Rabu, 22 Maret 2023 | By: namakuameliya

Perkembangan Sastra Arab pada Masa Bani Abbasiyah

 

Perkembangan Sastra Arab pada Masa Bani Abbasiyah

 

A.    Sejarah Singkat Bani Abbasiyah.

Bani abbasiyah sebenarnya adalah gerakan bawah tanah yang sudah lama berlangsung selama pemerintahan bani umayyah. Mereka berpendapat bahwa yang berhak menjadi pemimpin dalam kekhalifahan Islam  mestinya bukan bani umayyah, melainkan bani abbasiyah. Yang merupakan jalur keturunan Rasulullah saw.

Bani abbasiyah diambilkan dari nama salah satu paman Rasulullah yaitu Abbas bi Abdul Muttholib, yang menurunkan keluarga Bani Abbasiyah. Kalau dirunut ke atas, jalur ini bertemu dengan bani Umayyah pada kakek mereka yaitu Abd. Manaf.

Abd. Manaf mempunyai anak Hasyim yang menurunkan Abdul Mutthallib dan seterusnya sampai Rasulullah. Sedangkan anak keduanya Abd. Syams yang menurunkan Umayyah dan kemudian  salah satunya adalah Mawiyah.

Sejak awal, keturunan Hasyim ini berpendapat bahwa setelah Rasulullah wafat, yang berhak menggantikan  kepemimpinan adalah dari keluarga mereka ini. Mereka menyebutnya sebagai ahl bayt, jalur keturunan Rasulullah. Termasuk diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi Rasulullah tidak bersikap demikian, karena kepemimpinan memang bukan milik keluarga. Melainkan milik umat secara umum. Sehingga akhirnya Rasulullah justru menyiratkan Abu Bakar sebagai penggantinya. Begitulah sampai khulafa al-rasyidin.

Bani Abbasiyah memperoleh momentumnya ketika pemerintahan Bani Umayyah semakin lemah. Maka salah satu keturunannya yang bernama Abdullah Al-safah  mendeklarasikan pendirian pemerintahan Bani Abbasiyah pada tahun749 M, setelah bergerilya selama bertahun-tahun secara rahasia.

Abbas melakukan perang melawan khilafah Bani Umayyah yang  sudah lemah yaitu Marwan bin Muhammad. Ia berhasil memenangkan peperangan itu. Dan kemudia merebut seluruh wilayah yang menjadi kekuasaan Bani Umayyah, kecuali Andalusia yang masih dikuasai Bani Umayyah. Maka, Bani Abbas pun memulai kekuasaannya seiring dengan runtuhnya Bani Umayyah. Abul Abbas Abdullah bin Muhammad pun menjadi khalifah pertamanya dan memindahkan ibu kotanya ke Anbar. Ia memerintah selama empat tahun

Pemerintahannya bertumpu pada keluarga besar Abbasiyah. Ia memilih pejabat dan para gubernurnya dari keluarganya sendiri. Membangun fanatisme golongan yang kuat  sebagai pendukung rezimnya. Dan secara militer ia didukung  oleh panglima yang hebat yaitu Abu Muslim Khurosani.

Maka bangkitlah sebuah rezim  baru dalam kekhalifahan Islam, yang berkuasa dalam kurun waktu yang sangat panjang, sekitar 524 tahun. Yaitu sejak berdirinya tahun 749 M sampai runtuh pada 1258 M, diserang oleh pasukan Mongolia. Kerajaan Islam kemudian terpecah belah menjadi Negara-negara kecil hingga sekarang.

Kekuasaan Abbasiyah terbagi menjadi dua periode. Yang pertama adalah periode kebangkitan beserta segala prestasi yang gemilang. Fase ini berjalan dalam kurun waktu sekitar 112 tahun, dipimpin 10 orang khalifah yang berlangsung secara turun temurun.

Sedangkan fase kedua adalah fase melemahnya Abbasiyah yang berlangsung selama hamper 400 tahun yaitu mulai tahun 861 M sampai tahun 1258 M. selama periode ini Bani Abbasiyah mengalami pergantian khalifah sebanyak 27 kali. Masa ini adalah masa melemahnya kekuasaan Abbasiyah sampai lenyapnya kekuasaan mereka, dengan diwarnai banyak intervensi militer dari bangsa Turki.[1]

Selain pembagian fase seperti di atas, terdapat juga pembagian periode  Bani Abbasiyah berdasarkan pusat pemerintahannya. Periode pertama, Kufah (133-149 H/ 750-766 M dan Kedua Periode Baghdad (149- 657 H/ 766- 1258 M).  Kehadiran Bani Abbasiyah di Baghdad melanjutkan kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib yang membangun ibu kota pemerintahannya di Kufah pada abad ke-7. [2]

 

B.   Perkembangan Sastra Arab pada Masa Abbasiyyah

     Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Syi’ir

Di masa ini, syi’ir mengalami perkembangan yang begitu pesat. Kondisi sosial politik di atas sangat mempengaruhi perkembangan syi’ir. Secara terperinci terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bangkit dan berkembangnya syi’ir di masa ini. Faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1) Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan. Khalifah ini selalu berupaya mendukung kegiatan keilmuan, seperti memberi penghargan tinggi bagi sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dan bidangnya. Ia telah memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para penerjamah yang ditugaskan di Bayt- al-Hikmah.

2) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan.

3) Adanya respon umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional.

4) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, dimana tiap-tiap golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.

5) Situasi politik saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. Itulah para khalifah Abbasiyah telah mengalihkan perhatian rakyat pada pentingnya ilmu pengetahuan yang memang begitu diminati masyarakat Arab pada waktu itu.

6) Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah memperkenankan kepada khalifah Al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kuno yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.

 

 

     Tujuan Syi’ir

Setiap syi’ir mempunyai tujuan masing-masing sesuai dengan masanya. Di masa Abbasiyyah ini pun, syi’ir memiliki beberapa tujuan layaknya syi’ir di masa yang jahili dan shodrul Islam. Adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

     a) Al Washfu

Penyairnya: Abu ‘Ubadah al- Walid yang masyhur dengan nama: Buhturi. Contoh: أتاك الربيع الطلق يختال ضاحكا من الحسن حتى كاد أن يتكلما

     b) Al Madhu

Penyairnya: Abu Thoyyib Ahmad Ibn Husain, masyhur dengan nama Mutanabbi. Contoh: على قدر أهل العزم تأتي العزائم و تأتي على قدر الكرام المكارم

     c) Al Ghozal

Penyairnya: Abbas Ibn Ahnaf. Contoh: أزين نساء العالمين أجيبي دعاء مشوق بالعراق غريب

     d) Al Fakhr wal Hammasah

Penyairnya: habib ibn Aus ath- Thoi yang dikenal dengan nama abu tamam. Contoh: السيف أصدق أنباء من الكتب في حده الحد بين الجد و اللعب

     e) Menceritakan Kezuhudan

Penyairnya: Isma’il Ibn al- Qasim, masyhur dengan Abu al- ‘Atahiyah.

         Contoh: يا نفس قد أزف الرحيل وأظلك الخطب الجليل

     f)  Angan-angan tentang hidup dan mati

    Penyairnya: Abu al-‘Ala Ahmad Ibn ‘Abdillah al- Ma’arriyy. Contoh:

غير مجد في ملتي واعتقادي نوح باك ولا ترنم شاد

وشبيه صوت النعي إذا قيس بصوت البشير في كل ناد

أبكت تلككم الحمامة أم غنت على فرع غصنها المياد

صاح، هذي قبورنا تملأ الرحب فأين القبور من عهد عاد؟

خفف الوطاء، ما أظن أديم ال أرض الإمن هذه الأجساد

سر إن اسطعت في الهواء رويدا لااختيالا على رفات العبادت

وقبيح بنا وإن قدم العهد هوان الاباء والأجداد

رب لحد قد صار لحدا مرارا ضاحك من تزاحم الأضداد

 

C. Prosa di Masa Abbasiyyah

Sebagaimana syi’ir, prosa pun mengalami perkembangan yang sangat pesat di masa ini. Dalam genre prosa, muncul prosa pembaruan (النثر التجديدي) yang ditokohi oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (ألف ليلة و ليلة). Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan prosa antara lain:

1) Berkembangnya kebudayaan karena pembelajaran-pembelajaran Islam dan memperoleh manfaat dari ilmu-ilmu umat lain, seperti Paris, Hindi dan Yunani dengan jalan tarjamah

2) Masa Abbasiyyah adalah masa yang panjang, sehingga ini membantu dalam ketetapan terhadap pikiran, bacaan dan pembahasan.

3) Keberanian para khalifah dan kedekatan mereka dengan orang terkemuka dalam penulisan prosa

     Pembagian Prosa Masa Abbasiyah

     1. Korespondensi Kekhalifahan

Korespondensi kekhalifahan dipercayakan kepada dewan atau sekretaris istana. Penulis terkenal antara lain: Abu Al FadhaMuhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).

     2. Esai Sastra

Esay sastra disusun penulisnya untuk melukiskan perbincangan, melaporkan pidato, menuturkan kisah atau menguraikan tema keIslaman, moral atau kemanusiaan. Yang termashur antara lain Risalah Al Ghufron (pengampunan) yang ditulis oleh Abu Al A’la Al Ma’arri (w 449H/ 1059M), yang melukiskan status perbincangan imajiner dengan penghuni surga dan penghuni neraka.

     3. Maqamat

Badi al-Zaman al-Hamadzani dikenal sebagai pencipta maqamah, sejenis anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesamping kan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan bahasanya. Sebagai contoh, kisah-kisah bebahasa Spanyol dan Italia yang bernuansa realis atau kepahlawanan memperlihatkan kedekatan yang jelas dengan mahqamah Arab.

 

D.    Kodifikasi Bahasa dan Sastra Arab

Proses pengumpulan dan kodifikasi bahasa pada masa Abbasiyah bertolak dari kekhawatiran terjadinya kerusakan bahasa karena menyebarnya dialek yang menyimpang(lahn) dalam masyarakat dimana orang Arab sebagai kelompok minoritas. Karena terjadinya lahn yang disebabkan oleh terjadinya percampuran antara orang Arab dan non-Arab(mawali) dikota-kota besar semisal Irak dan Syam,[3] maka wajar jika bahasa Arab yang dipandang valid (al-Lughah al-Shahihah) dicari dari orang-orang Badui khususnya dari kabilah-kabilah yang masih terisolir dan masyarakatnya masih memelihara insting dan“kemurnian” pelafalannya.

 

Ahmad Amin (1878-1954) menyebutkan, ada tiga tahap kodifikasi bahasa Arab hingga lahir kamus-kamus bahasa Arab.[4]

1.      Tahap Kodifikasi Non-Sistemik. Pada tahap ini, seorang ahli bahasa biasa melakukan perjalanan menuju desa-esa. Lalu, ia mulai mencari data dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga Badui yang kemudian ia catat di lembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus.

2.      Tahap Kodifikasi Tematik. Pada tahap kedua, para ulama yang tengah mengumpulkan data mulai berfikir untuk menggunakan teknik penulisan secara tematis. Data terkumpul, mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus tematik.

3.      Tahap Kodifikasi Sistematik. Pada tahap ketiga, penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui.

 

Karena itu, proses kodifikasi pada masa Abbasiyah lebih mengarahkan periwayatan bahasa kepada orang Badui (kodifikasi non sistemik). Jadi, pada awalnya, proses pemaknaan kosa kata dalam bahasa Arab bermula melalui metode pendengaran (al-Sima’i), yaitu pengambilan riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung perkataan orang-orang Badui.

 

Setelah melalui  metode pendengaran (kodifikasi nonsistemik), selanjutnya menggunakan metode tematik. Dalam metode tematik, kosa kata yang sudah terhimpun dikelompokkan menurut tema kelompok kata. Ada himpunan kata tentang, binatang (al-hayawan), himpunan kata tentang negara-negara (buldan) dan lain-lain.

 

Tahap berikutnya adalah dengan kodifikasi sistematik. Dalam tahap ini penyusunan dilakukan lebih sistematis untuk memudahkan aplikasinya. Kodifikasi disusun menurut sistem tertentu, seperti yang dilakukan oleh Khalil bi Ahmad. Beliau menyusun sebuah mu’jam yang dinamai al’ain. Mu’jam tersebut disusun berdasarkan titik artikulasi setiap huruf. Diawali dari huruf yang paling dalam titik artikulasinya yaitu ‘ain dan diakhiri huruf ya.[5] Khalil pun menggunakan analogi (Qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan teori-teori tertentu yang dibuat oleh para ahli bahasa. Salah satunya, metode Qiyas ala Khalil yang mengedepankan derivasi kata melalui teknik khusus yang dikenal dengan Taqlibul Kalimah. Khalil berinteraksi dengan 28 huruf hijaiyah sebagai kumpulan dasar (Majmu’ah as - Ashliyah) yang dari sana dihasilkan setiap percabangan yang terdiri dari dua hingga lima unsur. Kata-kata dalam bahasa Arab, menurut metode Khalil, adakalanya terdiri dari duahuruf (Tsuna’i), tiga huruf (Tsulatsi),empat huruf (Ruba’i),dan lima huruf (Khumasi). Disamping itu, ada huruf tambahan yang bisa dibuang dan mengembalikkan kata  Mazid (yang berimbuhan) kepada kata  Mujarrad  (bentuk asli tanpa tambahan). Atas dasar itu, ia mulai menyusun huruf hijaiyah yang satu dengan yang lain menjadi kata yang terdiri daridua, tiga, empat, atau lima huruf dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang ada,misalnya : bada, daba, abada, bada’a, da’aba,dan seterusnya dengan tanpa melakukan pengulangan. Teknik ini yang disebut dengan Taqlib al-Kalimah.[6]

 

Menurut sejarawan, kemungkinan penyusunan huruf ini (mulai dari dua hingga lima huruf) mencapai 12.305.412 kata atau gabungan huruf. Kemudian Khalil meneliti kata-kata atau gabungan huruf ini. Jika didapati kata itu digunakan (Musta’mal) dalam kenyataan semisal dharaba maka kata itu didokumentasikan dan dibukukan dalam kamus, sedang yang dalam kenyataan tidak digunakan semisal  jasyasya, diabaikan (Muhmal).

Selain pada kosa kata, Khalil pun menghimpun karya sastra terutama syair. Namun usahanya tidak segemilang menghimpun kosa kata yang menghasilkan kamus al-‘ain. Ia hanya melakukan seleksi beberapa syair bukan berupa kodifikasi yang sampai pada masa kita. Adapun kodifikasi karya sastra pada masa Abbasiyah yang sampai pada zaman kita diantanya: Mufadlolayat yang menghimpun 128 qosidah dari 67 penyair yang terdiri dari 6 penyair muslim, 14 muhadlramun dan 47 penyair yang hidup dan wafat dalam agama jahiliyah.[7]

 

E.     Perkembangan Tata Bahasa dan Alirannya: Bashrah, Kufah

Tuntutan untuk mengajar bahasa Arab kepada muslim yang tidak berbahasa Arab turut melahirkan ilmu bahasa, yaitu tata bahasa atau nahwu.[8]

Perkembangan tata bahasa Arab berpusat di Bashrah, Irak. Kenapa di Irak? Karena Irak bagian dari bangsa besar yaitu Persia, yang memiliki peradaban dalam tradisi keilmuan dan kodifikasinya. Terlebih lagi setelah Irak menjadi bagian dari khilafah Islam yang membawa spirit cinta ilmu.[9]

Sebenarnya kajian tata bahasa Arab sudah dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan, yakni pada masa Abbasiyah, ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi atau qiyas.

Selain aliran Bashrah, pada masa Abbasiyah muncul aliran lain sebagi rival yaitu aliran Kufah. Antara dua aliran ini terpaut waktu sekitar 1 abad. Tokoh sentral aliran Basrah adalah Isa bin Amr al-Tsa’labi, Khalil bin Ahmad, Ishaq Al-Hadlromi, dan Sibawih. Sedang tokoh sentral aliran Kufah diantaranya: Abu Ja’far al-Ruasiy, Kisa’iy, Asma’i dan Farra’. Ciri aliran Bashrah adalah penggunaan analogi atau qiyas dalam merumuskan kaidah tata bahasa. Sedangkan aliran Kufah menolak penggunaan analogi dan bertumpu pada metode sima’i.[10]

Karya ulama Bashrah dalam bidang tata bahasa adalah kitab al-Jaami dan al-Ikmaal, yang ditulis oleh Isa bin Amr Al-Tsaqafi yang wafat pada 145 H. karya lainnya adalah al-kitab yang ditulis oleh Sibawih. Dalam al-Kitab, Sibawih menghimpun kajian tata bahasa dari para pendahulunya seperti Khalil bin Ahmad, Yunus dan Isa bin Amr Al-Tsaqafi.[11]

Sedangkan Karya ulama Kufah diantaranya  Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam’, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Qur’an yang ditulis oleh Al-Ruasi.

Selain perbedaan yang telah disebutkan dia atas, berikut ini adalah perdaan laiinya antara aliran Bashrah dan Kufah:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

al-Jabiri ,Muhammad Abed. 1989. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD,

Amin ,Ahmad, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah Hindawi, 2012),jilid 2

Dhaif ,Syauqi, Tarikh Adab Al-Arabi, Kairo: Daru Al-Ma’arif,t.t.

Mustofa ,Agus, Membonsai Islam, Surabaya: Padma Press

Suryanegara ,Ahmad Mansur, Api Sejarah, Bandung: Suryadinasti, 2014, jilid 1



[1]Agus Mustofa, Membonsai Islam, Surabaya: Padma Press, t.t, hlm. 184.

[2] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Suryadinasti, 2014, jilid 1, hlm. 68.

[3] Syauqi Dhaif, Tarikh Adab Al-Arabi, Kairo: Daru Al-Ma’arif,t.t, hlm. 57

[4] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah Hindawi, 2012),jilid 2, hlm. 590

[5] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah Hindawi, 2012),jilid 2, hlm. 592

[6] Muhammad Abed al-Jabiri. 1989. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. 2003. Yogyakarta: IRCiSoD, hlm. 131

 

 

[7] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam. (Kairo: Muassasah Hindawi, 2012),jilid 2, hlm. 599

[8] Ibid, hlm. 602

[9] Op. cit

[10] Ibid, hlm. 603

[11] Ibid, hlm. 612

 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction