PEMERINTAHAN KHILAFAH ABBASIYAH
(ISLAM SEBAGAI
PUSAT PERADABAN – KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KHILAFAH ABBASIYAH)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ummat Islam mengalami
masa kejayaan pada periode awal pemerintahan Khilafah Abbasiyah, yaitu pada
masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dan puteranya
Al-Makmun. Pada masa ini Islam menjadi Pusat Dunia dalam berbagai aspek
peradaban. Pada masa ini pula berbagai
disiplin ilmu telah dilahirkan atas jasa beberapa tokoh intelektual muslim,
kedokteran, filsafat, kimia, sejarah, dan geografi, misalnya.
Namun hanya pada periode pertama
pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada periode-periode
selanjutnya , pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama dibidang
politik. Banyak Faktor yang menyebabkan kemundurannya, sampai akhirnya
kehalifahan merosot tajam hingga akhirnya banyak daerah yang memerdekakan diri
dari pemerintahan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah permulaan
masa disintegrasi dalam sejarah politik Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dari
latar belakang di atas adalah:
1. Bagaimana kondisi Masa kejayaan Islam dibawah khilafah
Bani Abassiyah?
2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan
kehancuran Khilafah Abassiyah?
BAB I
PEMBAHASAN
A. Masa Keemasan Bani Abbasiyah
B.Kemunduran
dan Kehancuran Bani Abbasiyah
Dinamakan
khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132-565 H (750-1258
M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode[1]
yaitu:
- Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
- Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada
periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode
ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik
meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang.[2]
Kalau
dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu
al-Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasannya dari dinasti ini
berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
1. Al-Mahdi
(775-785 M)
2. Al-Hadi
(775-786 M)
3. Harun
al-Rasyid (785-809 M)
4. Al-Ma’mun
(813-833 M)
5. Al-Mu’tashim
(833-842 M)
6. Al-Wasiq
(842-847 M)
7. Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pada
masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor
pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak,
emas, tembaga dan besi.[3]
Popularitas
Daulah Bani Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid
dan putranya al-Makmun. Ketika mendirikan sebuah akademi pertama di lengkapi
pula dengan lembaga untuk penerjemahan. Adapun kemajuan yang dapat dicapai
adalah sebagai berikut :[4]
1.
Lembaga
dan kegiatan ilmu pengetahuan
Sebelum
dinasti Bani Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid.
Masjid dijadikan center of education. Pada dinasti Bani Abbasiyah inilah
mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had.
Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan, yaitu :
a. Maktab/kuttab dan masjid yaitu
lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak remaja belajar dasar-dasar
bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu
agama.
b. Tingkat pendalaman, para pelajar
yang ingin memperdalam Islam pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid, bahkan
ke rumah gurunya. Pada tahap berikutnya, mulailah dibuka madrasah-madrasah yang
dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. Lembaga inilah
yang kemudian berkembang pada masa dinasti Bani Abbasiyah.
2. Corak gerakan keilmuan
Gerakan
keilmuan pada dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik, kajian keilmuan yang
kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping
kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedang astronomi, mantiq dan
sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
3.
Kemajuan
dalam bidang agama
Pada
masa dinasti Bani Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama
dua metode, yaitu tafsir bil al-ma’tsur (interpretasi tradisional dengan
mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat), dan tafsir bil al-ra’yi
(metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran
daripada hadits dan pendapat sahabat).[5]
Dalam
bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan, pembukuan dari
catatan dan hafalan dari para sahabat. Pada zaman ini juga mulai
diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Dalam
bidang fiqh, pada masa ini lahir fuqaha legendaris, seperti Imam Hanifah
(700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad
ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu
lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab yang semakin
dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
1. Ilmu pengetahuan sains dan teknologi
Kemajuan tersebut antara lain:
a. Astronomi, ilmu ini melalui karya
India Sindhind, kemudian diterjemahkan Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi (77 M). Di
samping itu, masih ada ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibn Isa al-Asturlabi,
al-Farghani, al-Battani, Umar al-Khayyam dan al-Tusi.
b. Kedokteran, dokter pertama yang
terkenal adalah Ali ibn Rabban al-Tabari. Tokoh lainnya al-Razi, al-Farabi dan
Ibnu Sina.
c. Kimia, tokohnya adalah Jabir ibn
Hayyan (721-815 M). Tokoh lainnya al-Razi, al-Tuqrai yang hidup di abad ke-12
M.
d. Sejarah dan geografi, tokohnya Ahmad
ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Ja’far bin Jarir al-Tabari. Kemudian
ahli ilmu bumi yang terkenal adalah Ibnu Khurdazabah (820-913 M).
2. Perkembangan politik, ekonomi dan
administrasi
Pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang
dikembangkan antara lain:
a. Memindahkan ibu kota negara dari
Damaskus ke Baghdad
b. Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c. Merangkul orang-orang Persia, dalam
rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan besar
kepada kaum Mawali.
d. Menumpas
pemnberontakan-pemberontakan
e. Menghapus politik kasta
f. Para khalifah tetap dari keturunan
Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan para pegawai lainnya dipilih
dari keturunan Persia dan Mawali.
g. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai
suatu yang sangat penting dan mulia
h. Kebebasan berfikir sebagai HAM
diakui sepenuhnya.
i.
Para
menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam
pemerintah (Hasjmy, 1993: 213-214).
Selain
kemajuan di atas, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi
dapat dikatakan maju dan menunjukkan angka vertikal. Devisa negara penuh dan
melimpah ruah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang mampu
meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam ekonomi dan keuangan negara. Di sektor
perdaganganpun merupakan yang terbesar di dunia saat itu dan Baghdad sebagai
kota pusat perdagangan.[6]
Faktor-faktor Pendukung Masa Keemasan
Ada
beberapa faktor yang turut mempengaruhi masa keemasan Bani Abbasiyah, khususnya
dalam bidang bahasa,[7]adalah:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa
Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai
guna. Bangsa itu memberi saham-saham tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung
dalam tiga fase.
a. Fase pertama, pada masa khalifah
al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq
b. Fase kedua, berlangsung mulai khalifah
al-Ma’mun hingga tahun 300 H.
c. Fase ketiga, berlangsung setelah
tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang yang
diterjemahkan semakin luas.
Dengan
gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Akan tetapi, secara garis besar ada dua
faktor penyebab tumbuh dan kejayaan Bani Abbasiyah,[8]
yaitu:
1. Faktor internal: faktor yang berasal
dari dalam ajaran Islam yang mampu memberikan motivasi bagi para pemeluk untuk
mengembangkan peradabannya.
2. Faktor eksternal, ada 4 pengaruh,
yaitu:
a. Semangat Islam
b. Perkembangan organisasi negara
c. Perkembangan ilmu pengetahuan
d. Perluasan daerah Islam.
Adapun
penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya khilafah Bani Abbasiyah adalah
karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas
adalah keluarga yang dekat kepada Nabi dan bahwasanya mereka akan mengamalkan
al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta menegakkan syariat Islam.[9]
Lahirnya tokoh-tokoh Intelektual Muslim
Pada
masa daulah Bani Abbasiyah, telah banyak tokoh-tokoh intelektual muslim yang
berhasil menemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain yaitu :[10]
1. Filsafat
Setelah
kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kaum muslimin
sibuk mempelajari ilmu filsafat, sehingga lahir filosof dunia yang terkenal,
yaitu :
a. Abu Ishak al-Hindy (karyanya lebih
dari 231 judul)
b. Abu Nashr al-Faroby (karyanya
sebanyak 12 buah)
c. Ibnu Sina (karyanya al-Qanun fil
al-Thib)
d. Ibnu Bajah
e. Ibnu Thufnil
f. Al-Ghazali (terkenal dengan karyanya
Ihya’ Ulumuddin)
g. Ibn Rusyd (terkenal dengan Averoes di wilayah barat).
2. Kedokteran
Daulah
Bani Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter kenamaan, yaitu:
a. Abu Zakaria Yuhana ibn Masawih
b. Sabur ibn Sahal
c. Abu Zakaria al-Razi (tokoh pertama
yang membedakan cacar dengan measles)
d. Ibnu Sina
3. Matematika
Di
antara ahli matematika Islam terkenal adalah beliau pengarang kitab Al-Gebra
(al-Jabar), ahli matematika yang berhasil menemukan angka nol (0).
4. Farmasi dan Kimia
Di
masa para ahli farmasi dan kimia pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah
adalah Ibnu Baithar (karyanya yang terkenal adalah al-Mughni).
5. Perbintangan
Tokoh ilmu perbintangan antara lain:
a. Abu Manshur al-Falaky
b. Jabir al-Batany (pencipta teropong
bintang)
c. Raihan al-Bairleny
d. Abu Ali al-Hasan ibn al-Hitami
(terkenal dengan al-Hazen dalam bidang optik).[11]
6. Tafsir dan Hadits
Ilmu
tafsir yang berkembang pesat adalah tafsir al-Ma’tsur dan al-Ra’yi di antara
tokoh-tokohnya adalah :
a. Ibnu Jarir al-Thabari (ahli tafsir
al-Ma’tsur
b. Ibnu Athiyah al-Andalusy (ahli
tafsir al-Ma’tsur)
c. Abu Bakar Asam (ahli tafsir
al-Ra’yi)
d. Abu Muslim Muhammad (ahli tafsir
al-Ra’yi)
Sedangkan tokoh ilmu hadits yang
terkenal antara lain :
a. Imam Bukhari
b. Imam Muslim
c. Ibnu Majah
d. Abu Dawud
e. Al-Nasa’i
7. Kalam dan Bahasa
Perdebatan
para ahli mengenai dosa, pahala, surga, dan neraka serta pembicaraan mereka
mengenai ilmu ketuhanan atau tauhid menghasilkan ilmu, yaitu ilmu tauhid dan
ilmu kalam. Para pelopornya adalah Jaham ibnu Shafwan, Wasil bin Atha’.
Sedangkan
ilmu bahasa yang berkembang pada waktu itu adalah nahwu, bayan, badi’ dan
arudl. Di antara ilmuwan bahasa yang terkenal, adalah:
1. Imam Sibawih (karyanya terdiri dari
2 jilid setebal 1.000 halaman)
2. Al-Kasai
3.
Abu
Zakaria al-Farra (kitab nahwunya terdiri dari 6.000 halaman)
Kemunduran dan Kehancuran Khilafah Abbasiyah
Faktor
Internal
Sebagaimana
terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama,
hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak
sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila
khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping
kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
1.
Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah
Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas
memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua,
orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan
adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak
ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka
adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab
('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu,
para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia
atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Adalah
Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa
Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang
penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi
dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya
menjadi boneka mereka.[2]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat
menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki.
Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[3]
2.
Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
wilayah
kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas,
meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko,
Mesir, Syria, Irak,
Persia, Turki dan India.
Walaupun dalam kentaannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah,
secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur
bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[4]
Ada
kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal,
dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk
membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan
pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih
menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan
ekspansi.[5] Selain itu, penyebab utama mengapa
banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan
kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[6]
Akibatnya
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang peminpin lokal
memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti
daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjk
menjadi gubernur oleh Khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seerti daulah
Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti
yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah
Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.Yang
berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars
(254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan
(266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2.Yang
berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan
(320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3.Yang
berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah
(564-648 H).
4.Yang
berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia
(18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316
H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah
(403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472
H).
5.Yang
Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[7]
3.
Kemerosotan Perekonomian
Pada
periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana
yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju
terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah
memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran
yang drastis.[8]
Setelah
khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah
dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi.[9]
Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti
Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
4. Munculnya
Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena
cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk
menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para
khalifah.
Adalah
khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya,
beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di
Sajalmasah pada tahun 140 H[10]. setelah al Manshur wafat
digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi
orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan
khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah
dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq
berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang
ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah
pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat
gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat
(ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam
yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi
konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko
dan khilafah Fathimiyah di Mesir
adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad
yang Sunni.
Selain itu
terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara
Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M),
dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan
melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah
kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung
penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[12]
B. Faktor
Eksternal
Selain
yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan
kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan
tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dari pasukan Alp Arselan yanag
hanya berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertabah
setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa
peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin
berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan
kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib.
Perang
salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak
menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan
peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa,
Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[13]
Pengaruh
Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol.
Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol,
sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh
orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam
itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol,
setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam,
ikut memperbaiki Yerussalem.[14]
2.
Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang
Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di
China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan
(603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui-sahara yang dikenal keras kepala
dan suka aberlaku jahat.
Sebagai
awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai
negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[15] Pada bulan September 1257, Hulagu
mengirimkan ultimatum keada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok
kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban.
Maka pada Januari 1258, asuakn Hulagu bergerang untuk mengahncurkan tembok
ibukota.[16] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim
langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para
pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh.
Hulagu mengzinkan pasukannya untuk melakukan aa saja di Baghdad. Mereka
menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40
hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga
disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah yaitu
Ibn ’Alqami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia
dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.[17]
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO