Rabu, 22 Maret 2023 | By: namakuameliya

SASTRA MASA BANI ABBASAIYAH

 

PENDAHULUAN

 

Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang: ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim.[1]

Kekhalifahan Abbasiyah dianggap sebagai masa keemasan islam (the golden age) baik dalam bidang politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan segala bidang lainnya mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di bidang sastra. Sastra mulai berkembang saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Puncaknya, termasuk dalam perdagangan, terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar. Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada masa pencerahan di Eropa.

 Philip K Hitti dalam bukunya “History of The Arabs”  mengatakan, pada masa itu sastra mulai dikembangkan oleh Abu Uthman Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad. Al Jahiz dikenal dengan karyanya yang berjudul Kitab Al Hayawan atau Kitab Hewan. Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Ia pun menulis karya lain, Kitab Al Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia.

Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar abad ke-10.

Latar belakang Lahirnya Gerakan Sastra

Pembangunan yang dibangun oleh Al-Manshur masih berlanjut sampai sebelum ia wafat. Ia membangun kota Al-Manshur dan tumbuh menjadi pusat kota perdagangan dan politik internasional. Kota ini menjadi pewaris kekuatan dan prestise kota Cresiphon, Babilonia, Nineveh, Ur dan ibukota-ibukota bangsa Timur Kuno lainnya. Lokasi ini membuka jalan bagi tumbuhnya gagasan dan pemikiran dari Timur, di mana khalifah membangun pemerintahan dengan meniru model Chosroisme Sasaniyah dan Islam Arab jatuh dalam pengaruh Persia. Pengaruh Persia memperhalus sisi-sisi kasar kehidupan primitif Arab dan melapangkan jalan bagi era baru yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kepelajaran. Maka dari itu, orang Arab hanya mampu mempertahankan warisan budaya aslinya, Islam menjadi agama negara dan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi negara.

Ada sebuah gerakan di zaman itu, bertujuan untuk menentang superioritas yang diklaim oleh orang Islam keturunan arab. Gerakan itu bernama Syu’ubiyah atau nasionalisme yang diambil dari kosakata di dalam ayat alquran (QS:49:13) dan bertujuan untuk menanamkan rasa persaudaraan dan persamaan di antara semua orang Islam. Namun secara umum gerakan syu’ubiyah merupakan perlawanan sastra. Gerakan ini seperti yang ditulis oleh Philip K Hitti dalam History of The Arabs,

Gerakan ini mengolok-olok klaim ornag Arab tentang superioritas intelektual mereka, dan mengklaim superioritas orang non-Arab dalam bidang puisi dan sastra.             

Gerakan non-Arab ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Al-Biruni dan Hamzah Al-Ishfahani. Sedangkan gerakan kelompok Arab diwakili oleh tokoh-tokoh Arab dan Persia seperti Al-Jahidz, Ibn Durayd, Ibn Qutaybah dan Al-Baladhuri.

 

PEMBAHASAN

 

Sastra Masa Abbasiyah

a. Al ‘athifah (emosi) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

b.Alkhoyaal (image) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

1. Lucu (di istana Harun Ar-Rasyid).

2. Romantis (di istana Harun Ar-Rasyid).

3. Fiktif

4. Logis dan menarik

c. Alfikroh (ide) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

1. Menyajikan

d. Ashshuuroh (form) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

1. Anekdot

2. Kisah

Kisah (Qisshah), Kisah adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah meliputi Hikayat, Qissah Qasirah dan Uqushah. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.

Amsal (peribahasa) dan Kata mutiara (al-hikam) adalah ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amsal dan kata mutiara pada masa Abbasiyah dan sesudahnya lebih menggambarkan pada hal yang berhubungan dengan filsafat, sosial, dan politik. Tokoh terkenal pada masa ini adalah Ibnu al Muqoffal.

Sejarah (tarikh),atau riwayat (sirah) Sejarah atau riwayat mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan para tokoh terkenal karya sastra yang terkenal dalam bidang ini antara lain: adalah mu’jam al Buldan (ensiklopedi kota dan negara) oleh Yaqut al Rumi (1179-1229). Tarikh al hindi (sejarah india) oleh al Biruni (w.448 H/ 1048 M). Karya Ilmiah (Abhas ‘Ilmiyyah) Karya ilmiah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya terkenal yang berkenaan dengan hal ini adalah kitab al Hawayan (buku tentang hewan).

Pada masa ini, muncul genre prosa pembaruan (النثرالتجديدي) yang dinakhodai oleh Abdullah Ibnu Al-Muqaffal dan juga prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (ألف ليلةوليلة). Dalam dunia puisi juga muncul puisi pembaruan yang ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul Atahiyah.

Selain prosa dan puisi, seni korespondensi juga mengalami peningkatan, hal ini karena luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dari timur ke barat yang tentunya membutuhkan konsolodasi antar wilayah dengan surat-menyurat. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain Abu Al Fida Muhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).

 

Ciri Umum Sastra Abbasi

Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara masa Abbasiyah dengan masa-masa sebelumnya khususnya masa umawi, diantaranya adalah :

1. Tujuan pengungkapan sastra dan orientasi syair mengalami perluasan.

Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak dari berkesenian ini dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat resisten terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman Abbasiyah inilah prosa berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan drama.Bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik puisi maupun prosa. Wilayah kajian sastra tidak hanya puisi dan prosa tetapi sudah meluas dalam bidang karya tulis lainnya. Sastrawan pada masa ini dianggap sebagai gudangnya ilmu pengetahuan.

2.  Bahasa, pada masa ini mengalami kemunduran karena asimilasi bangsa arab dengan ajam yang berpengaruh terhadap kualitas kebahasaan serta sering terjadi kesalahan bahasa.

3. Perluasan wilayah kajian sastra yang tidak hanya pada wilayah syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku sastra, riwayat dan hikayat, serta munculnya genre baru النثرالتجديدي.[2]

(disampaikan dalam kajian rutin PKBA 23-03-2011)

 

Sejarah Riwayat Sastrawan Arab-Non-Arab dan Karya-Karya Mereka

Sastra Arab di sini bukanlah sastra Arab seperti halnya sastra-sastra yang lain. Sebab, penulis sastra Arab adalah orang yang berasal dari berbagai macam etnis. Mereka seperti yang dikatakan Hitti, secara keseluruhan mewakili monumen abadi sebuah peradaban, bukan semata monumen sebuah bangsa.

Di dalam bukunya, Hitti mengatakan, sastra Arab dalam arti sempit yakni adab (belles-letters) mulai dikembangkan oleh Al-Jahidz (w.868-869), guru para sastrawan Baghdad dan mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah melalui karya-karya Badi Al-Zaman Al-Hamad-Zani (969-1008), Al-Tsa’libi dari Naisabur (961-1038) dan Al-Hariri (1054-1122). Hitti juga menambahkan bahwa salah satu ciri khas penulisan prosa pada masa itu adalah kecenderungan—respon atas pengaruh Persia—untuk menggunakan ungkapan-ungkapan hiperbolik dan bersayap. Ungkapan yang singkat, tegas dan sederhana, yang sebelumnya digunakan, kini telah ditinggalkan untuk selamanya, berganti dengan ungkapan yang semarak dan indah, sarat dengan kata-kata kiasan yang berirama. Dari sisi intelektual pun fenomena itu menandai masa kemunduran dalam tradisi sastra. Di masa inilah kaum proletar sastra subur. Di masa ini juga lahir bentuk baru sastra yaitu maqaamah.

Maqaamah ini didirikan sejenis anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan bahasanya. Ia bukanlah karya satu orang melainkan perkembangan alami dari prosa berirama yangs udah disebutkan sebelumnya serta penyusunan kata bersayap layaknya yang pernah dilakukan oleh Ibn Durayd dan para penulis sastra lainnya. Sebelum maqaamah muncul, sastra Arab menyaksikan kemunculan sejarawan sastra terbesar yakni Abu Al-Faraj Al-Ishbahani (sekitar 897-967) seorang keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Ia tinggal di Aleppo, tempat ia menuntaskan karyanya yaitu Kitab Al-Ghani (buku nyanyian) yang merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga dan sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam. Pada masa inilah tidak lama sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (seribu satu malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini yang dipersiapkan oleh Al-Jahsyiyaari adalah karya Persia Klasik, Hazaar Afsana (kisah seribu) yang berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Al-Jahsyiyaari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur kisah lokal. Dan makin berlalunya waktu, kisah-kisah ini terus ditambahkan dari berbagai sumber; India, Yunani, Ibrani, Mesir dan lain-lain. Termasuk istana Harun Ar-Rasyid menjadi sumber pengambilan berbagai anekdot lucu dan kisah romantis dalam jumlah besar. Bentuk bakunya baru dimasukkan ke dalam kisah Seribu Satu Malam pada masa Dinasti Mamluk di Mesir.

Mengenai kisah Seribu Satu Malam, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Perancis oleh Galland dan kemudian menjadi banyak diterjemahkan ke dalam bahasa utama Eropa, Asia dan menjadi terkenal di Barat sebagai karya sastra Arab terpopuler. Terjemahan bahasa Inggris pertama yang paling penting tidak lengkap namun akurat adalah terjemahan Edward William Lane. Terjemahan John Payne merupakan terjemahan terbaik dalam bahasa Inggris dan yang paling lengkap namun tidak disertai komentar. Sementara itu, dalam mengikuti jejak sebelumnya, Sir Richard F Burton mengikuti langkah Payne kecuali di bagian puisinya, serta berupaya memperbaikinya dengan mempertahankan nuansa ketimuran dalam terjemahannya.

Di bidang puisi, karya syair pra-Islam tentang kepahlawanan Jahiliah menjadi acuan bagi para penulis puisi pada masa Dinasti Abbasiyah yang karya-karya tiruannya terhadap ode klasik Jahiliah dipandang sebagai karya klasik oleh para penyair Abbasiyah. Meski demikian, penulisan puisi telah menjadi seni Arab yang paling konservatif. Sepanjang masa, seni Arab ini selalu menggemakan semangat gurun pasir. Pendukung paling awal dari gaya baru penulisan puisi ini adalah Basysyaar ibn Burd dari Persia seorang buta yang dihukum mati tahun 783 pada masa Al-Mahdi karena menurut beberapa pihak, ia telah mengungkapkan kata-kata kasar dan tidak sopan kepada wazirnya namun sebenarnya ia telah mengungkapkan pandangan rahasia kaum zindik, zoroaster atau Manikea. Ia bersyukur kepada Allah karena telah menciptakannya dalam keadaan buta sehingga ia tidak perlu melihat hal-hal yang ia benci. Ia pun melakukan pemberontakan terhadap formulasi puisi kasik yang telah ketinggalan zaman. Formula ini didukung oleh Abu Nuwas (w. Sekitar 810) seorang keturunan separuh Persia teman dekat Harun dan Al-Amin serta penyair yang mampu menyusun lagu terbaik tentang cinta dan arak. Hingga saat ini di dunia Arab nama Abu Nuwas identik dengan badut. Kepenyairan Abu Nuwas disaingi oleh segelintir orang yang menulis sajak-sajak cinta, ungkapan erotis dan pidato-pidato yang elegan. Ia merupakan penyair liris terbesar di dunia Islam. Kebanyakan lagu tentang ketampanan anak laki-laki yang dinisbatkan kepada tokoh kesayangan istana keluarga Abbasiyah ini juga puisi-puisinya tentang pujian terjadap arak (khamriyaat) yang selalu memikat orang yang membaca dan meminumnya. Puisi ghazal karya Abu Nuwas sebuah puisi pendek tentang cinta yang berkisar mulai dari lima hingga lima belas bait mengikuti model penyair Persia yang mengembangkan model bait tersebut lama sebelum bangsa Arab mengenalnya.

Seorang sufi yang sezaman dengan Abu Nuwas adalah Abu Al-Ataahiyah (748-sekitar 828) yang berprofesi sebagai perajin tembikar, mengungkapkan pandangan pesimistik tentang kegersangan hidup yang dialami oleh orang-orang beragama. Ia melancarkan perlawanan terhadap gaya hidup Baghdad yang mewah dan meskipun Harun memberinya santunan sebesar 50 ribu dirham setahun, ia tetap mengenakan baju sufi dan menggubah puisi-puisi keagamaan (zuhdiyat) yang menjadikannya sebagai bapak puisi keagamaan Arab. Selama masa Dinasti Abbasiyah berbagai provinsi terutama Suriah telah menghasilkan penyair kelas satu dan salah satu diantara penyair itu adalah Abu Tammaam (w sekitar 845) dan Abu Al-Ala’. Abu Tammaam adalah seorang penyair istana di Baghdad. Ia mencapai popularitasnya berkat karyanya, Diwan dan kumpulan tulisannya Diwan Al-Hamasah. Isinya mengenai puisi-puisi pujian atas keberanian di medan perang. Diwan ini merupakan permata puisi Arab. Kumpulan puisi Hamasah juga memuat karya penyair istana yaitu Al-Buhturi (820-897), namun lebih rendah kualitasnya dibandingkan karya Abu Tammaam yang menjadi acuan.[3]

 

Nama-Nama Sastrawan dan Karyanya

Bermunculan nama-nama sastrawan yang memiliki pengaruh besar, yaitu Badi Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa'alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al Hamadhani dikenal sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Namun, dari sekitar 400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.

Seorang sastrawan lainnya, Al Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat ini, baik Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya, Kitab Al Aghni. Ini merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam.

Sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya itu, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.

Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al Jahsyiyari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan lain yang kemudian muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al Mutanabbi. Banyak kalangan menganggap bahwa ia merupakan sastrawan terbesar.

Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat. Puisi-puisi yang ia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada Spanyol.

Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare adalah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan.[4]

 

 



[1] https://id.wikipedia.org

[2] elhasib.wordpress.com

 

[3] Hitti, Philip K. 2008. History of The Arabs.Jakarta:Serambi.

[4] http://www.republika.co.id/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction