula Allah berbicara tentang para sahabat nabi dan umt terdahul,
kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang selanjutnya berkisah
tentang Nabi Muhammad dan ummatnya.[26]
5.
Munasabah antar kelompok ayat dan
kelompok ayat di sampingnya[27]
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 1-20 misalnya, Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran
dan fungsi Al-Qur’an bagi oarng-orang
yang bertaqwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok
manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6.
Munasabah Antar Fashilah (pemisah)
dan Isi Ayat[28]
Macam munasabah
ini mengndung tujuan-tujuan tertentu. Diantaranya adalaah untuk menguatkan
(tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnya, dalam surat Al-Ahzab
ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:
¨uur ª!$# tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. öNÎgÏàøtóÎ/ óOs9 (#qä9$uZt #Zöyz 4 s"x.ur ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# tA$tFÉ)ø9$# 4 c%x.ur ª!$# $Èqs% #YÍtã ÇËÎÈ
Artinya: “Dan Allah menghalau
orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka
tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin
dari peperangan.[29]
dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Ahzab:25)
Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan; bukan karena lemah, melainkan karena Allah Maha Kuat dan Maha
Perkasa. Jadi, adanya fashilah diantara kedua penggalan ayat di atas
dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna.
Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi penjelasan tambahan, yang meskipun
tanpa fashilah, sebenarnya makna ayat sudah jelas. Misalnya dalam surat An-Naml
ayat 80:
y7¨RÎ) w ßìÏJó¡è@ 4tAöqyJø9$# wur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sÎ) (#öq©9ur tûïÌÎ/ôãB ÇÑÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang
yang mati mendengar dan (Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar
panggilan, apabila mereka Telah berpaling membelakang.” (Q.S.
Al-An-Naml:80)
Kalimat ”idza walau mudbirin” merupakan
penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.
7.
Munasabah Antar Awal Surat dengan
Akhir Surat yang Sama[30]
Tentang munasabah semacam ini,
As-Suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid Al-Mathali fi
Tanasub Al-Maqatti’ wa Al-Mathali. contoh munasabah ini terdapat dalam
surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan
dengan kekejaman Fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa
berhasil keluar dari mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah
menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari
kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat
dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini
terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8.
Munasabah Antar Penutup Suatu Surat
dengan Awal Surat Berikutnya[31]
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan kita jumpai
munasabah dengan akhir surat sebellumnya, sekalipun tidak mudah untuk
mencarinya. Misalnya, pada permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasybih:
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ
Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi
bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Hadid)
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelimnya, yaitu surat
Al-Waqi’ah ayat 96 yang memerintahkan bertasbih:
ôxÎm7|¡sù ËLô$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ
Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang
Maha besar.” (Q.S. Al-Waqi’ah: 96)
Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah sebagai berikut:
$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Artinya: “Alif laam miin.[32]
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 1-2)
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah:
xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
Artinya: “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 7)
E. Pandangan Para Ahli Terhadap Ilmu Munasabah
Tokoh yang disebut-sebut sebagai orang pertama
yang mempelopori keberadaan ilmu munasabah ialah Abu Bakr an-Naysaburi
(w. 324 H), seorang alim berkebangsaan Irak yang sangat ahli dalam ilmu syariah
(faqih) dan kesustraan Arab (adab). Dalam berbagai kesempatan
perbincangan ayat Al-Qur’an, Abu Bakr an-Naysaburi konon selalu mempertanyakan
perihal segi hubungan antara bagian demi bagian dan antara ayat demi ayat
Al-Qur’an, serta selalu mempertanyakan apa hikmah yang terjadi di balik
rangkaian ayat yang seperti ini.[33]
Tokoh lain yang disebut-sebut turut berjasa
bagi pengembangan ilmu munasabah ialah al-Imam Fakhruddin ar-Razi (w.
606 H), pengarang kitab Mafatihul-Ghaib Fi-Tafsiril Qur’an (Kunci-Kunci
kegaiban dalam menafsirkan Al-Qur’an); Al-Qadhi Abu Bakr Ibn al-‘Arabi (468-543
H) yang antara lain menulis kitab Sirajul –Muridin wa-sirajul-muhtadin (Lentera
orang-orang yang berkehendak dan Lentera orang-orang yang mencari petunjuk).
Yang disebutkan pertama, ar-Razi menyatakan bahwa kebanyakan perbendaharaan
Al-Qur’an justru terletak pada rangkaian tata urutan dan pertaliannya.
Sedangkan Ibnul Arabi melukiskan hubungan pertalian ayat-ayat Al-Qur’an antara
yang sebagian dengn sebagian lainnya laksana satu kalimat yang sangat teratur
maknanya dan tersusun (rapi) penjelasannya.
Sebagian ulama ada yang menyusun kitab khusus
tentang ilmu munasabah ini. Di antara mereka ialah: Abu ja’far Ahmad bin
Ibrahim bin az-Zubair (w.807 H) yang mengarang kitab al-Burhan fi-Munasabati
Tartibi Suwaril-Qur’an (Bukti kebenaran tentang Korelasi Tertib Surat-surat
Al-Qur’an) dan yang kini paling populer adalah kitab Nazhmud-Durar Fi-Tanasubil
Ayi was-Suwar (Rangkaian Mutiara Hubungan Ayat-ayat dan Surat-surat Al-Qur’an)
buah pena al-Ustadz Burhanuddin al-Biqa’i.
Sungguhpun ilmu munasabah itu tergolong ke
dalam ilmu yang baik dan keberadaannya dianggap signifikan oleh para ahli
ilmu-ilmu Al-Qur’an, tidak berarti semua ulama setuju untuk menempatkan ilmu
ini sebagai syarat mutlak dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Izzuddin bin
Abdus-salam (577-660 H), misalnya, memang mengakui keberadaan al-munasabah sebagai
ilmu yang bagus (ilmu hasan), tetapi pada saat bersamaan ia juga
mengingatkan agar penggunaannya dibatasi dalam hal yang objek (pembicaraannya)
benar-benar memiliki keterkaitan sejak awal hingga akhir. Izzuddin, manna’
al-Qaththan dan Shubhi as-Shalih merupakan ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an masa
klasik, tidak menyetujui pemaksaan ilmu munasabah untuk seluruh ayat-ayat
Al-Qur’an. Alasannya, karena selain ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan dalam
rangka menjawab berbagai pertanyaan dan kasus yang berbeda-beda, juga terutama
disebabkan pewahyuan Al-Qur’an itu sendiri yang memakan waktu cukup lama.
Berbeda dengan ulama yang lainnya menyatakan bahwa al-munasabah tergolong
ke dalam hal yang bersifat rasional, dan akan terjangkau oleh akal manakala
diserahi tugas (minat) untuk itu.
F.
Urgensi Mempelajari
Munasabah
Sebagaimana Asbab An-Nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami
Al-Qur’an. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun
permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, namun
semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnyasaling
berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat, semestinyalah
ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan segala
permasalahannya.” [34]
Di samping itu, para ‘Ulama telah sepakat
bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung
bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, bahwasanya memiliki ayat
yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab
an-nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat yang lain sudah bias
mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika
tidak ditemukan asbab an-nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan
munasabahnya.
Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari munasabah dapat di jelaskan
sebagai berikut:[35]
1. Dapat mengembangkan bagian
anggapan orang bahwa teme-tema Al-Qur’an kehilangan relevansinya antara satu
bagian dengan bagian lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 189:
tRqè=t«ó¡o
Ç`tã
Ï'©#ÏdF{$#
(
ö@è%
}Ïd
àMÏ%ºuqtB
Ĩ$¨Y=Ï9
Ædkysø9$#ur
3
}§øs9ur
É9ø9$#
br'Î/
(#qè?ù's?
Vqãç6ø9$#
`ÏB
$ydÍqßgàß
£`Å3»s9ur
§É9ø9$#
Ç`tB
4s+¨?$#
3
(#qè?ù&ur
Vqãç7ø9$#
ô`ÏB
$ygÎ/ºuqö/r&
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
öNà6¯=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÊÑÒÈ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 189)
Orang-orang yang membaca ayat
tersebut tentu akan bertanya-tanya: “Apakah korelasi antara dengan pembicaraan
mendatangi rumah?”. Dalam menjelaskan muuunasabah antara kedua pembicaraan itu,
Az-Zarkasyi menjelaskan: “Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai
hikmah yang jelas dan mempunyai kemashlahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka
tinggalkanlah pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikan sesuatu yang engkau
anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.”[36]
2.
Dapat mengetahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an
dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian
ayat atau surat yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam
pengetahuan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan
terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu benar-benar wahyu
dari Allah SWT dan bukan buatan Nabi
Muhammad SAW. Karena itu, imam
Ar-Razi mengatakan bahwa kebanyakan keindahan-keindahan Al-Qur’an itu terletak
pada susunan dan persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling baligh
(bersastra) adalah yang sering berhubungan antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya; dan
3.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an jika tidak
ditemukan asbabunnuzulnya. Sehingga sangat mempermudah dalam peng-istinbat-an
hukum-hukum atau isi kandungannya.
KESIMPULAN
A.
Pengertian
Munasabah
1.
Secara Bahasa (etimologi):
Al-Musyakalah (Keserupaan) dan Al-Muqarabah (kedekatan).
2.
Secara Istilah (terminologi):
a.
Menurut
Az-Zarkasyi: “Munasabah adalah suatu ilmu yang dapat difahami. Tatkala
dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan menerimanya.”
b.
Menurut Manna’
Al-Qaththan: “Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam
satu ayat atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat (di dalam
Al-Qur’an).”
c.
Menurut Ibnu
Al-‘arabi: Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga
seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan
keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”
d.
Menurut Al-Biqa’i:
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahuia alas an-alasan dibalik
susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat-dengan ayat atau surat
dengan surat.”
B.
Dasar Pemikiran
Adanya Munasabah
Para
ulama menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai munasabah bukanlah hal yang
bersifat tauqifi atau ketetapan Rasul, melainkan ijtihad mufassir dan tingkat
penghayatannya terhadap kemukjikzatan Al-Qur’an, rahasia, retorika, dan segi
keterangannya yang mandiri. Terkadang seorang mufasir pun tidak menemukan
keterkaitan suatu ayat, dan tidak diperkenankan memaksakan diri. Orang yang
memaksa mengai-ngaitkan hanya dengan ikatan yang lemah berarti mengada-ngadakan
apa yang tidak dikuasainya.
C.
Langkah –langkah Cara
Mengetahui Munasabah
1. Harus
memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian;
2. Memperhatikan
uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan
tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4. Dalam
mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya
dengan benar dan tidak berlebihan.
D.
Macam-macam
Munasabah
1.
Macam-macam
Munasabah dari Segi Materi:
a.
Munasabah antar
surat dengan surat sebelumnya;
b. Munasabah
antar nama surat dan tujuan turunnya;
c.
Munasabah antar
bagian suatu ayat;
d. Munasabah
antar ayat yang letaknya berdampingan;
e.
Munasabah antar
suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya;
f.
Munasabah antar
fashilah (pemisah) dan isi ayat;
g. Munasabah
antar awal surat dengan akhir surat yang sama; dan
h.
Munasabah antar
penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
E.
Urgensi dan
kegunaan Mempelajari Munasabah
1. Dapat
mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema
Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya;
2. Mengetahui
persambungan atau hubungan antara bagian AL-Qur’an baik antara kalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surat-surat yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya;
3. Dapat
diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau
surat yang satu dari yang lain; dan
4. Dapat
membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu
kalimat atau ayat dengan kalimat atau surat, sehingga mempermudah dalam
pengistinbatan kandungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan
Manna Khalil, 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Anwar
Rosihon, 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia
, 2007. Ulumul Qur’an.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Chaeruji
Ahmad, 2007. Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Diadit Media.
Kamal, A. Mustofa, 2009.
Ulum Al-Qur’an. Bandung: Insan Mandir
Setiawa Wawan, 2006. Ulumul
Qur’an. Bandung: Seven Billah.
[1] Jalaluddin As-Syuyuthi, al-itqan
fi’ ulum al-qur’an, Dar Al-Fikr Beirut, t.t.jilid I, hlm, 108.
[2] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an,
pustaka setia bandung, hlm, 82.
[3] Badr Ad-Din Muhammad Bin ‘abdillah
Az-zarkasy, Al-Burhan fi “Ulum al-Qur’an, jilid I, hlm, 35.
[4]
Manna ‘ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-Ashar
Al-Hadits, hlm 97.
[5] Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki
Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemah Rosihon Anwar, Pustaka Setia,
1999, hlm, 305.
[6] Manna’ Al-Qaththan, Op.Cit.,
hlm, 138.
[7] As-Suyuthi, Op Cit.
[8]
A. Chaeruji Abd. Chalik,
Ulumul Qur’an, Diadit Media, Jakarta, 2007, hlm.110-111
[9] As-Suyuthi, Al-Itqan…, hlm, 110.
[10]
Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 84.
[11] Maksudnya: Aku
limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.
[12] ialah
segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti
berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.
[13] Ihdina
(tunjukilah kami), dari kata hidayat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang
benar. yang dimaksud dengan ayat Ini
bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[14] yang
dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan
yang menyimpang dari ajaran Islam.
[15]
Nasr Hamid abu
Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Mizan, 2001, hlm. 218-219.
[16] Rosihon Anwar,
Op. Cit., hlm. 87.
[17] Muhammad ‘Abd
Al-‘Azhim, Manhil Al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t.,
jilid 1, hlm 351.
[18] Hikmah Allah menyuruh menyembelih
sapi yaitu supaya hilang rasa penghirmatan mereka
terhadap sapi yang pernah mereka sembah.
[19] Karena sapi yang menurut syarat
yang disebutkan itu sukar diperoleh hampirmereka tidak dapat menemukannya.
[20]
Rosihon Anwar, op.
Cit., hlm. 88.
[21] Maksudnya: menurut Al Maraghi: Allah mengatur pembagian harta
rampasan perang dengan kebenaran, sebagaimana Allah menyuruhnya pergi dari
rumah (di Madinah) untuk berperang ke Badar dengan kebenaran pula. menurut
Ath-Thabari: keluar dari rumah dengan maksud berperang.
[22] Rosihon Anwar,
op. Cit., hlm. 89.
[23] Alhamdu (segala puji), maksudnya: memuji orang adalah Karena
perbuatannya yang baik yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berarti
menyanjung-Nya Karena
perbuatannya yang baik. Lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui
keutamaan
seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala
puji bagi Allah ialah
karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[24] yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya
kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak
dapat ditangkap oleh pancaindera, Karena ada dalil yang menunjukkan kepada
adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
[25] mereka
mengatakan bahwa Allah mempunyai anak perempuan yaitu malaikat-malaikat Karena
mereka sangat benci kepada anak-anak perempuan sebagaimana tersebut dalam ayat
berikutnya.
[26] As-syuyuthi, Al-Itqan…, hlm. 109
[27]
Rosihon Anwar, op.
Cit., hlm. 92.
[28] Rosihon Anwar,
op. Cit., hlm. 93.
[29] maksudnya orang mukmin tidak perlu berperang, Karena Allah Telah
menghalau mereka dengan mengirimkan angin dan malaikat.
[30] Rosihon Anwar,
Pengantar ‘Ulumul Qur’an, Pustaka Setia: Bandung, 2009. Hlm. 145.
[31] Rosihon Anwar,
op. Cit., hlm. 93.
[32] Diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan
pengertiannya kepada Allah Karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat,
dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang
memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa
huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para Pendengar supaya
memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu
diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad.
[33]
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an
(Jakarta:Rajawali Pers,2013) hal :253
[34] ‘Abdullah
Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar Al-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.
[35] Manna
Al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 97. Abu Djalal, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu,
Surabaya, 2000, hlm. 164-165.
[36] Az-Zarkasyi, Op.
Cit., hlm. 41.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO