Selasa, 28 April 2015 | By: namakuameliya

PEMERINTAHAN KHILAFAH ABBASIYAH (ISLAM SEBAGAI PUSAT PERADABAN – KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KHILAFAH ABBASIYAH)



PEMERINTAHAN KHILAFAH ABBASIYAH
(ISLAM SEBAGAI PUSAT PERADABAN – KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KHILAFAH ABBASIYAH)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

   Ummat Islam mengalami masa kejayaan pada periode awal pemerintahan Khilafah Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dan puteranya  Al-Makmun. Pada masa ini Islam menjadi Pusat Dunia dalam berbagai aspek peradaban. Pada masa ini pula berbagai disiplin ilmu telah dilahirkan atas jasa beberapa tokoh intelektual muslim, kedokteran, filsafat, kimia, sejarah, dan geografi, misalnya.
Namun hanya pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada periode-periode selanjutnya , pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama dibidang politik. Banyak Faktor yang menyebabkan kemundurannya, sampai akhirnya kehalifahan merosot tajam hingga akhirnya banyak daerah yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat dan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintegrasi dalam sejarah politik Islam.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dari latar belakang di atas adalah:
1.      Bagaimana kondisi Masa kejayaan Islam dibawah khilafah Bani Abassiyah?
2.      Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Khilafah Abassiyah?














 BAB I

PEMBAHASAN

A. Masa Keemasan Bani Abbasiyah
B.Kemunduran dan Kehancuran Bani Abbasiyah



Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132-565 H (750-1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima  periode[1] yaitu:
  1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang.[2]
Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasannya dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu:
1. Al-Mahdi (775-785 M)
2. Al-Hadi (775-786 M)
3. Harun al-Rasyid (785-809 M)
4. Al-Ma’mun (813-833 M)
5. Al-Mu’tashim (833-842 M)
6. Al-Wasiq (842-847 M)
7. Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.[3]
Popularitas Daulah Bani Abbasiyah mencapai puncaknya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun. Ketika mendirikan sebuah akademi pertama di lengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan. Adapun kemajuan yang dapat dicapai adalah sebagai berikut :[4]
1.      Lembaga dan kegiatan ilmu pengetahuan
Sebelum dinasti Bani Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan center of education. Pada dinasti Bani Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan, yaitu :
a.       Maktab/kuttab dan masjid yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak remaja belajar dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama.
b.      Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam Islam pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid, bahkan ke rumah gurunya. Pada tahap berikutnya, mulailah dibuka madrasah-madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa dinasti Bani Abbasiyah.

2.      Corak gerakan keilmuan
Gerakan keilmuan pada dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik, kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu kedokteran, di samping kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedang astronomi, mantiq dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
3.      Kemajuan dalam bidang agama
Pada masa dinasti Bani Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang, terutama dua metode, yaitu tafsir bil al-ma’tsur (interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat), dan tafsir bil al-ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat).[5]
Dalam bidang hadits, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan dari para sahabat. Pada zaman ini juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Dalam bidang fiqh, pada masa ini lahir fuqaha legendaris, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
1.      Ilmu pengetahuan sains dan teknologi
Kemajuan tersebut antara lain:
a.       Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind, kemudian diterjemahkan Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi (77 M). Di samping itu, masih ada ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibn Isa al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, Umar al-Khayyam dan al-Tusi.
b.      Kedokteran, dokter pertama yang terkenal adalah Ali ibn Rabban al-Tabari. Tokoh lainnya al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.
c.       Kimia, tokohnya adalah Jabir ibn Hayyan (721-815 M). Tokoh lainnya al-Razi, al-Tuqrai yang hidup di abad ke-12 M.
d.      Sejarah dan geografi, tokohnya Ahmad ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Ja’far bin Jarir al-Tabari. Kemudian ahli ilmu bumi yang terkenal adalah Ibnu Khurdazabah (820-913 M).

2.      Perkembangan politik, ekonomi dan administrasi
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
a.       Memindahkan ibu kota negara dari Damaskus ke Baghdad
b.      Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
c.       Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan besar kepada kaum Mawali.
d.      Menumpas pemnberontakan-pemberontakan
e.       Menghapus politik kasta
f.       Para khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali.
g.      Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia
h.      Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
i.        Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993: 213-214).
Selain kemajuan di atas, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan maju dan menunjukkan angka vertikal. Devisa negara penuh dan melimpah ruah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam ekonomi dan keuangan negara. Di sektor perdaganganpun merupakan yang terbesar di dunia saat itu dan Baghdad sebagai kota pusat perdagangan.[6]
      Faktor-faktor Pendukung Masa Keemasan
Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi masa keemasan Bani Abbasiyah, khususnya dalam bidang bahasa,[7]adalah:
1.      Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa itu memberi saham-saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
2.      Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
a.       Fase pertama, pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq
b.      Fase kedua, berlangsung mulai khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H.
c.       Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang yang diterjemahkan semakin luas.
Dengan gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Akan tetapi, secara garis besar ada dua faktor penyebab tumbuh dan kejayaan Bani Abbasiyah,[8]  yaitu:
1.      Faktor internal: faktor yang berasal dari dalam ajaran Islam yang mampu memberikan motivasi bagi para pemeluk untuk mengembangkan peradabannya.
2.      Faktor eksternal, ada 4 pengaruh, yaitu:
a.       Semangat Islam
b.      Perkembangan organisasi negara
c.       Perkembangan ilmu pengetahuan
d.      Perluasan daerah Islam.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya khilafah Bani Abbasiyah adalah karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang dekat kepada Nabi dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta menegakkan syariat Islam.[9]
      Lahirnya tokoh-tokoh Intelektual Muslim
Pada masa daulah Bani Abbasiyah, telah banyak tokoh-tokoh intelektual muslim yang berhasil menemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan, antara lain yaitu :[10]
1. Filsafat
Setelah kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kaum muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, sehingga lahir filosof dunia yang terkenal, yaitu :
a.       Abu Ishak al-Hindy (karyanya lebih dari 231 judul)
b.      Abu Nashr al-Faroby (karyanya sebanyak 12 buah)
c.       Ibnu Sina (karyanya al-Qanun fil al-Thib)
d.      Ibnu Bajah
e.       Ibnu Thufnil
f.       Al-Ghazali (terkenal dengan karyanya Ihya’ Ulumuddin)
g.       Ibn Rusyd (terkenal dengan Averoes di wilayah barat).
2. Kedokteran
Daulah Bani Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter kenamaan, yaitu:
a.       Abu Zakaria Yuhana ibn Masawih
b.      Sabur ibn Sahal
c.       Abu Zakaria al-Razi (tokoh pertama yang membedakan cacar dengan measles)
d.      Ibnu Sina
3. Matematika
Di antara ahli matematika Islam terkenal adalah beliau pengarang kitab Al-Gebra (al-Jabar), ahli matematika yang berhasil menemukan angka nol (0).
4. Farmasi dan Kimia
Di masa para ahli farmasi dan kimia pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar (karyanya yang terkenal adalah al-Mughni).
5. Perbintangan
Tokoh ilmu perbintangan antara lain:
a.       Abu Manshur al-Falaky
b.      Jabir al-Batany (pencipta teropong bintang)
c.       Raihan al-Bairleny
d.      Abu Ali al-Hasan ibn al-Hitami (terkenal dengan al-Hazen dalam bidang optik).[11]
6. Tafsir dan Hadits
Ilmu tafsir yang berkembang pesat adalah tafsir al-Ma’tsur dan al-Ra’yi di antara tokoh-tokohnya adalah :
a.       Ibnu Jarir al-Thabari (ahli tafsir al-Ma’tsur
b.      Ibnu Athiyah al-Andalusy (ahli tafsir al-Ma’tsur)
c.       Abu Bakar Asam (ahli tafsir al-Ra’yi)
d.      Abu Muslim Muhammad (ahli tafsir al-Ra’yi)
Sedangkan tokoh ilmu hadits yang terkenal antara lain :
a.       Imam Bukhari
b.      Imam Muslim
c.       Ibnu Majah
d.      Abu Dawud
e.       Al-Nasa’i        
7. Kalam dan Bahasa
Perdebatan para ahli mengenai dosa, pahala, surga, dan neraka serta pembicaraan mereka mengenai ilmu ketuhanan atau tauhid menghasilkan ilmu, yaitu ilmu tauhid dan ilmu kalam. Para pelopornya adalah Jaham ibnu Shafwan, Wasil bin Atha’.
Sedangkan ilmu bahasa yang berkembang pada waktu itu adalah nahwu, bayan, badi’ dan arudl. Di antara ilmuwan bahasa yang terkenal, adalah:
1.      Imam Sibawih (karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman)
2.      Al-Kasai
3.      Abu Zakaria al-Farra (kitab nahwunya terdiri dari 6.000 halaman)   

Kemunduran dan Kehancuran Khilafah Abbasiyah
Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[1]
1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan

Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[2]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[3]

2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri

wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kentaannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[4]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[5] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[6]
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang peminpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjk menjadi gubernur oleh Khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seerti daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:

1.Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2.Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3.Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[7]
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[8]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[9]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Adalah khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara  Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H[10]. setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[12]
B. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.

Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dari pasukan Alp Arselan yanag hanya berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung  dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[13]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[14]

2. Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah

Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui-sahara yang dikenal keras kepala dan suka aberlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[15] Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum keada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, asuakn Hulagu bergerang untuk mengahncurkan tembok ibukota.[16] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengzinkan pasukannya untuk melakukan aa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah yaitu Ibn ’Alqami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.[17]


www.solusimobilku.com

 




                                                                         1 Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, (Beirut: Al-Maktab Al-Tijari
2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 50.
3 Ibid., hlm. 52.
4 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 50.
5 Badri Yatim, op.cit., hlm. 56.

6 Ajid Thahir, op.cit., hlm. 54.
7 A. Badri Yatim, op.cit., hlm. 55.
8 Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Thoha Putra, 2003, hlm. 56.

  
9 Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 2006, hlm. 248.
10 Murodi, op.cit., hlm. 60-64.
11 Badri Yatim, op.cit., hlm. 58.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction