PENDAHULUAN
Bani Abbasiyah
adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang: ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan
dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan
tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah
merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali
Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad
yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu
mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim.[1]
Kekhalifahan
Abbasiyah dianggap sebagai masa keemasan islam (the golden age) baik dalam
bidang politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan segala bidang lainnya
mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di
bidang sastra. Sastra mulai berkembang saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Puncaknya, termasuk dalam perdagangan, terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah
Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar.
Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada
masa pencerahan di Eropa.
Philip K Hitti dalam
bukunya “History of The Arabs” mengatakan, pada masa itu sastra mulai
dikembangkan oleh Abu Uthman Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan
sebagai guru sastrawan Baghdad. Al Jahiz dikenal dengan karyanya yang berjudul
Kitab Al Hayawan atau Kitab Hewan. Ini merupakan sebuah antologi anekdot
binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Ia pun menulis
karya lain, Kitab Al Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia.
Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa
puncaknya pada sekitar abad ke-10.
Latar belakang Lahirnya Gerakan Sastra
Pembangunan yang dibangun oleh Al-Manshur masih berlanjut sampai sebelum
ia wafat. Ia membangun kota Al-Manshur dan tumbuh menjadi pusat kota
perdagangan dan politik internasional. Kota ini menjadi pewaris kekuatan dan
prestise kota Cresiphon, Babilonia, Nineveh, Ur dan ibukota-ibukota bangsa
Timur Kuno lainnya. Lokasi ini membuka jalan bagi tumbuhnya gagasan dan pemikiran
dari Timur, di mana khalifah membangun pemerintahan dengan meniru model
Chosroisme Sasaniyah dan Islam Arab jatuh dalam pengaruh Persia. Pengaruh
Persia memperhalus sisi-sisi kasar kehidupan primitif Arab dan melapangkan
jalan bagi era baru yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kepelajaran. Maka dari itu, orang Arab hanya mampu mempertahankan warisan
budaya aslinya, Islam menjadi agama negara dan bahasa Arab menjadi bahasa resmi
administrasi negara.
Ada sebuah gerakan di zaman itu, bertujuan untuk menentang superioritas
yang diklaim oleh orang Islam keturunan arab. Gerakan itu bernama Syu’ubiyah
atau nasionalisme yang diambil dari kosakata di dalam ayat alquran (QS:49:13)
dan bertujuan untuk menanamkan rasa persaudaraan dan persamaan di antara semua
orang Islam. Namun secara umum gerakan syu’ubiyah merupakan perlawanan sastra.
Gerakan ini seperti yang ditulis oleh Philip K Hitti dalam History of The
Arabs,
Gerakan ini mengolok-olok klaim ornag Arab tentang superioritas
intelektual mereka, dan mengklaim superioritas orang non-Arab dalam bidang
puisi dan sastra.
Gerakan non-Arab ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Al-Biruni dan
Hamzah Al-Ishfahani. Sedangkan gerakan kelompok Arab diwakili oleh tokoh-tokoh
Arab dan Persia seperti Al-Jahidz, Ibn Durayd, Ibn Qutaybah dan Al-Baladhuri.
PEMBAHASAN
Sastra Masa
Abbasiyah
a. Al ‘athifah (emosi)
sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:
b.Alkhoyaal (image)
sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:
1. Lucu (di istana Harun Ar-Rasyid).
2. Romantis (di istana Harun Ar-Rasyid).
3. Fiktif
4. Logis dan
menarik
c. Alfikroh (ide) sastra
‘Abbasiyah, diantaranya:
1. Menyajikan
d. Ashshuuroh (form) sastra
‘Abbasiyah, diantaranya:
1. Anekdot
2. Kisah
Kisah
(Qisshah), Kisah adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat
realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan
menarik. Kisah meliputi Hikayat, Qissah Qasirah dan Uqushah. Kisah yang
berkembang pada masa Abbasiyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan,
tetapi sudah berkaitan dengan hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.
Amsal
(peribahasa) dan Kata mutiara (al-hikam) adalah ungkapan singkat yang bertujuan
memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak.
Amsal dan kata mutiara pada masa Abbasiyah dan sesudahnya lebih menggambarkan
pada hal yang berhubungan dengan filsafat, sosial, dan politik. Tokoh terkenal
pada masa ini adalah Ibnu al Muqoffal.
Sejarah
(tarikh),atau riwayat (sirah) Sejarah atau riwayat mencakup sejarah beberapa
negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan para tokoh terkenal karya sastra
yang terkenal dalam bidang ini antara lain: adalah mu’jam al Buldan
(ensiklopedi kota dan negara) oleh Yaqut al Rumi (1179-1229). Tarikh al hindi
(sejarah india) oleh al Biruni (w.448 H/ 1048 M). Karya Ilmiah (Abhas
‘Ilmiyyah) Karya ilmiah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya terkenal yang
berkenaan dengan hal ini adalah kitab al Hawayan (buku tentang hewan).
Pada masa ini,
muncul genre prosa pembaruan (النثرالتجديدي) yang dinakhodai oleh
Abdullah Ibnu Al-Muqaffal dan juga prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain
Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu
Malam (ألف ليلةوليلة). Dalam dunia puisi juga
muncul puisi pembaruan yang ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul
Atahiyah.
Selain prosa
dan puisi, seni korespondensi juga mengalami peningkatan, hal ini karena
luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dari timur ke barat yang tentunya
membutuhkan konsolodasi antar wilayah dengan surat-menyurat. Tokoh-tokoh yang
terkenal antara lain Abu Al Fida Muhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu
Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).
Ciri Umum
Sastra Abbasi
Terdapat
beberapa perbedaan yang mendasar antara masa Abbasiyah dengan masa-masa
sebelumnya khususnya masa umawi, diantaranya adalah :
1. Tujuan
pengungkapan sastra dan orientasi syair mengalami perluasan.
Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia
syair sebagai titik puncak dari berkesenian ini dikarenakan pula Bani Umayyah
adalah bani yang sangat resisten terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman
Abbasiyah inilah prosa berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra,
riwayat, hikayat, dan drama.
Bermunculanlah
para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik puisi maupun prosa.
Wilayah kajian sastra tidak hanya puisi dan prosa tetapi sudah meluas dalam
bidang karya tulis lainnya. Sastrawan pada masa ini dianggap sebagai gudangnya
ilmu pengetahuan.
2. Bahasa, pada masa ini
mengalami kemunduran karena asimilasi bangsa arab dengan ajam yang berpengaruh
terhadap kualitas kebahasaan serta sering terjadi kesalahan bahasa.
3. Perluasan wilayah kajian sastra yang tidak hanya pada wilayah
syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku
sastra, riwayat dan hikayat, serta munculnya genre baru النثرالتجديدي.[2]
(disampaikan dalam kajian rutin PKBA 23-03-2011)
Sejarah Riwayat Sastrawan Arab-Non-Arab dan Karya-Karya Mereka
Sastra Arab di sini bukanlah sastra Arab seperti halnya sastra-sastra
yang lain. Sebab, penulis sastra Arab adalah orang yang berasal dari berbagai
macam etnis. Mereka seperti yang dikatakan Hitti, secara keseluruhan mewakili
monumen abadi sebuah peradaban, bukan semata monumen sebuah bangsa.
Di dalam
bukunya, Hitti mengatakan, sastra Arab dalam arti sempit yakni adab
(belles-letters) mulai dikembangkan oleh Al-Jahidz (w.868-869), guru para
sastrawan Baghdad dan mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah
melalui karya-karya Badi Al-Zaman Al-Hamad-Zani (969-1008), Al-Tsa’libi dari
Naisabur (961-1038) dan Al-Hariri (1054-1122). Hitti juga
menambahkan bahwa salah satu ciri khas penulisan prosa pada masa itu adalah
kecenderungan—respon atas pengaruh Persia—untuk menggunakan ungkapan-ungkapan
hiperbolik dan bersayap. Ungkapan yang singkat, tegas dan sederhana, yang
sebelumnya digunakan, kini telah ditinggalkan untuk selamanya, berganti dengan
ungkapan yang semarak dan indah, sarat dengan kata-kata kiasan yang berirama.
Dari sisi intelektual pun fenomena itu menandai masa kemunduran dalam tradisi
sastra. Di masa inilah kaum proletar sastra subur. Di masa ini juga lahir
bentuk baru sastra yaitu maqaamah.
Maqaamah ini
didirikan sejenis anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesampingkan
oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan
bahasanya. Ia bukanlah karya satu orang melainkan
perkembangan alami dari prosa berirama yangs udah disebutkan sebelumnya serta
penyusunan kata bersayap layaknya yang pernah dilakukan oleh Ibn Durayd dan
para penulis sastra lainnya. Sebelum maqaamah muncul, sastra Arab menyaksikan
kemunculan sejarawan sastra terbesar yakni Abu Al-Faraj Al-Ishbahani (sekitar
897-967) seorang keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah.
Ia tinggal di Aleppo, tempat ia menuntaskan karyanya yaitu Kitab Al-Ghani (buku
nyanyian) yang merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga dan
sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam. Pada masa inilah tidak lama
sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian
dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (seribu satu malam) disusun di Irak. Acuan
utama penulisan draf ini yang dipersiapkan oleh Al-Jahsyiyaari adalah karya
Persia Klasik, Hazaar Afsana (kisah seribu) yang berisi beberapa kisah yang
berasal dari India. Al-Jahsyiyaari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur
kisah lokal. Dan makin berlalunya waktu, kisah-kisah ini terus ditambahkan dari
berbagai sumber; India, Yunani, Ibrani, Mesir dan lain-lain. Termasuk istana
Harun Ar-Rasyid menjadi sumber pengambilan berbagai anekdot lucu dan kisah
romantis dalam jumlah besar. Bentuk bakunya baru dimasukkan ke dalam kisah
Seribu Satu Malam pada masa Dinasti Mamluk di Mesir.
Mengenai kisah
Seribu Satu Malam, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Perancis oleh
Galland dan kemudian menjadi banyak diterjemahkan ke dalam bahasa utama Eropa,
Asia dan menjadi terkenal di Barat sebagai karya sastra Arab terpopuler. Terjemahan bahasa Inggris pertama yang paling penting tidak lengkap
namun akurat adalah terjemahan Edward William Lane. Terjemahan John Payne
merupakan terjemahan terbaik dalam bahasa Inggris dan yang paling lengkap namun
tidak disertai komentar. Sementara itu, dalam mengikuti jejak sebelumnya, Sir
Richard F Burton mengikuti langkah Payne kecuali di bagian puisinya, serta
berupaya memperbaikinya dengan mempertahankan nuansa ketimuran dalam
terjemahannya.
Di bidang
puisi, karya syair pra-Islam tentang kepahlawanan Jahiliah menjadi acuan bagi
para penulis puisi pada masa Dinasti Abbasiyah yang karya-karya tiruannya
terhadap ode klasik Jahiliah dipandang sebagai karya klasik oleh para penyair
Abbasiyah. Meski demikian, penulisan puisi telah
menjadi seni Arab yang paling konservatif. Sepanjang masa, seni Arab ini selalu
menggemakan semangat gurun pasir. Pendukung paling awal dari gaya baru
penulisan puisi ini adalah Basysyaar ibn Burd dari Persia seorang buta yang
dihukum mati tahun 783 pada masa Al-Mahdi karena menurut beberapa pihak, ia
telah mengungkapkan kata-kata kasar dan tidak sopan kepada wazirnya namun
sebenarnya ia telah mengungkapkan pandangan rahasia kaum zindik, zoroaster atau
Manikea. Ia bersyukur kepada Allah karena telah menciptakannya dalam keadaan
buta sehingga ia tidak perlu melihat hal-hal yang ia benci. Ia pun melakukan
pemberontakan terhadap formulasi puisi kasik yang telah ketinggalan zaman.
Formula ini didukung oleh Abu Nuwas (w. Sekitar 810) seorang keturunan separuh
Persia teman dekat Harun dan Al-Amin serta penyair yang mampu menyusun lagu terbaik
tentang cinta dan arak. Hingga saat ini di dunia Arab nama Abu Nuwas identik
dengan badut. Kepenyairan Abu Nuwas disaingi oleh segelintir orang yang menulis
sajak-sajak cinta, ungkapan erotis dan pidato-pidato yang elegan. Ia merupakan
penyair liris terbesar di dunia Islam. Kebanyakan lagu tentang ketampanan anak
laki-laki yang dinisbatkan kepada tokoh kesayangan istana keluarga Abbasiyah
ini juga puisi-puisinya tentang pujian terjadap arak (khamriyaat) yang selalu
memikat orang yang membaca dan meminumnya. Puisi ghazal karya Abu Nuwas sebuah
puisi pendek tentang cinta yang berkisar mulai dari lima hingga lima belas bait
mengikuti model penyair Persia yang mengembangkan model bait tersebut lama
sebelum bangsa Arab mengenalnya.
Seorang sufi yang sezaman dengan Abu Nuwas adalah Abu Al-Ataahiyah
(748-sekitar 828) yang berprofesi sebagai perajin tembikar, mengungkapkan
pandangan pesimistik tentang kegersangan hidup yang dialami oleh orang-orang
beragama. Ia melancarkan perlawanan terhadap gaya hidup Baghdad yang mewah dan
meskipun Harun memberinya santunan sebesar 50 ribu dirham setahun, ia tetap
mengenakan baju sufi dan menggubah puisi-puisi keagamaan (zuhdiyat) yang
menjadikannya sebagai bapak puisi keagamaan Arab. Selama masa Dinasti Abbasiyah
berbagai provinsi terutama Suriah telah menghasilkan penyair kelas satu dan
salah satu diantara penyair itu adalah Abu Tammaam (w sekitar 845) dan Abu
Al-Ala’. Abu Tammaam adalah seorang penyair istana di Baghdad. Ia mencapai
popularitasnya berkat karyanya, Diwan dan kumpulan tulisannya Diwan Al-Hamasah.
Isinya mengenai puisi-puisi pujian atas keberanian di medan perang. Diwan ini
merupakan permata puisi Arab. Kumpulan puisi Hamasah juga memuat karya penyair
istana yaitu Al-Buhturi (820-897), namun lebih rendah kualitasnya dibandingkan
karya Abu Tammaam yang menjadi acuan.[3]
Nama-Nama
Sastrawan dan Karyanya
Bermunculan nama-nama sastrawan yang memiliki pengaruh besar, yaitu Badi
Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa'alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al Hamadhani
dikenal sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan
oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Namun, dari sekitar
400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.
Seorang sastrawan lainnya, Al Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat.
Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat ini, baik
Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan
kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.
Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang
merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah.
Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia lebih dikenal dengan
panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk
menyelesaikan karya besarnya, Kitab Al Aghni. Ini merupakan sebuah warisan
puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama
untuk mengkaji peradaban Islam.
Sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al Faraj sebagai
catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya itu, sejumlah figur
ternama dalam pemerintahan, seperti Al Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu
keping emas kepada Abu Al Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad ke-10,
draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah
(Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini
dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.
Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu
berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al Jahsyiyari menambahkan
kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan lain yang kemudian muncul pada
masa Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al Mutanabbi. Banyak kalangan
menganggap bahwa ia merupakan sastrawan terbesar.
Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 hingga 1057 Masehi
merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat.
Puisi-puisi yang ia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme
pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada
Spanyol.
Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan
Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis
dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang
diciptakan Shakespeare adalah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh
agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan
Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan.[4]
[1] https://id.wikipedia.org
[2] elhasib.wordpress.com
[3] Hitti, Philip K. 2008. History of The Arabs.Jakarta:Serambi.
[4] http://www.republika.co.id/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar