Minggu, 29 Januari 2023 | By: namakuameliya

s munasabah dalam Al-Qur`an beserta contoh-contohnya yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang termasuk salah satu kajian Dirosatul Qur’an

 

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Al-Qur`an adalah kalam Allah sekaligus merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang sampai kepada umat manusia dengan cara mutawattir dan termaktub dalam mushaf-mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis ketauhidan, keimanan, dan ketaqwaan bagi manusia agar dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, karena di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang sedemikian luasnya yang apabila ditelaah dan dipelajari akan memberikan penerangan serta membimbing manusia menuju jalan yang lurus, jalan petunjuk atau jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
         Akan tetapi, Al-Quran tidaklah seperti kitab ilmiah yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Misi Al-Qur’an adalah dakwah untuk mengajak manusia menuju jalan yang terbaik. Allah swt menghendaki agar pesan-pesan-Nya diterima secara utuh dan menyeluruh, karena ajaran yang ada di dalam Al-Qur’an adalah satu kesatuan yang terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dan bagi mereka yang tekun mempelajarinya justru akan menemukan keserasian hubungan (munasabah) yang mengagumkan, sehingga kesan yang tadinya terlihat sukar untuk dipahami berubah menjadi kesan yang terangkai indah, mudah dipahami, dan penuh hikmah.

Berdasarkan dari pernyataan di atas maka penulis tertarik untuk membahas munasabah dalam Al-Qur`an beserta contoh-contohnya yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang termasuk salah satu kajian Dirosatul Qur’an

B.      Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan di bahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:

1.     Apa definisi munasabah secara etimologi dan terminologi ?

2.     Apa dasar-dasar pemikiran adanya munasabah

3.     bagaimana langkah – langkah cara untuk mengetahui munasabah?

4.     Ada berapakah macam-macam munasabah?

5.     Apa manfaat munasabah dalam menafsirkan Al-Qur’an?

C.      Tujuan Pembuatan Makalah

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.     Untuk mengetahui definisi munasabah secara etimologi dan terminologi.

2.     Untuk mengetahui dasar-dasar pemikiran adanya munasabah.

3.     Untuk mengetahui langkah – langkah munasabah.

4.     Untuk mengetahui macam-macam munasabah.

5.     Untuk mengetahui

6.     Untuk mengetahui manfaat munasabah dalam menafsirkan Al-Qur’an.

D.      Metode Penulisan

Dalam menyusun makalah ini penyusun menggunakan teknik studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan keterangan-keterangan dari berbagai referensi (sumber), seperti dari buku-buku yang ada di perpustakaan dan berbagai sumber lainnya yang relevan dengan materi yang akan dibahas.

 

 


PEMBAHASAN

MUNASABAH Al-QUR’AN

 

A.      Pengertian Munasabah

Pengertian munasabah terbagi menjadi dua, yaitu menurut bahasa (etimologi) dan menurut istilah (terminologi). Pengertian munasabah secara bahasa (etimologi) yaitu:

1.   Al-musyakalah artinya keserupaan dan al-muqarabah artinya kedekatan (As-Suyuthi);[1]

2.   Menurut Az-Zarkasyi, ia memberi contoh sebagai berikut: “Fulan yunasib fulan”, berarti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Dari kata itu lahir pula kata an-nasib berarti kerabat yang mempunyai hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra paman;[2]

3.   Pada ‘illat dalam bab qiyas, munasabah berarti al-wasf al-muqarib lilhukum  yang artinya gambaran yang berhubungan dengan hukum;[3]

Adapun pengertian munasabah secara istilah (terminologi) adalah sebagai berikut:

1.   Menurut Az-Zarkasyi:

اَلْمُنَاسَبَةُ أَمْرٌمعْقُوْلٌ إِذَا عُرِضَ عَلَى اْلعُقُوْلِ تَلَقَّتْهُ بِالْقَبُوْلِ.

Artinya: "Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan menerimanya”.

 

2.   Menurut Manna’ Al-Qaththan[4]:

وَجْهُ  اْلإِرْتِبَاطِ  بَيْنَ  الْجُمْلَةِ  وَ اْلجُمْلَةِ  فِى اْلآيةِ  اْلوَاحِدَةِ  أَوْ  َبيْنَ  اْلآيةِ

 وَ اْلآيةِ فِى اْلآيةِ  اْلمُتَعَدِّدَةِ  أَوْ بَيْنَ  السُّوْرَةِ  وَالسُّوْرَةِ.

Artinya: “ Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa umgkapan di dalam satu ayat atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat (dalam Al-Qur’an)“.

3.   Menurut Ibnu Al-‘Arabi:

اِرْتِبِاطُ  أَيِّ  اْلقُرْاَنِ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ حَتَّى تَكُوْنَ كَاْلكَلِمَةِ اْلوَاحِدَةِ مُتَّسِقَةِ الْمَعَانِيْ  مُنْتَظِمَةِ  اْلمَبَانِيْ  عِلْمٌ  عَظِيْمٌ.

ِِArtinya: “Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”

4.   Menurut Al-Biqa’i:

“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.”

Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, munasabah berarti menjelaskan segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam satu ayat atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat atau antara satu surat dengan surat yang lain, baik korelasi itu bersifat umum ataupun khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi sebab-akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan dan perlawanan.[5]

B.      Dasar-dasar Pemikiran Adanya Munasabah

Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungannya antara ayat-ayat itu bukan merupakan hal yang tauqifi (ketetapan Nabi), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri. Apabila munasabah atau hubungan itu halus maknanya, harmonis konteknya, dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, maka hubungan tersebut dapat diterima.[6]

Imam As-Sathibi menjelaskan bahwa pada satu surat tertentu walaupun mengandung banyak pembahasan, tetapi pembahasan-pembahasan tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya tidak hanya mengarahkan pandangannya pada awal surat saja, tetapi memperhatikan pula akhir surat atau sebaiknya. Karena jika tidak demikian, maka akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.[7]

Mengenai hubungan antar ayat atau surat dengan ayat atau surat lain (sebelum dan sesudahnya) tidak kalah pentingnya dibanding dengan mengetahui asbab an-nuzul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antar ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita dalam memahami secara tepat ayat-ayat dan surat-surat yang berhubungan satu sama lain. Ilmu inilah yang kemudian disebut ilmu munasabah.

Ilmu munasabah ini dapat berperan mengganti ilmu Asbab an-Nuzul apabila seseorang tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tapi seseorang bisa mengetahui adanya relevansi atau hubungan ayat itu dengan ayat lainnya, sehingga dikalangan ulama timbul perdebatan tentang kepentingan diantara kedua ilmuwan ini. Masalahnya terutama terkait dengan keilmuwan mana yang harus didahulukan, apakah mengetahui sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul) atau mengetahui hubungan antara ayat itu dengan yang lainnya (munasabah).

Perdebatan lainnnya dalam munasabah ini terkait dengan masalah kepastian apakah setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Sebagian ulama menyatakan selalu ada relevansinya dengan ayat lain, tetapi yang lainnya mengatakan bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Namun bisa diasumsikan bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Masalah lainnya terkait dengan pendapat bahwa lebih mudah mencari hubungan antar suatu ayat dengan ayat lain dibanding mencari hubungan antar suatu surat dengan surat lain.[8] Namun terkadang seorang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dan terkadang tidak. Ketika seseorang tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Orang yang menghubung-hubungkan dalam hal demikian, berarti ia telah memaksakan diri dalam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-hubungkan kecuali dengan cara yang sangat lemah yang tidak lebih baik. Itu semua mengingat Al-Qur’an diturunkan dalam waktu lebih dari 20 tahun, mengenai berbagai hukum dan karena sebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mudah menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Dalam hal ini Syekh ‘Izzuddin ‘Abd As-Salam, menurut kutipan Az-Zarkasyi (1972: 37) berkata:

 

اَلْمُنَاسَبَةُ عِلْمٌ حَسَنٌ وَلَكِنْ يُشْتَرَطُ فِى حُسْنِ ارْتِبَاطِ الْكَلاَمِ أَنْ يَقَعَ فِى أَمْرٍ مُتَّحِدٍ مُرْتَبِطٍ أَوَّلُهُ بِآخِرِهِ فَإِنَّ عَلىَ أَسْبَابٍ مُخْتَلِفَةٍ لَمْ يُشْتَرَطْ فِيْهِ اِرْتِبَاطُ أَحَدِهِمَا بِاْلآخَرِ.

 

Artinya: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata-kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal yang awal dengan akhirnya memang bersatu dan berkaitan, sedang dalam hal yang mempunyai beberapa sebab yang berlainan tidak disyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain.”

 

C.      Cara Mengetahui Munasabah

Untuk meneliti keserasian susunan ayat atau surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Syuyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:

1.     harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian;

2.     memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang di bahas dalam surat;

3.     menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak; dan

4.     dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.[9]

D.      Macam-macam Munasabah

Prof. DR. Rosihon Anwar dalam bukunya mengemukakan bahwa menurut As-Suyuthi munasabah dalam al-qur’an terbagi menjadi delapan bagian, yaitu:

1.     Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya[10]

As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antar surat dengan surat sebelumnya berfungsi “menerangkan” atau “menyempurnakan” ungkapan sebelumnya. Contohnya, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 terdapat ungkapan الحمدلله   yang berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:                                                           

                              ÇÊÎËÈ Ÿ Èbrãàÿõ3s? wur Í<(#rãà6ô©$#ur Nä.öä.øŒr& þÎTrãä.øŒ$$sù                              

Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[11] dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”.(Q.S. al-Baqarah: 152)

 

 

#sŒÎ)ur y7s9r'y ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ)

Èb$tãyŠ ( (#qç6ÉftGó¡uŠù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 šcrßä©ötƒ ÇÊÑÏÈ

Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.(Q.S. Al-Baqarah:186)

 

Ungkapan “rabb al-‘alamiin” dalam surat Al-Fatihah berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 21-22:

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3­/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇËÊÈ Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ

 

Artinya:“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.  Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[12], padahal kamu Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah:21-22)

Dalam urat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan “Dzalik Al-Kitab la raiba fih”. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-‘Imran ayat 3:

tA¨tR šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ tAtRr&ur

sp1uöq­G9$# Ÿ@ÅgUM}$#ur ÇÌÈ

Artinya: “Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”.(Q.S. al-‘Imran ayat 3)

Demikian pula, apa yang surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu ungkapan  “ Wa ma unzila min qablik”, dirinci lebih jauh oleh surat Al-‘Imran ayat 3.

Berkaitan dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr abu Zaid. Ia menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-fatihah dengan surat Al-Baqarah merupakan hubungan setilistika-kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan setilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah diakhiri dengan do’a:

$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã

 ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ

Artinya: Tunjukilah[13] kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[14]. (Al-Fatihah:6-7)

Do’a ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-kitabu La Raiba fihi Hudan li Al-Muttaqin. Atas dasar ini, kita dapat menyimpulkan bahwa teks tersebut berkesinambungan:

“seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: petunjuk yang lurus yang engkau minta itu adalah Al-Kitabin.”

Jika kaitan antara surat Al-Fatihah dan surat Al-Baqarah merupakan kaitan setilistika, hubungan antara surat Al-Baqarah dengan surat Al-‘Imran lebih mirip dengan hubungan antara “dalil” dengan “keraguan-keraguan akan dalil”. Maksudnya, surat Al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah, sementara surat Al-‘Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”. 

Kaitan antara surat Al-Baqarah dan surat Al-‘Imran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam ta’wil (interpretasi) yang membatasi kandungan surat Al-‘Imran pada ayat ke 7 saja.[15]

 

2.     Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya[16]

Setiap surat mempunyai tema dan pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat Yusuf, surat An- Naml, dan surat Al-Jin.[17] Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah ayat 67-71:

øŒÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù'tƒ br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏ­Gs?r& #Yrâèd ( tA$s% èŒqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ (#qä9$s% äí÷Š$# $uZs9 y7­/u ûÎiüt7ム$uZ©9 $tB }Ïd 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)tƒ $pk¨XÎ) ×ots)t/ žw ÖÚÍ$sù Ÿwur íõ3Î/ 8b#uqtã šú÷üt/ y7Ï9ºsŒ ( (#qè=yèøù$$sù $tB šcrãtB÷sè? ÇÏÑÈ (#qä9$s% äí÷Š$# $oYs9 š­/u ûÎiüt6ム$oY©9 $tB $ygçRöqs9 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)tƒ $pk¨XÎ) ×ots)t/ âä!#tøÿ|¹ ÓìÏ%$sù $ygçRöq©9 Ý¡s? šúï̍Ï໨Z9$# ÇÏÒÈ (#qä9$s% äí÷Š$# $uZs9 y7­/u ûÎiüt7ム$uZ©9 $tB }Ïd ¨bÎ) ts)t6ø9$# tmt7»t±s? $uZøŠn=tã !$¯RÎ)ur bÎ) uä!$x© ª!$# tbrßtGôgßJs9 ÇÐÉÈ tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)tƒ $pk¨XÎ) ×ots)t/ žw ×Aqä9sŒ 玍ÏVè? uÚöF{$# Ÿwur Å+ó¡s? y^öptø:$# ×pyJ¯=|¡ãB žw spuÏ© $ygÏù 4 (#qä9$s% z`»t«ø9$# |M÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ 4 $ydqçtr2xsù $tBur (#rߊ%x. šcqè=yèøÿtƒ ÇÐÊÈ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"[18] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".(67)

Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (68)

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."(69)

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."(70)

Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.[19](71) (Q.S Al-Baqarah:67-71)

Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.

3.     Munasabah antar bagian suatu ayat[20]

Munasabah ayat yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan yang lain. Munasabah ini berbentuk persambungan-persambungan sebagai berikut:

1)       Munasabah antara ayat 103 surat Ali Imran dengan ayat 102 surat Ali Imran:

“Dan berpeganglah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. . .”

Kegunaan dari munasabah dengan ‘athaf ini ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama. Ayat 102 surat Ali Imran menyuruh bertaqwa, dan ayat 103 surat Ali Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama, karena berpegang teguh kepada Allah merupakan bagian dari pada taqwa.

2)       Tidak di’athafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain, seperti munasabah antara ayat 10 dan 11 pada surat Ali Imran:

¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. `s9 š_Í_øóè? óOßg÷Ytã óOßgä9ºuqøBr& Iwur Oèdß»s9÷rr& z`ÏiB «!$# $\«øx© ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd ߊqè%ur Í$¨Y9$# ÇÊÉÈ É>ù&yŸ2 ÉA#uä  öNÍkÍ5qçRäÎ/ 3 ª!$#ur ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÊÊÈ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.

(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; Karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat keras siksa-Nya. (Q.S. Al-‘Imran: 10-11)

Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat 11 dan 10 surat Ali Imran, sehingga ayat 11 surat Ali Imran itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10 surat Ali Imran.

3)       Digabungkannya dua hal yang sama, seperti persambungan ayat 5 dan 4 surat al-Anfal:

y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uyŠ yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOƒÌŸ2 ÇÍÈ !$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/ ¨bÎ)ur $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# tbqèd̍»s3s9 ÇÎÈ

 

Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.

Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran[21], padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”.

Kedua ayat itu sama-sama menerangkan tentang kebenaran. Ayat 5 menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintahkan hijrah, dan ayat 4 tersebut menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mu’minin.

4)       Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi. Seperti dikumpulkannya ayat 95 dan 94 surat al-A’raf:

 !$tBur $uZù=yör& Îû 7ptƒös% `ÏiB @cÓÉ<¯R HwÎ) !$tRõs{r& $ygn=÷dr& Ïä!$yù't7ø9$$Î/ Ïä!#§ŽœØ9$#ur óOßg¯=yès9 tbqã㧎œØo ÇÒÍÈ §NèO $uZø9£t/ tb%s3tB Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$# spoY|¡ptø:$# 4Ó®Lym (#qxÿtã (#qä9$s%¨r ôs% ¡§tB $tRuä!$t/#uä âä!#§ŽœØ9$# âä!#§Žœ£9$#ur Mßg»tRõs{r'sù ZptGøót/ öNèdur Ÿw tbráãèô±o ÇÒÎÈ

Artinya: “Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.

Kemudian kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: "Sesungguhnya nenek moyang kamipun Telah merasai penderitaan dan kesenangan", Maka kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya. (Q.S. Al-A’raf: 94-95)

Ayat 94 surat al-A’raf tersebut menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk. Tetapi ayat 95 menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan.

5)       Dipindahkannya satu pembicaraan, seperti terdapat dalam surat Shaad ayat 55 dan 54:

¨bÎ) #x»yd $oYè%ø̍s9 $tB ¼çms9 `ÏB >Š$xÿ¯R ÇÎÍÈ #x»yd 4 žcÎ)ur tûüÉó»©Ü=Ï9 §Ž|³s9 5>$t«tB ÇÎÎÈ

Artinya: “Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezki dari Kami yang tiada habis-habisnya. Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk”.(Q.S. Shaad:54-55)

Dialihkannya pembicaraan kepada nasib orang-orang yang durhaka yang benar-benar akan kembali ketempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 yaitu membicarakan rizki dan para ahli sorga.

 

4.     Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan[22]

Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah:

ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji[23] bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al-Fatihah:1-2)

Ungkapan “rabb al-‘alamin pada ayat kedua memperkuat kata “ar-rahman” dan “ar-rahim pada ayat pertama.

Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman Allah SWT:

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ

Artinya:”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman  kepada yang ghaib,[24] yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezk yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. Al-Baqarah: 2-3)

Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang bertaqwa ialah orang yang mengimani hal-hal yang ghaib, menunaikan sholat, dan seterusnya.

Munasabah antar ayat menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat lebih dan tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik dipertengahan kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contoh firman Allah pada surat An-Nahl ayat 57:

tbqè=yèøgsur ¬! ÏM»oYt7ø9$# ¼çmoY»ysö7ß   Nßgs9ur $¨B šcqåktJô±tƒ ÇÎÐÈ

Artinya: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan.[25] Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). (Q.S. An-Nahl:57)

Kata “subhanahu” pada ayat di atas merupakan bentuk I’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan dari klaim orang-oang kafir yang menetapkan anak-anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat menggunakan pola tasydid apabila sau ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:

$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ

Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)

Ungkapan “As-shirath Al-mustaqim” pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan “shirathallidzina…”. Antara ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang pula tidak diperkuat olehnya (tidak langsung).

Munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah, yaitu At-tanzir (perbandingan), Al-mutadhadat (perlawanan), isthidrat (penjelasan lebih lanjut), dan At-takhallush (perpindahan).

Munasabah yang berpolakan At-tanzir terlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan. Contoh firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat:4-5:

y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uyŠ yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOƒÌŸ2 ÇÍÈ !$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/ ¨bÎ)ur $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# tbqèd̍»s3s9 ÇÎÈ

Artinya: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. Al-Anfal: 4-5)

Pada ayat kelima, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar terus melaksanakan perintah-Nya meskipyn para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara pada ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah untuk berperang. Munasabah antara kedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal, sudah jelas dalam kedua perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan Islam.

Munasabah yang berpolakan Al-mudhadat terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat makna yang lain yang berdampingan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 6 misalnya, terdapat ungkapan:

¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøŠn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÏÈ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (Q.S. Al-Baqarah:6)

Ayat ini berbicara tentang wataq oarng-orang kafir dan sikap mereka terhadap peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang wataq orang-orang mukmin.

Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelaan lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya, dalam surat Al-A’raf ayat 26:

ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqムöNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)­G9$# y7Ï9ºsŒ ׎öyz 4 šÏ9ºsŒ ô`ÏB ÏM»tƒ#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbr㍩.¤tƒ ÇËÏÈ

Artinya: “Hai anak Adam[530], Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raf: 26)

Menurut Az-Zamakhsyari, ayat ini dating setelah npembicaraan tentang terbukanya aurta adam dan hawa dan kemutupnya dengna daun-daun. Hubungan ini dimaksudkan untuk memnunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia dari Allah, sementara telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina dan menutupnya merupakan bagian besar dari taqwa.

Selanjutnya, pola munasabah takhallus terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat Al-A’raf,  mula-mula Allah berbicara tentang para sahabat nabi dan umt terdahul, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan ummatnya.[26]

5.      Munasabah antar kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya[27]

Dalam surat Al-Baqarah ayat 1-20 misalnya, Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan  fungsi Al-Qur’an bagi oarng-orang yang bertaqwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.

 

6.      Munasabah Antar Fashilah (pemisah) dan Isi Ayat[28]

Macam munasabah ini mengndung tujuan-tujuan tertentu. Diantaranya adalaah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnya, dalam surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:

¨Šuur ª!$# tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. öNÎgÏàøtóÎ/ óOs9 (#qä9$uZtƒ #ZŽöyz 4 s"x.ur ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# tA$tFÉ)ø9$# 4 šc%x.ur ª!$# $ƒÈqs% #YƒÍtã ÇËÎÈ

Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan.[29] dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Ahzab:25)

Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan; bukan karena lemah, melainkan karena Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Jadi, adanya fashilah diantara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah, sebenarnya makna ayat sudah jelas. Misalnya dalam surat An-Naml ayat 80:

y7¨RÎ) Ÿw ßìÏJó¡è@ 4tAöqyJø9$# Ÿwur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sŒÎ) (#öq©9ur tûï̍Î/ôãB ÇÑÉÈ

Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (Tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka Telah berpaling membelakang.” (Q.S. Al-An-Naml:80)

Kalimat ”idza walau mudbirin” merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.

7.     Munasabah Antar Awal Surat dengan Akhir Surat yang Sama[30]

Tentang munasabah semacam ini, As-Suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqatti’ wa Al-Mathali. contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.

8.     Munasabah Antar Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya[31]

Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan kita jumpai munasabah dengan akhir surat sebellumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasybih:

yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ

Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Hadid)

Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelimnya, yaitu surat Al-Waqi’ah ayat 96 yang memerintahkan bertasbih:

ôxÎm7|¡sù ËLôœ$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ

Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” (Q.S. Al-Waqi’ah: 96)

Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah sebagai berikut:

$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ

Artinya: “Alif laam miin.[32] Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 1-2)

Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah:

xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ

Artinya: “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 7)

E.    Pandangan Para Ahli Terhadap Ilmu Munasabah

Tokoh yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang mempelopori keberadaan ilmu munasabah ialah Abu Bakr an-Naysaburi (w. 324 H), seorang alim berkebangsaan Irak yang sangat ahli dalam ilmu syariah (faqih) dan kesustraan Arab (adab). Dalam berbagai kesempatan perbincangan ayat Al-Qur’an, Abu Bakr an-Naysaburi konon selalu mempertanyakan perihal segi hubungan antara bagian demi bagian dan antara ayat demi ayat Al-Qur’an, serta selalu mempertanyakan apa hikmah yang terjadi di balik rangkaian ayat yang seperti ini.[33]

Tokoh lain yang disebut-sebut turut berjasa bagi pengembangan ilmu munasabah ialah al-Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H), pengarang kitab Mafatihul-Ghaib Fi-Tafsiril Qur’an (Kunci-Kunci kegaiban dalam menafsirkan Al-Qur’an); Al-Qadhi Abu Bakr Ibn al-‘Arabi (468-543 H) yang antara lain menulis kitab Sirajul –Muridin wa-sirajul-muhtadin (Lentera orang-orang yang berkehendak dan Lentera orang-orang yang mencari petunjuk). Yang disebutkan pertama, ar-Razi menyatakan bahwa kebanyakan perbendaharaan Al-Qur’an justru terletak pada rangkaian tata urutan dan pertaliannya. Sedangkan Ibnul Arabi melukiskan hubungan pertalian ayat-ayat Al-Qur’an antara yang sebagian dengn sebagian lainnya laksana satu kalimat yang sangat teratur maknanya dan tersusun (rapi) penjelasannya.

Sebagian ulama ada yang menyusun kitab khusus tentang ilmu munasabah ini. Di antara mereka ialah: Abu ja’far Ahmad bin Ibrahim bin az-Zubair (w.807 H) yang mengarang kitab al-Burhan fi-Munasabati Tartibi Suwaril-Qur’an (Bukti kebenaran tentang Korelasi Tertib Surat-surat Al-Qur’an) dan yang kini paling populer adalah kitab Nazhmud-Durar Fi-Tanasubil Ayi was-Suwar (Rangkaian Mutiara Hubungan Ayat-ayat dan Surat-surat Al-Qur’an) buah pena al-Ustadz Burhanuddin al-Biqa’i.

Sungguhpun ilmu munasabah itu tergolong ke dalam ilmu yang baik dan keberadaannya dianggap signifikan oleh para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an, tidak berarti semua ulama setuju untuk menempatkan ilmu ini sebagai syarat mutlak dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Izzuddin bin Abdus-salam (577-660 H), misalnya, memang mengakui keberadaan al-munasabah sebagai ilmu yang bagus (ilmu hasan), tetapi pada saat bersamaan ia juga mengingatkan agar penggunaannya dibatasi dalam hal yang objek (pembicaraannya) benar-benar memiliki keterkaitan sejak awal hingga akhir. Izzuddin, manna’ al-Qaththan dan Shubhi as-Shalih merupakan ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an masa klasik, tidak menyetujui pemaksaan ilmu munasabah untuk seluruh ayat-ayat Al-Qur’an. Alasannya, karena selain ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan dalam rangka menjawab berbagai pertanyaan dan kasus yang berbeda-beda, juga terutama disebabkan pewahyuan Al-Qur’an itu sendiri yang memakan waktu cukup lama. Berbeda dengan ulama yang lainnya menyatakan bahwa al-munasabah tergolong ke dalam hal yang bersifat rasional, dan akan terjangkau oleh akal manakala diserahi tugas (minat) untuk itu.

F.       Urgensi Mempelajari Munasabah

Sebagaimana Asbab An-Nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, namun semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnyasaling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat, semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan segala permasalahannya.” [34]

Di samping itu, para ‘Ulama telah sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, bahwasanya memiliki ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab an-nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat yang lain sudah bias mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ditemukan asbab an-nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabahnya.

Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari munasabah dapat di jelaskan sebagai berikut:[35]

1.   Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa teme-tema Al-Qur’an kehilangan relevansinya antara satu bagian dengan bagian lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 189:

štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ

 

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 189)

Orang-orang yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: “Apakah korelasi antara dengan pembicaraan mendatangi rumah?”. Dalam menjelaskan muuunasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasyi menjelaskan: “Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemashlahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkanlah pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikan sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.”[36]

2.    Dapat mengetahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dengan yang lainnya. Sehingga lebih memperdalam pengetahuan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya, bahwa Al-Qur’an itu benar-benar wahyu dari Allah SWT dan bukan buatan Nabi

Muhammad SAW. Karena itu, imam Ar-Razi mengatakan bahwa kebanyakan keindahan-keindahan Al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah yang sering berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya; dan

3.    Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an jika tidak ditemukan asbabunnuzulnya. Sehingga sangat mempermudah dalam peng-istinbat-an hukum-hukum atau isi kandungannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

A.     Pengertian Munasabah

1.     Secara Bahasa (etimologi): Al-Musyakalah (Keserupaan) dan Al-Muqarabah (kedekatan).

2.     Secara Istilah (terminologi):

a.      Menurut Az-Zarkasyi: “Munasabah adalah suatu ilmu yang dapat difahami. Tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan menerimanya.”

b.       Menurut Manna’ Al-Qaththan: “Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat (di dalam Al-Qur’an).”

c.        Menurut Ibnu Al-‘arabi: Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”

d.       Menurut Al-Biqa’i: “Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahuia alas an-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat-dengan ayat atau surat dengan surat.”

B.      Dasar Pemikiran Adanya Munasabah

Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai munasabah bukanlah hal yang bersifat tauqifi atau ketetapan Rasul, melainkan ijtihad mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjikzatan Al-Qur’an, rahasia, retorika, dan segi keterangannya yang mandiri. Terkadang seorang mufasir pun tidak menemukan keterkaitan suatu ayat, dan tidak diperkenankan memaksakan diri. Orang yang memaksa mengai-ngaitkan hanya dengan ikatan yang lemah berarti mengada-ngadakan apa yang tidak dikuasainya.

 

 

C.      Langkah –langkah Cara Mengetahui Munasabah

1.     Harus memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian;

2.     Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.

3.     Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.

4.     Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

D.     Macam-macam Munasabah

1.       Macam-macam Munasabah dari Segi Materi:

a.      Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya;

b.     Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya;

c.      Munasabah antar bagian suatu ayat;

d.     Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan;

e.      Munasabah antar suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya;

f.      Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat;

g.     Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama; dan

h.     Munasabah antar penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.

 

E.      Urgensi dan kegunaan Mempelajari Munasabah

1.     Dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya;

2.     Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian AL-Qur’an baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-surat yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya;

3.     Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain; dan

4.     Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau surat, sehingga mempermudah dalam pengistinbatan kandungannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Qaththan Manna Khalil, 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an.  Bandung: CV. Pustaka Setia.

Anwar Rosihon, 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia

                         , 2007. Ulumul Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia.                     

Chaeruji Ahmad, 2007. Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Diadit Media.

Kamal, A. Mustofa, 2009. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Insan Mandir

Setiawa Wawan, 2006. Ulumul Qur’an. Bandung: Seven Billah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Jalaluddin As-Syuyuthi, al-itqan fi’ ulum al-qur’an, Dar Al-Fikr Beirut, t.t.jilid I, hlm, 108.

[2] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, pustaka setia bandung, hlm, 82.

[3] Badr Ad-Din Muhammad Bin ‘abdillah Az-zarkasy, Al-Burhan fi “Ulum al-Qur’an, jilid I, hlm, 35.

[4]  Manna ‘ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-Ashar Al-Hadits, hlm 97.

[5] Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemah Rosihon Anwar, Pustaka Setia, 1999, hlm, 305.

[6] Manna’ Al-Qaththan, Op.Cit., hlm, 138.

[7] As-Suyuthi, Op Cit.

[8] A. Chaeruji Abd. Chalik, Ulumul Qur’an, Diadit Media, Jakarta, 2007, hlm.110-111

[9] As-Suyuthi, Al-Itqan…, hlm, 110.

[10] Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 84.

[11] Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.

[12] ialah segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.

[13] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar.  yang dimaksud dengan ayat Ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.

[14] yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

[15] Nasr Hamid abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Mizan, 2001, hlm. 218-219.

[16] Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 87.

[17] Muhammad ‘Abd Al-‘Azhim, Manhil Al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t., jilid   1, hlm 351.

[18] Hikmah Allah menyuruh menyembelih sapi yaitu supaya hilang rasa penghirmatan mereka

    terhadap sapi yang pernah mereka sembah.

[19] Karena sapi yang menurut syarat yang disebutkan itu sukar diperoleh hampirmereka tidak dapat menemukannya.

[20] Rosihon Anwar, op. Cit., hlm. 88.

[21] Maksudnya: menurut Al Maraghi: Allah mengatur pembagian harta rampasan perang dengan kebenaran, sebagaimana Allah menyuruhnya pergi dari rumah (di Madinah) untuk berperang ke Badar dengan kebenaran pula. menurut Ath-Thabari: keluar dari rumah dengan maksud berperang.

[22] Rosihon Anwar, op. Cit., hlm. 89.

[23] Alhamdu (segala puji), maksudnya: memuji orang adalah Karena perbuatannya yang baik yang

    dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berarti menyanjung-Nya Karena

    perbuatannya yang baik. Lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan

    seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah

    karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.

[24] yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, Karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.

[25] mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai anak perempuan yaitu malaikat-malaikat Karena mereka sangat benci kepada anak-anak perempuan sebagaimana tersebut dalam ayat berikutnya.

 

[26] As-syuyuthi, Al-Itqan…, hlm. 109

[27] Rosihon Anwar, op. Cit., hlm. 92.

[28] Rosihon Anwar, op. Cit., hlm. 93.

[29] maksudnya orang mukmin tidak perlu berperang, Karena Allah Telah menghalau mereka dengan mengirimkan angin dan malaikat.

 

 

[30] Rosihon Anwar, Pengantar ‘Ulumul Qur’an, Pustaka Setia: Bandung, 2009. Hlm. 145.

[31] Rosihon Anwar, op. Cit., hlm. 93.

[32]  Diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah Karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad.

[33] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta:Rajawali Pers,2013) hal :253

[34] ‘Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar Al-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.

[35] Manna Al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 97. Abu Djalal, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hlm. 164-165.

[36] Az-Zarkasyi, Op. Cit., hlm. 41.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Introduction