Rabu, 22 Maret 2023 | By: namakuameliya

SASTRA MASA BANI ABBASAIYAH

 

PENDAHULUAN

 

Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang: ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim.[1]

Kekhalifahan Abbasiyah dianggap sebagai masa keemasan islam (the golden age) baik dalam bidang politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan segala bidang lainnya mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di bidang sastra. Sastra mulai berkembang saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Puncaknya, termasuk dalam perdagangan, terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar. Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada masa pencerahan di Eropa.

 Philip K Hitti dalam bukunya “History of The Arabs”  mengatakan, pada masa itu sastra mulai dikembangkan oleh Abu Uthman Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad. Al Jahiz dikenal dengan karyanya yang berjudul Kitab Al Hayawan atau Kitab Hewan. Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Ia pun menulis karya lain, Kitab Al Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia.

Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar abad ke-10.

Latar belakang Lahirnya Gerakan Sastra

Pembangunan yang dibangun oleh Al-Manshur masih berlanjut sampai sebelum ia wafat. Ia membangun kota Al-Manshur dan tumbuh menjadi pusat kota perdagangan dan politik internasional. Kota ini menjadi pewaris kekuatan dan prestise kota Cresiphon, Babilonia, Nineveh, Ur dan ibukota-ibukota bangsa Timur Kuno lainnya. Lokasi ini membuka jalan bagi tumbuhnya gagasan dan pemikiran dari Timur, di mana khalifah membangun pemerintahan dengan meniru model Chosroisme Sasaniyah dan Islam Arab jatuh dalam pengaruh Persia. Pengaruh Persia memperhalus sisi-sisi kasar kehidupan primitif Arab dan melapangkan jalan bagi era baru yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kepelajaran. Maka dari itu, orang Arab hanya mampu mempertahankan warisan budaya aslinya, Islam menjadi agama negara dan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi negara.

Ada sebuah gerakan di zaman itu, bertujuan untuk menentang superioritas yang diklaim oleh orang Islam keturunan arab. Gerakan itu bernama Syu’ubiyah atau nasionalisme yang diambil dari kosakata di dalam ayat alquran (QS:49:13) dan bertujuan untuk menanamkan rasa persaudaraan dan persamaan di antara semua orang Islam. Namun secara umum gerakan syu’ubiyah merupakan perlawanan sastra. Gerakan ini seperti yang ditulis oleh Philip K Hitti dalam History of The Arabs,

Gerakan ini mengolok-olok klaim ornag Arab tentang superioritas intelektual mereka, dan mengklaim superioritas orang non-Arab dalam bidang puisi dan sastra.             

Gerakan non-Arab ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Al-Biruni dan Hamzah Al-Ishfahani. Sedangkan gerakan kelompok Arab diwakili oleh tokoh-tokoh Arab dan Persia seperti Al-Jahidz, Ibn Durayd, Ibn Qutaybah dan Al-Baladhuri.

 

PEMBAHASAN

 

Sastra Masa Abbasiyah

a. Al ‘athifah (emosi) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

b.Alkhoyaal (image) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

1. Lucu (di istana Harun Ar-Rasyid).

2. Romantis (di istana Harun Ar-Rasyid).

3. Fiktif

4. Logis dan menarik

c. Alfikroh (ide) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

1. Menyajikan

d. Ashshuuroh (form) sastra ‘Abbasiyah, diantaranya:

1. Anekdot

2. Kisah

Kisah (Qisshah), Kisah adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah meliputi Hikayat, Qissah Qasirah dan Uqushah. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.

Amsal (peribahasa) dan Kata mutiara (al-hikam) adalah ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amsal dan kata mutiara pada masa Abbasiyah dan sesudahnya lebih menggambarkan pada hal yang berhubungan dengan filsafat, sosial, dan politik. Tokoh terkenal pada masa ini adalah Ibnu al Muqoffal.

Sejarah (tarikh),atau riwayat (sirah) Sejarah atau riwayat mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan para tokoh terkenal karya sastra yang terkenal dalam bidang ini antara lain: adalah mu’jam al Buldan (ensiklopedi kota dan negara) oleh Yaqut al Rumi (1179-1229). Tarikh al hindi (sejarah india) oleh al Biruni (w.448 H/ 1048 M). Karya Ilmiah (Abhas ‘Ilmiyyah) Karya ilmiah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya terkenal yang berkenaan dengan hal ini adalah kitab al Hawayan (buku tentang hewan).

Pada masa ini, muncul genre prosa pembaruan (النثرالتجديدي) yang dinakhodai oleh Abdullah Ibnu Al-Muqaffal dan juga prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (ألف ليلةوليلة). Dalam dunia puisi juga muncul puisi pembaruan yang ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul Atahiyah.

Selain prosa dan puisi, seni korespondensi juga mengalami peningkatan, hal ini karena luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dari timur ke barat yang tentunya membutuhkan konsolodasi antar wilayah dengan surat-menyurat. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain Abu Al Fida Muhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).

 

Ciri Umum Sastra Abbasi

Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara masa Abbasiyah dengan masa-masa sebelumnya khususnya masa umawi, diantaranya adalah :

1. Tujuan pengungkapan sastra dan orientasi syair mengalami perluasan.

Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak dari berkesenian ini dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat resisten terhadap pengaruh selain Arab, maka pada zaman Abbasiyah inilah prosa berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat, dan drama.Bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik puisi maupun prosa. Wilayah kajian sastra tidak hanya puisi dan prosa tetapi sudah meluas dalam bidang karya tulis lainnya. Sastrawan pada masa ini dianggap sebagai gudangnya ilmu pengetahuan.

2.  Bahasa, pada masa ini mengalami kemunduran karena asimilasi bangsa arab dengan ajam yang berpengaruh terhadap kualitas kebahasaan serta sering terjadi kesalahan bahasa.

3. Perluasan wilayah kajian sastra yang tidak hanya pada wilayah syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku sastra, riwayat dan hikayat, serta munculnya genre baru النثرالتجديدي.[2]

(disampaikan dalam kajian rutin PKBA 23-03-2011)

 

Sejarah Riwayat Sastrawan Arab-Non-Arab dan Karya-Karya Mereka

Sastra Arab di sini bukanlah sastra Arab seperti halnya sastra-sastra yang lain. Sebab, penulis sastra Arab adalah orang yang berasal dari berbagai macam etnis. Mereka seperti yang dikatakan Hitti, secara keseluruhan mewakili monumen abadi sebuah peradaban, bukan semata monumen sebuah bangsa.

Di dalam bukunya, Hitti mengatakan, sastra Arab dalam arti sempit yakni adab (belles-letters) mulai dikembangkan oleh Al-Jahidz (w.868-869), guru para sastrawan Baghdad dan mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah melalui karya-karya Badi Al-Zaman Al-Hamad-Zani (969-1008), Al-Tsa’libi dari Naisabur (961-1038) dan Al-Hariri (1054-1122). Hitti juga menambahkan bahwa salah satu ciri khas penulisan prosa pada masa itu adalah kecenderungan—respon atas pengaruh Persia—untuk menggunakan ungkapan-ungkapan hiperbolik dan bersayap. Ungkapan yang singkat, tegas dan sederhana, yang sebelumnya digunakan, kini telah ditinggalkan untuk selamanya, berganti dengan ungkapan yang semarak dan indah, sarat dengan kata-kata kiasan yang berirama. Dari sisi intelektual pun fenomena itu menandai masa kemunduran dalam tradisi sastra. Di masa inilah kaum proletar sastra subur. Di masa ini juga lahir bentuk baru sastra yaitu maqaamah.

Maqaamah ini didirikan sejenis anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan bahasanya. Ia bukanlah karya satu orang melainkan perkembangan alami dari prosa berirama yangs udah disebutkan sebelumnya serta penyusunan kata bersayap layaknya yang pernah dilakukan oleh Ibn Durayd dan para penulis sastra lainnya. Sebelum maqaamah muncul, sastra Arab menyaksikan kemunculan sejarawan sastra terbesar yakni Abu Al-Faraj Al-Ishbahani (sekitar 897-967) seorang keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Ia tinggal di Aleppo, tempat ia menuntaskan karyanya yaitu Kitab Al-Ghani (buku nyanyian) yang merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga dan sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam. Pada masa inilah tidak lama sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (seribu satu malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini yang dipersiapkan oleh Al-Jahsyiyaari adalah karya Persia Klasik, Hazaar Afsana (kisah seribu) yang berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Al-Jahsyiyaari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur kisah lokal. Dan makin berlalunya waktu, kisah-kisah ini terus ditambahkan dari berbagai sumber; India, Yunani, Ibrani, Mesir dan lain-lain. Termasuk istana Harun Ar-Rasyid menjadi sumber pengambilan berbagai anekdot lucu dan kisah romantis dalam jumlah besar. Bentuk bakunya baru dimasukkan ke dalam kisah Seribu Satu Malam pada masa Dinasti Mamluk di Mesir.

Mengenai kisah Seribu Satu Malam, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Perancis oleh Galland dan kemudian menjadi banyak diterjemahkan ke dalam bahasa utama Eropa, Asia dan menjadi terkenal di Barat sebagai karya sastra Arab terpopuler. Terjemahan bahasa Inggris pertama yang paling penting tidak lengkap namun akurat adalah terjemahan Edward William Lane. Terjemahan John Payne merupakan terjemahan terbaik dalam bahasa Inggris dan yang paling lengkap namun tidak disertai komentar. Sementara itu, dalam mengikuti jejak sebelumnya, Sir Richard F Burton mengikuti langkah Payne kecuali di bagian puisinya, serta berupaya memperbaikinya dengan mempertahankan nuansa ketimuran dalam terjemahannya.

Di bidang puisi, karya syair pra-Islam tentang kepahlawanan Jahiliah menjadi acuan bagi para penulis puisi pada masa Dinasti Abbasiyah yang karya-karya tiruannya terhadap ode klasik Jahiliah dipandang sebagai karya klasik oleh para penyair Abbasiyah. Meski demikian, penulisan puisi telah menjadi seni Arab yang paling konservatif. Sepanjang masa, seni Arab ini selalu menggemakan semangat gurun pasir. Pendukung paling awal dari gaya baru penulisan puisi ini adalah Basysyaar ibn Burd dari Persia seorang buta yang dihukum mati tahun 783 pada masa Al-Mahdi karena menurut beberapa pihak, ia telah mengungkapkan kata-kata kasar dan tidak sopan kepada wazirnya namun sebenarnya ia telah mengungkapkan pandangan rahasia kaum zindik, zoroaster atau Manikea. Ia bersyukur kepada Allah karena telah menciptakannya dalam keadaan buta sehingga ia tidak perlu melihat hal-hal yang ia benci. Ia pun melakukan pemberontakan terhadap formulasi puisi kasik yang telah ketinggalan zaman. Formula ini didukung oleh Abu Nuwas (w. Sekitar 810) seorang keturunan separuh Persia teman dekat Harun dan Al-Amin serta penyair yang mampu menyusun lagu terbaik tentang cinta dan arak. Hingga saat ini di dunia Arab nama Abu Nuwas identik dengan badut. Kepenyairan Abu Nuwas disaingi oleh segelintir orang yang menulis sajak-sajak cinta, ungkapan erotis dan pidato-pidato yang elegan. Ia merupakan penyair liris terbesar di dunia Islam. Kebanyakan lagu tentang ketampanan anak laki-laki yang dinisbatkan kepada tokoh kesayangan istana keluarga Abbasiyah ini juga puisi-puisinya tentang pujian terjadap arak (khamriyaat) yang selalu memikat orang yang membaca dan meminumnya. Puisi ghazal karya Abu Nuwas sebuah puisi pendek tentang cinta yang berkisar mulai dari lima hingga lima belas bait mengikuti model penyair Persia yang mengembangkan model bait tersebut lama sebelum bangsa Arab mengenalnya.

Seorang sufi yang sezaman dengan Abu Nuwas adalah Abu Al-Ataahiyah (748-sekitar 828) yang berprofesi sebagai perajin tembikar, mengungkapkan pandangan pesimistik tentang kegersangan hidup yang dialami oleh orang-orang beragama. Ia melancarkan perlawanan terhadap gaya hidup Baghdad yang mewah dan meskipun Harun memberinya santunan sebesar 50 ribu dirham setahun, ia tetap mengenakan baju sufi dan menggubah puisi-puisi keagamaan (zuhdiyat) yang menjadikannya sebagai bapak puisi keagamaan Arab. Selama masa Dinasti Abbasiyah berbagai provinsi terutama Suriah telah menghasilkan penyair kelas satu dan salah satu diantara penyair itu adalah Abu Tammaam (w sekitar 845) dan Abu Al-Ala’. Abu Tammaam adalah seorang penyair istana di Baghdad. Ia mencapai popularitasnya berkat karyanya, Diwan dan kumpulan tulisannya Diwan Al-Hamasah. Isinya mengenai puisi-puisi pujian atas keberanian di medan perang. Diwan ini merupakan permata puisi Arab. Kumpulan puisi Hamasah juga memuat karya penyair istana yaitu Al-Buhturi (820-897), namun lebih rendah kualitasnya dibandingkan karya Abu Tammaam yang menjadi acuan.[3]

 

Nama-Nama Sastrawan dan Karyanya

Bermunculan nama-nama sastrawan yang memiliki pengaruh besar, yaitu Badi Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa'alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al Hamadhani dikenal sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Namun, dari sekitar 400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.

Seorang sastrawan lainnya, Al Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat ini, baik Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya, Kitab Al Aghni. Ini merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam.

Sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya itu, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf ini dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.

Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al Jahsyiyari menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan lain yang kemudian muncul pada masa Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al Mutanabbi. Banyak kalangan menganggap bahwa ia merupakan sastrawan terbesar.

Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat. Puisi-puisi yang ia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada Spanyol.

Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare adalah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan.[4]

 

 



[1] https://id.wikipedia.org

[2] elhasib.wordpress.com

 

[3] Hitti, Philip K. 2008. History of The Arabs.Jakarta:Serambi.

[4] http://www.republika.co.id/

REALITIVITAS BAHASA

 

REALITIVITAS BAHASA

Makalah

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Sosiolinguistik


 

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PROGRAM PASCA SARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2016

BAB I

PENDAHULUAN

A.    RELITIVITAS BAHASA

Realitivitas bahasa bukanlah hal baru dalam ilmu kebahasaan khususnya linguistic walaupun pesona ilmu ini sempat memudar pada abad ke 20an namun pada tahun 1970an ilmu ini kembali muncul. Orang berbicara dengan cara yang berbeda karena setiap orang berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa menawarkan cara mengungkapkan ( makna ) dunia luar disekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. [1]

Adapun beberapa ilmuan yang mengemukakan pandangannya mengenai realitivitas bahasa adalah:

a.      Teori Realitivitas Bahasa Wilhelm Von Humboldt

Wilhelm Von Humboldt ( 1767-1835) merupakan bapak realitivitas bahasa , menurutnya ada hubungan yang sangat erat antara masyarakat, bahasa dan budaya. Bahasa adalah alat berpikir, yang sekaligus berpengaruh terhadap pola-pikir. Selanjutnya ia menyatakan bahwa setiap bahasa berbeda dari bahasa lainnya, dan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua entitas tak terpisahkan. Dua istilah kunci di sini adalah pikiran dan bahasa. Bahkan von Humboldt menegaskan bahwa struktur bahasa berpengaruh terhadap perkembangan pola-pikir manusia, dalam setiap bahasa terkandung pandangan-dunia yang khas. Manusia selalu berhadapan dengan realitas diluar dirinya, tetapi realitas itu hadir dan muncul dalam pikirannya melalui medium bahasa yang khas. Maka pandangan-dunia seseorang, dan dengan demikian juga suatu masyarakat, ditentukan oleh bahasa pertama mereka (Slobin 1996: 70). Singkatnya, dalam pandangan Humboldtian, relativitas bahasa berarti determinisme bahasa: suatu bahasa secara mutlak menentukan pola pikir penuturnya.[2]

b.      Teori Realitivitas Bahasa Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure (1857-1913). Menurut de Saussure, setiap kata merupakan tanda (sign); dan setiap tanda selalu terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). de Saussure menyatakan bahwa bahasa, dalam pengertiannya yang dinamis, bukanlah proses penamaan (name-giving), yang bertolak dari asumsi bahwa ide atau makna lebih dulu ada sebelum kata. Sebaliknya, setiap kata hadir sekaligus sebagai kesatuan penanda-petanda atau leksikalisasi. Setiap bahasa memiliki leksikalisasi yang berbeda. Contoh yang terkenal dari de Saussure  adalah perbedaan leksikalisasi antara bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis, mouton berarti domba dan daging domba sekaligus, yang masing-masing dibedakan menjadi sheep dan mutton dalam bahasa Inggris. Dalam contoh ini, leksikalisasi bukan representasi dari realitas obyektif di luar sana, melainkan representasi dari persepsi penutur bahasa yang ditentukan oleh bahasanya. Dalam kaitannya dengan kesatuan penanda-petanda, leksikalisasi sering bergandengan dengan gramatisasi. Istilah yang terakhir ini berarti munculnya konsep menjadi penanda gramatik. Misalnya, konsep waktu muncul sebagai kala (tense) dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab, tetapi tidak dalam bahasa Indonesia. Perbedaan leksikalisasi dan gramatisasi ini menembus la langue (dari setiap bahasa), yang merupakan sistem bahasa yang berada dalam pikiran kolektif penutur bahasa. Akibatnya, karena setiap bahasa memiliki sistem-ungkap leksikal dan gramatikal yang berbeda dari bahasa lainnya, maka muncullah relativitas bahasa.

c.       Teori Realitivitas Edward Sapir

Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga menyatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahhulu. Pendekatan Sapir-Whorf, yang lainnya  menyatakan bahwa persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki

d.     Teori Realitivitas Bahasa Benjamin Lee Whorf

Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain. Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan “kaleng kosong” bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal sebenarnya ada cukup efek-lepas (after effect) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf, tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan bahasanya. Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk mengungkapkan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang, bukan kata-kata. Hipotesis Sapir-Whorf tampak lebih memfokuskan pada hubungan antara tata bahasa dan pikiran manusia, bukan kata-kata (Chaer, 2009:53). Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, Whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda “membedah” alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa beragam yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Hipotesis relativitas linguistik beranggapan bahwa bahasa hanya refleksi dari pikiran yang memunculkan makna. Bahasa memengaruhi pikiran, sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya. Determinisme linguistik adalah klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat memengaruhi cara seseorang berpikir atau mempersepsi dunia. Whorf sangat terkesan oleh kenyataan bahwa masing-masing bahasa menekankan pada perbedaan struktur berdasarkan perbedaan aspek dunia sebagai landasan pembentukan struktur tersebut. dia menyakini bahwa penekanan itu memberi pengaruh cukup besar terhadap cara penutur bahasa berpikir tentang dunia. Whorf meyakini bahwa kehidupan suatu masyarakat dibangun oleh sifat-sifat bahasa yang digunakan anggota masyarakat tersebut. Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya grammar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers” (Grammar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut).

e.      Teori Realitivitas Bahasa Sapir-Whorf dan Benjamin Lee Whorf

Ilmuan realitivitas selanjutnya Sapir-Whorf dan Benjamin Lee Whorf hipotesisnya adalah sebuah pernyataan dalam teori linguistik relativitas yang mengatakan bahwa ada hubungan kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur. Lalu, dalam proses berbahasa, terbukti bahwa kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Pola budaya suatu masyarakat, menurut hipotesis ini, mampu mengkonstruk klausa sehingga memberikan variasi informasi dan kesantunan suatu bahasa. Hipotesis ini didasari oleh penelitian Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf terhadap suku Hopi di Afrika. [3].

Berikut adalah keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Sapir dan Whorf melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.

a)      Hipotesis pertama adalah linguistic relativity hypothesis (hipotesis relativitas bahasa) yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.

b)     Hipotesis kedua adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir. Untuk memperkuat hipotesisnya, Sapir dan Whorf memaparkan beberapa contoh. Salah satu contoh yang diambil adalah kata salju. Whorf mengatakan bahwa sebagian besar manusia memiliki kata yang sama untuk menggambarkan salju. Salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, semua objek salju tersebut tetap dinamakan salju. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat, orang Eskimo memberi label yang berbeda pada objek salju tersebut. Banyak lagi contoh yang lain, misalnya orang Hanunoo di Filipina memiliki kira-kira 92 nama untuk berbagai jenis rice (padi). Orang Arab memiliki beberapa nama untuk camels (unta). Whorf merasa bahwa terminologi/istilah yang sangat beragam tersebut menyebabkan penutur bahasa tersebut mempersepsi dunia secara berbeda-beda dari seorang yang hanya memiliki satu kata untuk satu kategori tertentu. Sapir menolak pandangan yang menyatakan bahwa berpikir dan bahasa merupakan dua entitas berbeda atau berdiri sendiri. Sapir dan Whorf sepakat bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang. Jalan pikiran seseorang sangat ditentukan oleh bahasanya. Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa, Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi dioraganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit itu akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya bibit tidaklah penting. Yang penting adalah peristiwa menanam dan peristiwa tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan realitas hidup dengan cara-cara yang berlainan. Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa Inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that house. Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang pun yang melihat satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita. ini adalah satu kepalsuan fakta yang disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini; dan kita tidak sadar bahwa pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat ditanggalkan. Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula. Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwabahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu sama lain.karena yang menentukan jalan pikiran seseorang adalah tata bahasa bukan kata-kata.oleh karena itu, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi antara yang satu dengan yang laintetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.kenyataannya bahwa seseorang berbicara atau mengungkapkan pendapatnya dengan cara/bahasa yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda pula.[4]

 

B.     HUBUNGAN ANTARA Bahasa dan Pikiran

Para ahli linguistic dalam kajian widhiarso menguraikan keterkaitan bahasa dan pikiran antara lain :

a.      Bahasa mempengaruhi pikiran

Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat terkondisikan oleh kata yang manusia gunaka. Misalnya orang jepang mempunyai pemikiran yang sangat tinggi karena orang jepang memiliki banyak kosa kata dalam menjelaskan realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail mengenai realitas.  Contoh khasus yang terjadi di Indonesia terhadap bahasa sunda dimana bahasa sunda mempunyai kata yang bermakna dalam menyebut Makan. Dan dalam pemikirannya orang sunda lebih kreatif dalam melakukan berbagai hal misalnya dalam industry kreatif dan kiliner yang beraneka ragam.[5]

b.      Pikiran mempengaruhi bahasa

Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif jean piaget. Piaget mengobservasi perkembangan aspek kognitif anak akan  mempengaruhi bahasa yang digunakan  semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Contohnya bahasa-bahasa ilmiah.

c.       Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi

Hubungan ini dikemukakan oleh benyamin vigotsky , seorang ahli semantic dari rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan vigotsky terhadap kedua pendapat diatad banyak diterima oleh kalangan psikologis.

Sapir dan whorf berusaha untuk membuktikan bahwa memang terdapat hubungan antara bahasa dan pikiran. Namun hingga sekarang pendapat ini masih sering diperdebatkan oleh berbagai ilmuan. Salah satu fakta yang di paparkan adalah dalam kehidupan sehari-hari seorang bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal  sudah mampu menalar  lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka.

Bukti kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak  memahami struktur symbol bahasa. Anak-anak ini dapat menemukan isyarat gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka. [6]

BAB II

KESIMPULAN



[1] Shihab muhamad “realivitas linguistic dank ode meluas dan terbatas “ pdf electronic library program pasca sarjana universitas mercu buana. Diunduh pada tanggal 21 april 2016

[2]hipotesis sapir-whorf dan ungkap-verbal keagamaan” pdf didownload pada tanggal 21 april 2015 pukul 20.00

[4]

[5]  Shihab muhamad “realivitas linguistic dank ode meluas dan terbatas “ pdf electronic library program pasca sarjana universitas mercu buana. Diunduh pada tanggal 21 april 2016

[6] Widhiasono , w. (2005) “ hubungan antara bahasa dan pikiran “ perpustakaan digital universitas gajah mada. Di unduh pada 21 april 2016

PROBLEMATIKA SEPUTAR HADITS AKIDAH, HUKUM, FADHA'ILUL A'MAL (AL-TARHIB WAT TARGHIB), HADITS SYAMA'IL/MANAQIB,FADHA'IL

 

PROBLEMATIKA SEPUTAR HADITS AKIDAH, HUKUM, FADHA'ILUL A'MAL (AL-TARHIB WAT TARGHIB), HADITS SYAMA'IL/MANAQIB,FADHA'IL

I.         Pendahuluan

            Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadits berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi  kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadits jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an.

Untuk kepentingan validitas dan sterelisasi hadits, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadits melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadits dengan menilai para perawi hadits dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadits tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadits terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadits.

Usaha para ulama dalam validitas dan sterelisasi hadits telah dilakukan sedemikian rupa. Namun bukan berarti keseluruhan hadits yang dihasilkan dapat dijadikan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an. Sehingga masih didapati beberapa hadits yang mengandung problematika yang harus dicarikan solusinya. Perbedaan pendapat banyak terjadi seputar problematika hadits tentang aqidah, hukum, fadhail a’maal dan manaqib atau sanjungan. Berdasarkan permasalahan di atas, dalam makalah ini penulis akan membahasa Problematika Seputar Hadits Akidah, Hukum, Fadha'ilul A'mal (Al-Tarhib Wat Targhib), Hadits Syama'il/Manaqib,Fadha'il.

II.           Pembahasan

A.    Problematika Seputar Hadits-Hadits tentang Aqidah dan Hukum

Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadits, timbullah bermacam-macam istilah tentang rangkaian sanad yang pada masa rasul tidak digunakan istilah-istilah tersebut.  Salah satu kriteria hadits diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadits mutawatir dan ahad. Bilangan sanad inilah yang menjadikan perbedaan dalam menentukan boleh tidaknya suatu hadits dipakai dalam masalah aqidah, karena ada golongan yang berkeyakinan bahwa hadits ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal aqidah dan hukum, mereka beralasan hadits ahad bukan sumber pasti dan tidak dapat memberikan khobar yang bersifat keilmuan dan yakin. Sementara itu ada pula golongan ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan landasan dalam aqidah dan hukum.

1.      Pengertian Hadits Ahad dan Pembagiannya

Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”. 

            Imam al-Syafi’i mendefenisikan hadits ahad sebagai berikut:

كل خبر يرويه  الواحد أو اثنان أو الأكثر من ذلك ولا يتوفر فيه سبب الشهرة

Artinya: setiap hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya mashyhur.[1]

 

            Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu :Masyhur‘Aziz, dan Gharib.

a.       Hadits Masyhur

Masyhur (atau juga dikenal dengan nama haditsMustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”[2]. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

 

Artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan

 

b.      Hadits Aziz

Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadits Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua dua orang, atau pada suatu tingkat terdiri dari dua dua orang saja”.[3] Contohnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

 

Artinya: ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia”

 

c.       Hadits Gharib

Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”.[4] Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :

            Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabishallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya”.

Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..

Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perbedaan (ciri khusus) yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Ghorb nisbi tidak berkaitan dengan jumlahperowi namun . pada kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan kondisi sanad lain. Perbedaan tersebut berkaitan dengan tempat atau sifat perowi. Misalnya : Hadits, “rasulullah pada hari raya idul fitri dan adha membaca surat Qaf dan surat al-Qomar”

Contoh Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum

Berikut ini adalah beberapa hadits ahad yang berkaitan dengan masalah aqidah dan hokum:[5]

a.       Dari Shahi Bukhari yaitu sebuah hadits ahad dan gharib. 

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه

ِ"Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan". [Muttafaqun ‘alaih].

 

b.      Hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan :

مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ 

"Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab,”Muhammad mengatakan: ‘ Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian'. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…”"

 

c.     Hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان َ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Islam dibangun diatas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak Ilah yang hak kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji dan puasa ramadlan (dalam riwayat lain puasa Ramadlan baru haji)" 

 

d.    Hadits no. 26

عن أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ

"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya." Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Jihad di jalan Allah'. Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Haji yang mabrur.'

 

2.      Argumentasi Penolak Hadits Ahad Sebagai Dalil Aqidah dan Hukum

Pembagian hadits dari segi kuantitas ahad-mutawatir sehingga menimbulkan penolakan terhadap penggunaan hadits ahad dalam masalah aqidah banyak dituduhkan kepada kelompok Mu’tazilah. Menurut Ibn Hazm seperti yang dikutip oleh Ali Mustofa Ya’qub, “umat islam secara keseluruhan, baik ahlussunah, khawarij, Syiah dan Qodariyah menerima hadits ahad. Baru pada awal abad kedua hijri para ahli ilmu kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi. Memang, al-Nadhom (wafat antara 221-223 H) dan Muhammad Abd Wahhab Abu Ali al-Jubba’I (w.303 H) disebut sebagai orang yang berpendapat demikian, sementara keduanya berasal dari kelompok Mu’tazilah. Namun tidak ada kejelasan apakah hal ini merupakan pendapat resmi kelompok Mu’tazilah atau pendapat mereka sendiri. Sebab ulama Mu,tazilah yang lain tidak berpendapat seperti ini.

Pendapat tidak dapat dijadikan hadits ahad sebagai hujjah juga disetujui oleh banyak ulama kontemporer, seperti: Muhammad Syaltut[6] dan Muhammad Ghozali. Menurut mereka  bahwa, “akidah tidak dapat ditetapkan melainkan dengan keterangan yang pasti sumbernya dan tegas tujuannya. Sehubungan dengan itu perlu diterangkan pula prinsip yang menentukan sunnah itu qoth’I atau zonni harus memperhatikan keadaan sunnah kurang pasti ialah dari dua segi; sumbernya dan tujuannya. Dalam hubungan ini terdapat tiga kemungkinan; pertama, keraguan apakah hubungan riwayat itu sampai kepada Rasullullah atau tidak. Ini menurutnya tidak pasti. kedua, keraguan tentang tujuannya, bisa kepada dua tiga pengertian. Dan ini juga menurutnya tidak pasti tujuannya. Ketiga, keraguan dalam dua hal, sumber dan tujuannya. Akidah islam tidak dapat ditetapkan dengan hadits dari ketiga macam itu. Hadits yang dapat menetapkan aqidah dan yang boleh dijadikan alasan untuk aqidah ialah hadits yang bersumber pasti dan bertujuan tegas. Menurutnya hadits yang bersumber pasti dan tegas adalah hadits mutawatir dan jumlah hadits mutawatir sangat sedikit. Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

 

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]

 

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

 

Artinya: “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]

 

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 27-28]

 

3.      Argumentasi Penerima Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hal Aqidah

Hadits sebagai hujah dalam berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadits mutawatir tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadits mutawatir memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah perowi yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadits ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan) yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa perowi yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang didistorsi oleh seorang atau beberapa perowi. Hal ini berdampak pada sebagian sikap umat Islam yang tidak menerima hadits ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Karena menurut mereka hadits ahad yang sifatnya zhon tidak dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti akidah.

Argumen kelompok penerima kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah dengan hadits maupun al-Quran.

۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢

Artinya:   Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At Taubah: 122)

 

Menurut ayat di atas, merupakan fardhu kifayah bagi sebagian kelompok orang-orang mukmin untuk pergi mendalami agamanya meliputi aspek aqidah atau pun hukum. Thaifah (kelompok) dalam bahasa Arab mengandung arti satu orang atau lebih.[7]

Kalau sekiranya tidak boleh berhujjah dengan hadits ahad dalam aspek aqidah maupun hukum, niscaya Allah     dalam ayat di atas, tidak mengkhususkan mereka  untuk menyampaikan ilmu (tabligh), (“Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Dengan demikian ayat tersebut menegaskan bahwa ilmu termasuk kandungan hadits ahad.

 

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

 

Artinya: “Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang mendengarkan hadits dari kami lalu menghafalnya hingga menyampaikannya. Berapa  banyak orang yang mendengar hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaiknnya. Berapa banyak orng yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari padanya, dan berapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak mengerti”.

 

 

Bantahan terhadap dalil al-Quran pun mereka gunakan. Pemakaian kata zhon  memiliki makna kontradiktif. Bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakin.  zhon adalah keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti dan menghukuminya. Menghukumi yaitu jika zhon itu lemah disebut waham. Jika zhon itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan kejelasan beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin. Dalam Alquran terdapat kata zhon yang merujuk masalah aqidah dan Allah memujinya. Ayat yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam sholat adalah “alladzina yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum ilahi raaji’un” (QS. Al-Baqarah: 46). Menurut ulama tafsir antara lain Wahbah Zuhaili, zhon dalam ayat itu bermakna keyakinan yang pasti yang tidak dipengaruhi oleh keraguan.[8] Demikian pula, zhon yang berkaitan dengan hadits ahad yang shohih adalah zhon yang meyakinkan, sebab indikasi kebenaran otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW telah dibuktikan melalui serangkaian penelitian. Sementara menolak berhujjah dengannya berarti mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang dibawa hadits itu. Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah didasarkan pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhon) itu sendiri.

 

4.      Analisis Kehujjahan  Hadits Ahad Dalam Aqidah

Kontroversi tentang apakah hadits ahad dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadits ahad itu berfaedah qath’i atau zhonniPerdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadits ahad sebagai hujjah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat memberikan suatu kepastian yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhonni akan menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah.

Pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dha’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :

1.      Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).[9]

2.      Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dhla’if, Maudlu’.[10]

Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.

Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dhorury (aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .

Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nazhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan), maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan).

Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak.

Penentuan jumlah perawi tertentu yang bersifat baku justru tidak realistis mengingat perbedaan yang cukup signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap perawi sebagaimana tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil. Perbedaan peringkat ta’dil sejumlah perawi tertentu dengan perawi yang lainnya berimplikasi pada perbedaan bobot kesahihan hadis yang diriwayatkan masing-masing. Dengan demikian, logis bila penetapan standar minimal tertentu untuk jumlah perawi mutawatir sulit dilakukan.

As-Sayuti di dalam bukunya menjelaskan, “sesungguhnya para ulama khususnya muhadditsin, tidak pernah mengatakan bahwa hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah. Yang mereka katakan hanyalah hadis shahih dan hadits hasan dapat menjadi hujjah dalam ajaran islam, baik masalah aqidah, syariah, maupun akhlak. Sedangkan hadits dhoif tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah aqidah dan syariah tetapi hanya dapat dipakai dalam masalah fadhoilul a’mal dengan syarat-syarat tertentu.[11]

Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidah Islam yang harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafa’at nabi SAW di hari akhir, mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan seterusnya. [12]

 

B.     Problematika Hadits tentang Fadha'ilul A'mal (Al- Targhib Wat Tarhib), Hadits Syama'il/Manaqib dan Fadha'il.

 

1.      Hadits tentang Fadha'ilul A'mal (Al- Targhib Wat Tarhib)

Pada bagian ini akan dicantumkan beberapa contoh hadits yang berkaitan dengan fadhail amal.[13]

a. Keutamaan Surat Yasin

Diriwayatkan dari Anas bin Malik , Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْباً وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس وَمَنْ قَرَأَ يس كَتَبَ اللهُ لَهُ بِقِرَاءَتِهَا قِرَاءَةَ الْقُرآنِ عَشْرَ مَرَّاتٍ

“Sungguh segala sesuatu memiliki jantung, dan jantungnya Al-Qur’an adalah Yasin. Barangsiapa membaca Yasin maka Allah l akan mencatat baginya dengan membacanya seperti membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”

 

b. Keutamaan Surat Ad-Dukhan

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ قَرَأَ حم الدُّخَانَ فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ يَسْتَغْفِرُ لَهُ سَبعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ

“Barangsiapa membaca di malam hari surat Ad-Dukhan, di pagi harinya, 70.000 malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untuknya.”

c.       Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Siapa yang meninggalkan shalat sehingga habis waktunya lalu menqadha’nya maka akan diadzab di neraka selama haqban. Haqbu adalah delapan puluh tahun, setahun adalah tiga ratus enam puluh hari. Satu hari lamanya sama dengan seribu tahun.

Lantas mengalikan angka-­angka tersebut. Katanya, “Satu haqbu adalah dua puluh delapan juta dan delapan ratus ribu tahun. Namun aku tidak mendapati hadits ini dalam kitab-kitab hadits yang aku miliki”. (Tablighi Nishab ha1.355)

 

2.      Hadits-hadits tentang Syama’il/ Manaqib dan Fadhail

a.      Sanjungan terhadap Abu Bakar

و عن ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( لو كنت متخذا من أمتي خليلا لاتخذت أبا بكر ولكن أخي وصاحبي)[14]

Artinya: dari Ibnu Abbas, r.a dari Nabi saw bahwasanya besabda: “seandainya aku menjadikan seorang kekasih dari umatku, niscaya aku akan memilih Abu Bakar, tetapi ia saudaraku dan sahabatku.

b.      Sanjungan terhadap Para Sahabat Nabi yang Diberi kabar Gembira akan Masuk Surga

-عن أبي موسى رضي الله عنه قال كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم في حائط من حيطان المدينة فجاء رجل فاستفتح فقال النبي صلى الله عليه وسلم افتح له وبشره بالجنة ففتحت له فإذا أبو بكر فبشرته بما قال النبي صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم جاء رجل فاستفتح فقال النبي صلى الله عليه وسلم افتح له وبشره بالجنة ففتحت له فإذا هو عمر فأخبرته بما قال النبي صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم استفتح رجل فقال لي افتح له وبشره بالجنة على بلوى تصيبه فإذا عثمان فأخبرته بما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم قال الله المستعان[15]

 

c.       Sanjungan Nabi Kepada Ali r.a

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاص رضي الله تعالي عنه ٍ قَال: (قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي)[16]

Artinya: dari Sa’ad bin Abi Waqash r.a ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepada Ali r.a:” kedudukanmu terhadap aku seperti kedudukan Harun a.s  terhadap Musa a.s hanya saja tidak ada nabi setelahku”.

 

d.      Sanjungan Nabi terhadap Kota Yaman dan Penduduknya.

عن ثوبان أن نبي الله ثلى الله عليه وسلم قال إني لبعقر حوضي أذود الناس لأهل اليمن أضرب بعصاي حتى يرفض علييهم

Artinya: dari sahaba Tsauban berkata: Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya aku (nanti di akhirat) berada di samping telagaku aku akan menghalangi setiap manusia yang akan minum dari telagaku sehingga penduduk Yaman dapat meminum air dari telagaku erlebih dahulu, aku memukul dengan tongkatku sehingga mengalirlah air telaga tersebut sampai pada mereka. (HR. Muslim)

 

3.      Problematika Seputar Hadits fdhail Amal (targhib dan tarhib), Syamail/ manawib dan Fadhail.

Hadits dho’if adalah setiap hadits yang mardud (tertolak) yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hadits hasan. Boleh jadi hadits tersebut terputus sanadnya, terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak sholih), sering berdusta, dituduh dusta, sering keliru, atau hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi) atau riwayatnya menyelisihi riwayat perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya) darinya.

Tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parah lagi hadits palsu menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di tengah-tengah ummat Islam. Perusakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya lebih parah dari penyerangan tentara Yahudi terhadap umat Islam. Karena yang merusak dengan menyebarkan hadits dho’if dan palsu adalah umat Islam sendiri, amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan puasa Nishfu Sya’ban atau shalat pada malam Nishfu Sya’ban terjadi karena motivasi dari hadits dho’if. Begitu pula beberapa dzikir tanpa tuntunan seringkali jadi amalan juga karena motivasi dari hadits-hadits dho’if atau bahkan palsu yang sengaja dibuat-buat oleh orang-orang yang bermaksud baik namun lewat jalan yang keliru.

Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan perkataan Abul Fadhl Al Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah dalam Islam dan yang sengaja membuat hadits maudhu’ (yang palsu yang diriwayatkan oleh perowi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merusak daripada orang mulhid (musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merusak Islam dari luar.”

Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia katakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu dusta, maka ia termasuk salah satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3).

 

Bagaimana hukum beramal dengan hadits dho’if tentang fadhilah amal (keutamaan amal)? Ulama pakar hadits dan pakar fiqih dahulu dan sekarang terus berselisih pendapat dalam masalah ini

a.      Pendapat yang Melarang secara Mutlak

Menurut sekelompok ulama, hadits dho’if tidak digunakan dalam fadho’il a’mal (menjelaskan keutamaan amal) dan juga tidak dalam masalah lainnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Al Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya.

Muslim An Naisaburi rahimahullah mengatakan, “Hadits dalam agama ini boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan larangan, atau boleh jadi membicarakan tentang dorongan (targhib) atau ancaman (tarhib) tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perowi yang meriwayatkan hadits bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian ada pula perowi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang menyebarkan hadits yang mengandung perowi semacam ini adalah orang yang berdosa karena perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum muslimin yang awam. Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang  yang mendengar hadits-hadits dho’if semacam ini mengamalkannya, mengamalkan sebagian atau lebih banyak. Padahal di antara hadits-hadits tersebut ada yang berisi perowi pendusta, sebagian lainnya adalah hadits yang tidak diketahui asal usulnya.” Intinya, Imam Muslim berpandangan bahwa hadits dho’if tidak boleh diamalkan sama sekali.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang dikatakan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab shahihnya –secara zhohir (tekstual)- bermakna hadits dalam masalah targib (memotivasi untuk beramal) diriwayatkan sama halnya dengan riwayat yang membicarakan tentang masalah hukum”. Artinya jika hadits yang membicarakan tentang masalah hukum tidak boleh berasal dari hadits dho’if, hal yang sama berlaku pula pada masalah fadhilah ‘amal.

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak bolehnya menggunakan hadits dho’if secara mutlak baik dalam masalah fadhoil a’mal dan masalah lainnya. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dan juga murid-muridnya.

b.      Pendapat yang Bersikap Lebih Ringan

Sebagian ulama ada yang memberi keringanan  dalam menyebutkan hadits dho’if asalkan memenuhi tiga syarat:

1.      Dho’if-nya tidak terlalu dho’if.

2.      Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih.

3.      Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.

Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dhoif (seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.

Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan. Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih: Kita meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya dhoif. Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadits shahih. Hanya saja hadits dho’if tersebut sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan sebenarnya adalah hadits shahih.

Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, yaitu hendaklah tidak diyakini bahwa hadits dhoif tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan. Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ditegaskan kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam syarat ketiga ini para ulama memberi aturan, hadits dho’if tersebut hendaknya dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa para ulama salaf membolehkan penghujjahan hadits dlaif hanya pada fadhail amal. Ulama yang dimaksud diantaranya al Nawawi dalam buku al-Adzkar, Ali Burhan Al-halabi dalam bukunya Insaan ‘Uyuun dan Ibnu Fakhruddin al-Ruumi dalam bukunya al-Asraar al-Muhammadiyyah.[17]

c.      Penjelasan Apik dari Ibnu Taimiyah

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah berdasarkan hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya ketika kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masalah hukum) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi jika diketahui sesuatu itu terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan diketahui bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta, maka hadits tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta (baca: hadits maudhu’/ palsu). Namun patut diketahui bahwa memotivasi suatu amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang jelek didukung dengan dalil lain (yang shahih), bukan hanya dengan hadits yang tidak jelas status keshahihannya.” 

Ada dua point berharga yang bisa kita ambil dari penjelasan Syaikhul Islam di atas. Pertama, tidak boleh menggunakan hadits maudhu’ (hadits palsu yang berisi perowi pendusta) dalam masalah targib dan tarhib. Kedua, hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam beramal, hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih lainnya. Sehingga sebenarnya yang kita amalkan adalah hadits shahih dan bukan hadits dhoifnya.

Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if yang membicarakan masalah fadhilah amal, maka hadits tersebut bisa diriwayatkan asalkan haditnys bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perowi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk beramal, pen) tidak diketahui ukuran pastinya. Oleh karenanya, jika dalam masalah ukuran pahala diriwayatkan dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits yang dusta (hadits maudhu’), maka hadits semacam ini tidak dikatakan dusta. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan meriwayatkan hadits dhoif dalam masalah fadhoil a’mal. Adapun jika suatu amalan dikatakan sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata), maka beliau menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.”

Beliau menjelaskan pula, “Jika hadits dho’if tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu –seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau tata cara tertentu-, maka hadits semacam ini tidak boleh diamalkan. Karena tata cara amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal  ini berbeda halnya jika diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah”, maka pahalanya sekian dan sekian, maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan karena ini termasuk amalan yang dilakukan di saat kebanyakan orang sedang lalai.”

Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat bagus dalam perkataan selanjutnya,

فَالْحَاصِلُ : أَنَّ هَذَا الْبَابَ يُرْوَى وَيُعْمَلُ بِهِ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ لَا فِي الِاسْتِحْبَابِ ثُمَّ اعْتِقَادُ مُوجِبِهِ وَهُوَ مَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ يَتَوَقَّفُ عَلَى الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ .

“Intinya, hadits dho’if bisa diriwayatkan namun dalam masalah targhib dan tarhib saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya suatu amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau akibat buruk dari suatu amalan jelek, maka cukup dalil syar’i (yang shahih) yang jadi pegangan. ”

 

d.      Sikap yang Lebih Hati-Hati

Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if  tidak boleh digunakan secara mutlak kecuali jika ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk memotivasi pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan yang jelek sebenarnya sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

al-Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.

al-Qardhawi,Yusuf, Kayfa Nata’amal m’a al-Sunnah,Kairo: Daar al-Wafa, 1992.

Itr ,Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Daar al-fikr, 1979.

Syaltut, Mahmud, aal-Islam, Aqidah wa Syariat, Kairo: Daar Al-Syuruuq, 2001.

 

Aplikasi Ayat, Tafsir ibnu Ashour,  KSU, created Saturday, July 26, 2014, 5:34:27 AM

www.almanhaj.or.id Conto-contoh Hadits Ahad, created Yesterday, November 29, 2015, 7:55:56 AM

www.asysyariahonline.com, Mengenal hadit-hadits lemah dan palsu dalam fadhail amal, created Yesterday, November 29, 2015, 8:31:20 AM

 



[1] Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, hlm. 157.

[2] Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Daar al-fikr, 1979, hlm. 408

[3] Op. cit, hlm. 158

[4] Loc. cit

[5] www.almanhaj.or.id Conto-contoh Hadits Ahad, created Yesterday, November 29, 2015, 7:55:56 AM

[6] Mahmud Syaltut, aal-Islam, Aqidah wa Syariat, Kairo: Daar Al-Syuruuq, 2001, hlm. 61

[7] Aplikasi Ayat, Tafsir ibnu Ashour,  KSU, created Saturday, July 26, 2014, 5:34:27 AM

[8] Aplikasi Ayat, Tafsir ibnu Ashour,  KSU, created Saturday, July 26, 2014, 5:34:27 AM

 

[9] Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Daar al-fikr, 1979, hlm. 241

[10] Ibid, hlm. 285

[11] Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, hlm. 164.

 

[12] Ibid, hlm.158

[13] www.asysyariahonline.com, Mengenal hadit-hadits lemah dan palsu dalam fadhail amal, created Yesterday, November 29, 2015, 8:31:20 AM

[14] Sayyi Mubarak, Fdhail wa Manaqib al-Asyrah al-Mubasyaruuna bi al-Jannah, Mesir, hlm. 5

[15] Ibid, hlm. 11

[16] Ibid, hlm. 64

[17] Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’amal m’a al-Sunnah,Kairo: Daar al-Wafa, 1992, hlm 35

Introduction