Perkembangan Sastra Arab pada
Masa Bani Abbasiyah
A.
Sejarah Singkat Bani Abbasiyah.
Bani abbasiyah
sebenarnya adalah gerakan bawah tanah yang sudah lama berlangsung selama
pemerintahan bani umayyah. Mereka berpendapat bahwa yang berhak menjadi
pemimpin dalam kekhalifahan Islam
mestinya bukan bani umayyah, melainkan bani abbasiyah. Yang merupakan
jalur keturunan Rasulullah saw.
Bani abbasiyah
diambilkan dari nama salah satu paman Rasulullah yaitu Abbas bi Abdul
Muttholib, yang menurunkan keluarga Bani Abbasiyah. Kalau dirunut ke atas,
jalur ini bertemu dengan bani Umayyah pada kakek mereka yaitu Abd. Manaf.
Abd. Manaf
mempunyai anak Hasyim yang menurunkan Abdul Mutthallib dan seterusnya sampai
Rasulullah. Sedangkan anak keduanya Abd. Syams yang menurunkan Umayyah dan
kemudian salah satunya adalah Mawiyah.
Sejak awal,
keturunan Hasyim ini berpendapat bahwa setelah Rasulullah wafat, yang berhak
menggantikan kepemimpinan adalah dari
keluarga mereka ini. Mereka menyebutnya sebagai ahl bayt, jalur keturunan
Rasulullah. Termasuk diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi
Rasulullah tidak bersikap demikian, karena kepemimpinan memang bukan milik
keluarga. Melainkan milik umat secara umum. Sehingga akhirnya Rasulullah justru
menyiratkan Abu Bakar sebagai penggantinya. Begitulah sampai khulafa
al-rasyidin.
Bani Abbasiyah
memperoleh momentumnya ketika pemerintahan Bani Umayyah semakin lemah. Maka
salah satu keturunannya yang bernama Abdullah Al-safah mendeklarasikan pendirian pemerintahan Bani
Abbasiyah pada tahun749 M, setelah bergerilya selama bertahun-tahun secara
rahasia.
Abbas melakukan
perang melawan khilafah Bani Umayyah yang
sudah lemah yaitu Marwan bin Muhammad. Ia berhasil memenangkan peperangan
itu. Dan kemudia merebut seluruh wilayah yang menjadi kekuasaan Bani Umayyah,
kecuali Andalusia yang masih dikuasai Bani Umayyah. Maka, Bani Abbas pun
memulai kekuasaannya seiring dengan runtuhnya Bani Umayyah. Abul Abbas Abdullah
bin Muhammad pun menjadi khalifah pertamanya dan memindahkan ibu kotanya ke
Anbar. Ia memerintah selama empat tahun
Pemerintahannya
bertumpu pada keluarga besar Abbasiyah. Ia memilih pejabat dan para gubernurnya
dari keluarganya sendiri. Membangun fanatisme golongan yang kuat sebagai pendukung rezimnya. Dan secara militer
ia didukung oleh panglima yang hebat
yaitu Abu Muslim Khurosani.
Maka bangkitlah
sebuah rezim baru dalam kekhalifahan
Islam, yang berkuasa dalam kurun waktu yang sangat panjang, sekitar 524 tahun.
Yaitu sejak berdirinya tahun 749 M sampai runtuh pada 1258 M, diserang oleh
pasukan Mongolia. Kerajaan Islam kemudian terpecah belah menjadi Negara-negara
kecil hingga sekarang.
Kekuasaan
Abbasiyah terbagi menjadi dua periode. Yang pertama adalah periode kebangkitan
beserta segala prestasi yang gemilang. Fase ini berjalan dalam kurun waktu
sekitar 112 tahun, dipimpin 10 orang khalifah yang berlangsung secara turun
temurun.
Sedangkan fase
kedua adalah fase melemahnya Abbasiyah yang berlangsung selama hamper 400 tahun
yaitu mulai tahun 861 M sampai tahun 1258 M. selama periode ini Bani Abbasiyah
mengalami pergantian khalifah sebanyak 27 kali. Masa ini adalah masa melemahnya
kekuasaan Abbasiyah sampai lenyapnya kekuasaan mereka, dengan diwarnai banyak
intervensi militer dari bangsa Turki.[1]
Selain
pembagian fase seperti di atas, terdapat juga pembagian periode Bani Abbasiyah berdasarkan pusat
pemerintahannya. Periode pertama, Kufah (133-149 H/ 750-766 M dan Kedua Periode
Baghdad (149- 657 H/ 766- 1258 M).
Kehadiran Bani Abbasiyah di Baghdad melanjutkan kebijakan khalifah Ali
bin Abi Thalib yang membangun ibu kota pemerintahannya di Kufah pada abad ke-7.
[2]
B. Perkembangan
Sastra Arab pada
Masa Abbasiyyah
Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Syi’ir
Di
masa ini, syi’ir mengalami perkembangan yang begitu pesat. Kondisi sosial
politik di atas sangat mempengaruhi perkembangan syi’ir. Secara terperinci
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bangkit dan berkembangnya syi’ir di
masa ini. Faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1) Terciptanya stabilitas
politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena
mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan. Khalifah ini selalu berupaya
mendukung kegiatan keilmuan, seperti memberi penghargan tinggi bagi
sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dan bidangnya. Ia telah memberikan gaji
yang cukup tinggi kepada para penerjamah yang ditugaskan di Bayt- al-Hikmah.
2) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi
positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan
suasana penuh keterbukaan.
3) Adanya respon umat Islam terhadap usaha
pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan
disertai pemikiran yang rasional.
4) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin
sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, dimana tiap-tiap
golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan
bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl
al-Sunnah wal Jama’ah.
5) Situasi politik
saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya
agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. Itulah para khalifah Abbasiyah
telah mengalihkan perhatian rakyat pada pentingnya ilmu pengetahuan yang memang
begitu diminati masyarakat Arab pada waktu itu.
6) Adanya
kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah
memperkenankan kepada khalifah Al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka
peninggalan Yunani kuno yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa
buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.
Tujuan
Syi’ir
Setiap
syi’ir mempunyai tujuan masing-masing sesuai dengan masanya. Di masa Abbasiyyah
ini pun, syi’ir memiliki beberapa tujuan layaknya syi’ir di masa yang jahili
dan shodrul Islam. Adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
a) Al
Washfu
Penyairnya:
Abu ‘Ubadah al- Walid yang masyhur dengan nama: Buhturi. Contoh: أتاك الربيع الطلق يختال
ضاحكا من الحسن حتى كاد أن يتكلما
b) Al
Madhu
Penyairnya:
Abu Thoyyib Ahmad Ibn Husain, masyhur dengan nama Mutanabbi. Contoh: على قدر أهل العزم تأتي
العزائم و تأتي على قدر الكرام المكارم
c) Al
Ghozal
Penyairnya:
Abbas Ibn Ahnaf. Contoh: أزين نساء العالمين أجيبي دعاء مشوق بالعراق غريب
d) Al
Fakhr wal Hammasah
Penyairnya:
habib ibn Aus ath- Thoi yang dikenal dengan nama abu tamam. Contoh: السيف أصدق أنباء من
الكتب في حده الحد بين الجد و اللعب
e) Menceritakan
Kezuhudan
Penyairnya:
Isma’il Ibn al- Qasim, masyhur dengan Abu al- ‘Atahiyah.
Contoh: يا نفس قد أزف الرحيل
وأظلك الخطب الجليل
f) Angan-angan
tentang hidup dan mati
Penyairnya:
Abu al-‘Ala Ahmad Ibn ‘Abdillah al- Ma’arriyy. Contoh:
غير مجد في ملتي واعتقادي
نوح باك ولا ترنم شاد
وشبيه صوت النعي إذا قيس
بصوت البشير في كل ناد
أبكت تلككم الحمامة أم
غنت على فرع غصنها المياد
صاح، هذي قبورنا تملأ
الرحب فأين القبور من عهد عاد؟
خفف الوطاء، ما أظن أديم
ال أرض الإمن هذه الأجساد
سر إن اسطعت في الهواء
رويدا لااختيالا على رفات العبادت
وقبيح بنا وإن قدم العهد
هوان الاباء والأجداد
رب لحد قد صار لحدا مرارا
ضاحك من تزاحم الأضداد
C. Prosa
di Masa Abbasiyyah
Sebagaimana
syi’ir, prosa pun mengalami perkembangan yang sangat pesat di masa ini. Dalam
genre prosa, muncul prosa pembaruan (النثر التجديدي) yang ditokohi oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga prosa lirik
yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa
ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (ألف ليلة و ليلة). Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan prosa antara
lain:
1) Berkembangnya
kebudayaan karena pembelajaran-pembelajaran Islam dan memperoleh manfaat dari
ilmu-ilmu umat lain, seperti Paris, Hindi dan Yunani dengan jalan tarjamah
2) Masa
Abbasiyyah adalah masa yang panjang, sehingga ini membantu dalam ketetapan
terhadap pikiran, bacaan dan pembahasan.
3) Keberanian
para khalifah dan kedekatan mereka dengan orang terkemuka dalam penulisan prosa
Pembagian
Prosa Masa Abbasiyah
1. Korespondensi
Kekhalifahan
Korespondensi kekhalifahan dipercayakan kepada
dewan atau sekretaris istana. Penulis
terkenal antara lain: Abu Al FadhaMuhammad bin Al Amid (w
360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/
1200 M).
2. Esai Sastra
Esay sastra disusun penulisnya untuk melukiskan
perbincangan, melaporkan pidato, menuturkan kisah atau menguraikan tema keIslaman, moral atau
kemanusiaan. Yang termashur antara lain Risalah Al Ghufron (pengampunan) yang
ditulis oleh Abu Al A’la Al Ma’arri (w 449H/ 1059M), yang melukiskan status perbincangan
imajiner dengan penghuni surga dan penghuni neraka.
3. Maqamat
Badi
al-Zaman al-Hamadzani dikenal sebagai pencipta maqamah, sejenis anekdot
dramatis yang substansinya berusaha dikesamping kan oleh penulis untuk
mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan bahasanya. Sebagai contoh,
kisah-kisah bebahasa Spanyol dan Italia yang bernuansa realis atau kepahlawanan
memperlihatkan kedekatan yang jelas dengan mahqamah Arab.
D. Kodifikasi
Bahasa dan Sastra Arab
Proses pengumpulan dan kodifikasi bahasa pada masa Abbasiyah bertolak
dari kekhawatiran terjadinya kerusakan bahasa karena menyebarnya dialek yang
menyimpang(lahn) dalam masyarakat dimana orang Arab sebagai
kelompok minoritas. Karena terjadinya lahn yang disebabkan oleh terjadinya
percampuran antara orang Arab dan non-Arab(mawali) dikota-kota
besar semisal Irak dan Syam,[3] maka wajar jika bahasa
Arab yang dipandang valid (al-Lughah al-Shahihah) dicari dari
orang-orang Badui khususnya dari kabilah-kabilah yang masih terisolir dan
masyarakatnya masih memelihara insting dan“kemurnian” pelafalannya.
Ahmad Amin (1878-1954) menyebutkan, ada tiga tahap kodifikasi
bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus bahasa Arab.[4]
1.
Tahap Kodifikasi Non-Sistemik. Pada tahap ini, seorang ahli bahasa
biasa melakukan perjalanan menuju desa-esa. Lalu, ia mulai mencari data dengan cara mendengar
secara langsung perkataan warga Badui yang kemudian ia catat di
lembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus.
2.
Tahap Kodifikasi Tematik. Pada tahap kedua, para ulama yang
tengah mengumpulkan data mulai berfikir untuk menggunakan teknik penulisan
secara tematis. Data terkumpul, mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus
tematik.
3.
Tahap Kodifikasi Sistematik. Pada tahap ketiga, penyusunan kamus
mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para
pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui.
Karena itu, proses kodifikasi
pada masa Abbasiyah lebih mengarahkan periwayatan bahasa kepada orang
Badui (kodifikasi non sistemik). Jadi, pada awalnya, proses pemaknaan kosa kata
dalam bahasa Arab bermula melalui metode pendengaran (al-Sima’i), yaitu
pengambilan riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung
perkataan orang-orang Badui.
Setelah melalui metode pendengaran (kodifikasi nonsistemik),
selanjutnya menggunakan metode tematik. Dalam metode tematik, kosa kata
yang sudah terhimpun dikelompokkan menurut tema kelompok kata. Ada himpunan
kata tentang, binatang (al-hayawan), himpunan kata tentang negara-negara
(buldan) dan lain-lain.
Tahap berikutnya adalah dengan kodifikasi
sistematik. Dalam tahap ini penyusunan dilakukan lebih sistematis untuk
memudahkan aplikasinya. Kodifikasi disusun menurut sistem tertentu, seperti
yang dilakukan oleh Khalil bi Ahmad. Beliau menyusun sebuah mu’jam yang dinamai
al’ain. Mu’jam tersebut disusun berdasarkan titik artikulasi setiap
huruf. Diawali dari huruf yang paling dalam titik artikulasinya yaitu ‘ain
dan diakhiri huruf ya.[5] Khalil
pun menggunakan analogi (Qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan
teori-teori tertentu yang dibuat oleh para ahli bahasa. Salah satunya, metode
Qiyas ala Khalil yang mengedepankan derivasi kata melalui teknik khusus
yang dikenal dengan Taqlibul Kalimah. Khalil berinteraksi dengan 28
huruf hijaiyah sebagai kumpulan dasar (Majmu’ah as - Ashliyah) yang
dari sana dihasilkan setiap percabangan yang terdiri dari dua hingga lima unsur.
Kata-kata dalam bahasa Arab, menurut metode Khalil, adakalanya terdiri dari
duahuruf (Tsuna’i), tiga huruf (Tsulatsi),empat huruf (Ruba’i),dan
lima huruf (Khumasi). Disamping itu, ada huruf tambahan yang bisa
dibuang dan mengembalikkan kata Mazid (yang berimbuhan) kepada
kata Mujarrad (bentuk asli tanpa tambahan). Atas dasar
itu, ia mulai menyusun huruf hijaiyah yang satu dengan yang lain menjadi kata
yang terdiri daridua, tiga, empat, atau lima huruf dengan memanfaatkan segala
kemungkinan yang ada,misalnya : bada, daba, abada, bada’a, da’aba,dan
seterusnya dengan tanpa melakukan pengulangan. Teknik ini yang disebut
dengan Taqlib al-Kalimah.[6]
Menurut sejarawan, kemungkinan
penyusunan huruf ini (mulai dari dua hingga lima huruf) mencapai 12.305.412
kata atau gabungan huruf. Kemudian Khalil meneliti kata-kata atau gabungan
huruf ini. Jika didapati kata itu digunakan (Musta’mal) dalam kenyataan
semisal dharaba maka kata itu didokumentasikan dan dibukukan dalam kamus,
sedang yang dalam kenyataan tidak digunakan semisal jasyasya, diabaikan
(Muhmal).
Selain pada kosa kata, Khalil
pun menghimpun karya sastra terutama syair. Namun usahanya tidak segemilang
menghimpun kosa kata yang menghasilkan kamus al-‘ain. Ia hanya melakukan
seleksi beberapa syair bukan berupa kodifikasi yang sampai pada masa kita.
Adapun kodifikasi karya sastra pada masa Abbasiyah yang sampai pada zaman kita
diantanya: Mufadlolayat yang menghimpun 128 qosidah dari 67 penyair yang
terdiri dari 6 penyair muslim, 14 muhadlramun dan 47 penyair yang hidup
dan wafat dalam agama jahiliyah.[7]
E.
Perkembangan
Tata Bahasa dan Alirannya: Bashrah, Kufah
Tuntutan untuk mengajar bahasa
Arab kepada muslim yang tidak berbahasa Arab turut melahirkan ilmu bahasa,
yaitu tata bahasa atau nahwu.[8]
Perkembangan tata bahasa Arab
berpusat di Bashrah, Irak. Kenapa di Irak? Karena Irak bagian dari bangsa besar
yaitu Persia, yang memiliki peradaban dalam tradisi keilmuan dan kodifikasinya.
Terlebih lagi setelah Irak menjadi bagian dari khilafah Islam yang membawa
spirit cinta ilmu.[9]
Sebenarnya kajian tata bahasa
Arab sudah dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad,
yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas
dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan
tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya
metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya
usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan, yakni pada masa
Abbasiyah, ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas,
mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan
kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi atau qiyas.
Selain aliran Bashrah, pada
masa Abbasiyah muncul aliran lain sebagi rival yaitu aliran Kufah. Antara dua
aliran ini terpaut waktu sekitar 1 abad. Tokoh sentral aliran Basrah adalah Isa
bin Amr al-Tsa’labi, Khalil bin Ahmad, Ishaq Al-Hadlromi, dan Sibawih. Sedang
tokoh sentral aliran Kufah diantaranya: Abu Ja’far al-Ruasiy, Kisa’iy, Asma’i
dan Farra’. Ciri aliran Bashrah adalah penggunaan analogi atau qiyas dalam
merumuskan kaidah tata bahasa. Sedangkan aliran Kufah menolak penggunaan
analogi dan bertumpu pada metode sima’i.[10]
Karya ulama Bashrah dalam
bidang tata bahasa adalah kitab al-Jaami dan al-Ikmaal, yang
ditulis oleh Isa bin Amr Al-Tsaqafi yang wafat pada 145 H. karya lainnya adalah
al-kitab yang ditulis oleh Sibawih. Dalam al-Kitab, Sibawih menghimpun kajian
tata bahasa dari para pendahulunya seperti Khalil bin Ahmad, Yunus dan Isa bin
Amr Al-Tsaqafi.[11]
Sedangkan Karya ulama Kufah
diantaranya Kitab
al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an
yang ditulis oleh Al-Ruasi.
Selain perbedaan yang telah
disebutkan dia atas, berikut ini adalah perdaan laiinya antara aliran Bashrah
dan Kufah:
DAFTAR PUSTAKA
al-Jabiri ,Muhammad Abed. 1989.
Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. 2003.
Yogyakarta: IRCiSoD,
Amin ,Ahmad, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah
Hindawi, 2012),jilid 2
Dhaif ,Syauqi, Tarikh Adab
Al-Arabi, Kairo: Daru Al-Ma’arif,t.t.
Mustofa ,Agus, Membonsai
Islam, Surabaya: Padma Press
Suryanegara ,Ahmad Mansur, Api
Sejarah, Bandung: Suryadinasti, 2014, jilid 1
[1]Agus
Mustofa, Membonsai Islam, Surabaya: Padma Press, t.t, hlm. 184.
[2]
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Suryadinasti, 2014,
jilid 1, hlm. 68.
[3]
Syauqi Dhaif, Tarikh Adab Al-Arabi, Kairo: Daru Al-Ma’arif,t.t, hlm. 57
[4] Ahmad
Amin, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah Hindawi, 2012),jilid 2,
hlm. 590
[5]
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah Hindawi,
2012),jilid 2, hlm. 592
[6] Muhammad Abed al-Jabiri. 1989. Formasi
Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD, hlm. 131
[7]
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah Hindawi,
2012),jilid 2, hlm. 599
[8]
Ibid, hlm. 602
[9]
Op. cit
[10]
Ibid, hlm. 603
[11]
Ibid, hlm. 612
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
0 komentar:
Posting Komentar