Rabu, 22 Maret 2023 | By: namakuameliya

REALITIVITAS BAHASA

 

REALITIVITAS BAHASA

Makalah

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Sosiolinguistik


 

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PROGRAM PASCA SARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2016

BAB I

PENDAHULUAN

A.    RELITIVITAS BAHASA

Realitivitas bahasa bukanlah hal baru dalam ilmu kebahasaan khususnya linguistic walaupun pesona ilmu ini sempat memudar pada abad ke 20an namun pada tahun 1970an ilmu ini kembali muncul. Orang berbicara dengan cara yang berbeda karena setiap orang berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa menawarkan cara mengungkapkan ( makna ) dunia luar disekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. [1]

Adapun beberapa ilmuan yang mengemukakan pandangannya mengenai realitivitas bahasa adalah:

a.      Teori Realitivitas Bahasa Wilhelm Von Humboldt

Wilhelm Von Humboldt ( 1767-1835) merupakan bapak realitivitas bahasa , menurutnya ada hubungan yang sangat erat antara masyarakat, bahasa dan budaya. Bahasa adalah alat berpikir, yang sekaligus berpengaruh terhadap pola-pikir. Selanjutnya ia menyatakan bahwa setiap bahasa berbeda dari bahasa lainnya, dan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua entitas tak terpisahkan. Dua istilah kunci di sini adalah pikiran dan bahasa. Bahkan von Humboldt menegaskan bahwa struktur bahasa berpengaruh terhadap perkembangan pola-pikir manusia, dalam setiap bahasa terkandung pandangan-dunia yang khas. Manusia selalu berhadapan dengan realitas diluar dirinya, tetapi realitas itu hadir dan muncul dalam pikirannya melalui medium bahasa yang khas. Maka pandangan-dunia seseorang, dan dengan demikian juga suatu masyarakat, ditentukan oleh bahasa pertama mereka (Slobin 1996: 70). Singkatnya, dalam pandangan Humboldtian, relativitas bahasa berarti determinisme bahasa: suatu bahasa secara mutlak menentukan pola pikir penuturnya.[2]

b.      Teori Realitivitas Bahasa Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure (1857-1913). Menurut de Saussure, setiap kata merupakan tanda (sign); dan setiap tanda selalu terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). de Saussure menyatakan bahwa bahasa, dalam pengertiannya yang dinamis, bukanlah proses penamaan (name-giving), yang bertolak dari asumsi bahwa ide atau makna lebih dulu ada sebelum kata. Sebaliknya, setiap kata hadir sekaligus sebagai kesatuan penanda-petanda atau leksikalisasi. Setiap bahasa memiliki leksikalisasi yang berbeda. Contoh yang terkenal dari de Saussure  adalah perbedaan leksikalisasi antara bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis, mouton berarti domba dan daging domba sekaligus, yang masing-masing dibedakan menjadi sheep dan mutton dalam bahasa Inggris. Dalam contoh ini, leksikalisasi bukan representasi dari realitas obyektif di luar sana, melainkan representasi dari persepsi penutur bahasa yang ditentukan oleh bahasanya. Dalam kaitannya dengan kesatuan penanda-petanda, leksikalisasi sering bergandengan dengan gramatisasi. Istilah yang terakhir ini berarti munculnya konsep menjadi penanda gramatik. Misalnya, konsep waktu muncul sebagai kala (tense) dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab, tetapi tidak dalam bahasa Indonesia. Perbedaan leksikalisasi dan gramatisasi ini menembus la langue (dari setiap bahasa), yang merupakan sistem bahasa yang berada dalam pikiran kolektif penutur bahasa. Akibatnya, karena setiap bahasa memiliki sistem-ungkap leksikal dan gramatikal yang berbeda dari bahasa lainnya, maka muncullah relativitas bahasa.

c.       Teori Realitivitas Edward Sapir

Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga menyatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahhulu. Pendekatan Sapir-Whorf, yang lainnya  menyatakan bahwa persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki

d.     Teori Realitivitas Bahasa Benjamin Lee Whorf

Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain. Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan bahasanya. Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk mengungkapkan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang, bukan kata-kata. Hipotesis Sapir-Whorf tampak lebih memfokuskan pada hubungan antara tata bahasa dan pikiran manusia, bukan kata-kata (Chaer, 2009:53). Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, Whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa beragam yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Hipotesis relativitas linguistik beranggapan bahwa bahasa hanya refleksi dari pikiran yang memunculkan makna. Bahasa memengaruhi pikiran, sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya. Determinisme linguistik adalah klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat memengaruhi cara seseorang berpikir atau mempersepsi dunia. Whorf sangat terkesan oleh kenyataan bahwa masing-masing bahasa menekankan pada perbedaan struktur berdasarkan perbedaan aspek dunia sebagai landasan pembentukan struktur tersebut. dia menyakini bahwa penekanan itu memberi pengaruh cukup besar terhadap cara penutur bahasa berpikir tentang dunia. Whorf meyakini bahwa kehidupan suatu masyarakat dibangun oleh sifat-sifat bahasa yang digunakan anggota masyarakat tersebut. Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya grammar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers” (Grammar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut).

e.      Teori Realitivitas Bahasa Sapir-Whorf dan Benjamin Lee Whorf

Ilmuan realitivitas selanjutnya Sapir-Whorf dan Benjamin Lee Whorf hipotesisnya adalah sebuah pernyataan dalam teori linguistik relativitas yang mengatakan bahwa ada hubungan kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur. Lalu, dalam proses berbahasa, terbukti bahwa kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Pola budaya suatu masyarakat, menurut hipotesis ini, mampu mengkonstruk klausa sehingga memberikan variasi informasi dan kesantunan suatu bahasa. Hipotesis ini didasari oleh penelitian Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf terhadap suku Hopi di Afrika. [3].

Berikut adalah keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Sapir dan Whorf melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.

a)      Hipotesis pertama adalah linguistic relativity hypothesis (hipotesis relativitas bahasa) yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.

b)     Hipotesis kedua adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir. Untuk memperkuat hipotesisnya, Sapir dan Whorf memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh yang diambil adalah kata salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju tersebut tetap dinamakan salju. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat, orang Eskimo memberi label yang berbeda pada objek salju tersebut. Banyak lagi contoh yang lain, misalnya orang Hanunoo di Filipina memiliki kira-kira 92 nama untuk berbagai jenis rice (padi). Orang Arab memiliki beberapa nama untuk camels (unta). Whorf merasa bahwa terminologi/istilah yang sangat beragam tersebut menyebabkan penutur bahasa tersebut mempersepsi dunia secara berbeda-beda dari seorang yang hanya memiliki satu kata untuk satu kategori tertentu. Sapir menolak pandangan yang menyatakan bahwa berpikir dan bahasa merupakan dua entitas berbeda atau berdiri sendiri. Sapir dan Whorf sepakat bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang. Jalan pikiran seseorang sangat ditentukan oleh bahasanya. Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa, Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi dioraganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit itu akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya bibit tidaklah penting. Yang penting adalah peristiwa menanam dan peristiwa tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan realitas hidup dengan cara-cara yang berlainan. Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang pun yang melihat satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita. ini adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini; dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalkan. Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula. Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwabahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu sama lain.karena yang menentukan jalan pikiran seseorang adalah tata bahasa bukan kata-kata.oleh karena itu, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi antara yang satu dengan yang laintetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.kenyataannya bahwa seseorang berbicara atau mengungkapkan pendapatnya dengan cara/bahasa yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda pula.[4]

 

B.     HUBUNGAN ANTARA Bahasa dan Pikiran

Para ahli linguistic dalam kajian widhiarso menguraikan keterkaitan bahasa dan pikiran antara lain :

a.      Bahasa mempengaruhi pikiran

Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat terkondisikan oleh kata yang manusia gunaka. Misalnya orang jepang mempunyai pemikiran yang sangat tinggi karena orang jepang memiliki banyak kosa kata dalam menjelaskan realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail mengenai realitas.  Contoh khasus yang terjadi di Indonesia terhadap bahasa sunda dimana bahasa sunda mempunyai kata yang bermakna dalam menyebut Makan. Dan dalam pemikirannya orang sunda lebih kreatif dalam melakukan berbagai hal misalnya dalam industry kreatif dan kiliner yang beraneka ragam.[5]

b.      Pikiran mempengaruhi bahasa

Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif jean piaget. Piaget mengobservasi perkembangan aspek kognitif anak akan  mempengaruhi bahasa yang digunakan  semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Contohnya bahasa-bahasa ilmiah.

c.       Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi

Hubungan ini dikemukakan oleh benyamin vigotsky , seorang ahli semantic dari rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan vigotsky terhadap kedua pendapat diatad banyak diterima oleh kalangan psikologis.

Sapir dan whorf berusaha untuk membuktikan bahwa memang terdapat hubungan antara bahasa dan pikiran. Namun hingga sekarang pendapat ini masih sering diperdebatkan oleh berbagai ilmuan. Salah satu fakta yang di paparkan adalah dalam kehidupan sehari-hari seorang bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal  sudah mampu menalar  lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka.

Bukti kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak  memahami struktur symbol bahasa. Anak-anak ini dapat menemukan isyarat gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka. [6]

BAB II

KESIMPULAN



[1] Shihab muhamad “realivitas linguistic dank ode meluas dan terbatas “ pdf electronic library program pasca sarjana universitas mercu buana. Diunduh pada tanggal 21 april 2016

[2]hipotesis sapir-whorf dan ungkap-verbal keagamaan” pdf didownload pada tanggal 21 april 2015 pukul 20.00

[4]

[5]  Shihab muhamad “realivitas linguistic dank ode meluas dan terbatas “ pdf electronic library program pasca sarjana universitas mercu buana. Diunduh pada tanggal 21 april 2016

[6] Widhiasono , w. (2005) “ hubungan antara bahasa dan pikiran “ perpustakaan digital universitas gajah mada. Di unduh pada 21 april 2016


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Introduction