PROBLEMATIKA SEPUTAR HADITS
AKIDAH, HUKUM, FADHA'ILUL A'MAL (AL-TARHIB WAT TARGHIB), HADITS
SYAMA'IL/MANAQIB,FADHA'IL
I.
Pendahuluan
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat
diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadits berbeda dengan proses
Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan
serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada
ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa
pengkodifikasian hadits jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan
Al-Qur’an.
Untuk kepentingan validitas dan sterelisasi hadits, dalam
proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadits melakukan upaya serius berupa
penyeleksian terhadap hadits dengan menilai para perawi hadits dari berbagai
thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadits tidak secara
otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan
hukum Islam. Hadits terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin
ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang
dialami ilmu hadits.
Usaha para
ulama dalam validitas dan sterelisasi hadits telah dilakukan sedemikian rupa.
Namun bukan berarti keseluruhan hadits yang dihasilkan dapat dijadikan dasar hukum
Islam setelah Al-Qur’an. Sehingga masih didapati beberapa hadits yang
mengandung problematika yang harus dicarikan solusinya. Perbedaan pendapat
banyak terjadi seputar problematika hadits tentang aqidah, hukum, fadhail
a’maal dan manaqib atau sanjungan. Berdasarkan permasalahan di atas, dalam
makalah ini penulis akan membahasa Problematika Seputar Hadits Akidah, Hukum, Fadha'ilul
A'mal (Al-Tarhib Wat Targhib), Hadits Syama'il/Manaqib,Fadha'il.
II.
Pembahasan
A.
Problematika Seputar Hadits-Hadits
tentang Aqidah dan Hukum
Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadits,
timbullah bermacam-macam istilah tentang rangkaian sanad yang pada masa rasul
tidak digunakan istilah-istilah tersebut. Salah satu kriteria hadits
diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadits mutawatir dan ahad.
Bilangan sanad inilah yang menjadikan perbedaan dalam menentukan boleh tidaknya
suatu hadits dipakai dalam masalah aqidah, karena ada golongan yang
berkeyakinan bahwa hadits ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal aqidah dan
hukum, mereka beralasan hadits ahad bukan sumber pasti dan tidak dapat
memberikan khobar yang bersifat keilmuan dan yakin. Sementara itu ada pula golongan ulama yang
berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan landasan dalam aqidah dan hukum.
1.
Pengertian Hadits Ahad dan Pembagiannya
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”. Dan khabarul-wahid adalah
khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut
istilah adalah “hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”.
Imam al-Syafi’i mendefenisikan hadits ahad sebagai berikut:
كل خبر يرويه
الواحد أو اثنان أو الأكثر من ذلك ولا يتوفر فيه سبب الشهرة
Artinya:
setiap hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi
tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya mashyhur.
Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu :Masyhur, ‘Aziz,
dan Gharib.
a. Hadits Masyhur
Masyhur (atau
juga dikenal dengan nama haditsMustafidh) menurut bahasa adalah
“nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah :
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi atau lebih pada setiap
thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”.
Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ
الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ
الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ
يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Artinya: ”Sesungguhnya
Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan
tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah
tidak terdapat seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai
pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan
menyesatkan”
b. Hadits Aziz
Aziz secara
bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadits Aziz menurut
istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang rentetan perawinya terdiri dari
dua dua orang, atau pada suatu tingkat terdiri dari dua dua orang saja”.
Contohnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya:
”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya
daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia”
c. Hadits Gharib
Gharib secara
bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara
istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara
sendiri”.
Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap
tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada
satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih
dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib).
Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard.
Hadits gharib dibagi menjadi dua :
Gharib
Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana
kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat).
Misalnya hadits Nabishallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa
setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya”.
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin
Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin
Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id
meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan
oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini
yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri
meriwayatkan sebuah hadits..
Gharib Nisbi, disebut juga
: Al-Fardun-Nisbi; yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat
perbedaan (ciri khusus) yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Ghorb
nisbi tidak berkaitan dengan jumlahperowi namun . pada kondisi yang asing atau
beda bila dibanding dengan kondisi sanad lain. Perbedaan tersebut berkaitan
dengan tempat atau sifat perowi. Misalnya : Hadits, “rasulullah pada hari
raya idul fitri dan adha membaca surat Qaf dan surat al-Qomar”.
Contoh
Hadits Ahad dalam Aqidah dan Hukum
Berikut
ini adalah beberapa hadits ahad yang berkaitan dengan masalah aqidah dan hokum:
a.
Dari Shahi Bukhari yaitu sebuah
hadits ahad dan gharib.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
ِ"Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi
masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada
dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka
(hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan". [Muttafaqun ‘alaih].
b. Hadits nomor 7, yang
diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang
hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits
ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya
kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantaranya, Hiraklius bertanya
kepada Abu Sufyan :
مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ
يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا
مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ
وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
"Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku
(Abu Sufyan) menjawab,”Muhammad mengatakan: ‘ Sembahlah Allah semata dan janganlah
kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan
(diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian'. Muhammad (juga) menyuruh
kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali
silaturrahim…”"
c.
Hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini
ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu
Umar.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان َ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, 'Islam dibangun diatas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian)
bahwa tidak Ilah yang hak kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu
Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji dan puasa ramadlan (dalam
riwayat lain puasa Ramadlan baru haji)"
d.
Hadits no. 26
عن أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ
أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya."
Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab, 'Jihad di jalan Allah'. Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?'
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Haji yang mabrur.'
2.
Argumentasi Penolak Hadits Ahad Sebagai Dalil Aqidah dan
Hukum
Pembagian hadits dari segi kuantitas ahad-mutawatir
sehingga menimbulkan penolakan terhadap penggunaan hadits ahad dalam masalah
aqidah banyak dituduhkan kepada kelompok Mu’tazilah. Menurut Ibn Hazm seperti
yang dikutip oleh Ali Mustofa Ya’qub, “umat islam secara keseluruhan, baik ahlussunah,
khawarij, Syiah dan Qodariyah menerima hadits ahad. Baru pada awal abad kedua
hijri para ahli ilmu kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka
menentang konsensus umat tadi. Memang, al-Nadhom (wafat antara 221-223 H) dan
Muhammad Abd Wahhab Abu Ali al-Jubba’I (w.303 H) disebut sebagai orang yang
berpendapat demikian, sementara keduanya berasal dari kelompok Mu’tazilah.
Namun tidak ada kejelasan apakah hal ini merupakan pendapat resmi kelompok
Mu’tazilah atau pendapat mereka sendiri. Sebab ulama Mu,tazilah yang lain tidak
berpendapat seperti ini.
Pendapat tidak dapat dijadikan hadits ahad sebagai hujjah
juga disetujui oleh banyak ulama kontemporer, seperti: Muhammad Syaltut
dan Muhammad Ghozali. Menurut mereka bahwa, “akidah tidak dapat
ditetapkan melainkan dengan keterangan yang pasti sumbernya dan tegas
tujuannya. Sehubungan dengan itu perlu diterangkan pula prinsip yang menentukan
sunnah itu qoth’I atau zonni harus memperhatikan keadaan sunnah kurang pasti
ialah dari dua segi; sumbernya dan tujuannya. Dalam hubungan ini terdapat tiga
kemungkinan; pertama, keraguan apakah hubungan riwayat itu sampai kepada
Rasullullah atau tidak. Ini menurutnya tidak pasti. kedua, keraguan tentang
tujuannya, bisa kepada dua tiga pengertian. Dan ini juga menurutnya tidak pasti
tujuannya. Ketiga, keraguan dalam dua hal, sumber dan tujuannya. Akidah islam
tidak dapat ditetapkan dengan hadits dari ketiga macam itu. Hadits yang dapat
menetapkan aqidah dan yang boleh dijadikan alasan untuk aqidah ialah hadits
yang bersumber pasti dan bertujuan tegas. Menurutnya hadits yang bersumber
pasti dan tegas adalah hadits mutawatir dan jumlah hadits mutawatir sangat
sedikit. Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang
dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai
berikut:
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ
الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
بِمَا يَفْعَلُونَ
Artinya: “Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ
إِلَّا يَخْرُصُونَ
Artinya: “Dan
jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan
belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]
إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ
لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar
menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai
sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.”
[An-Najm: 27-28]
3.
Argumentasi Penerima Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hal
Aqidah
Hadits sebagai hujah dalam berbagai macam aspek
keagamaan, para ulama sepakat menerima hadits mutawatir tanpa ada penyangkalan
sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadits mutawatir memberikan suatu
kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan
oleh sejumlah perowi yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi,
di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain
halnya dengan hadits ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan)
yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa perowi yang
tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang
didistorsi oleh seorang atau beberapa perowi. Hal ini berdampak pada sebagian
sikap umat Islam yang tidak menerima hadits ahad sebagai dalil dalam masalah
akidah. Karena menurut mereka hadits ahad yang sifatnya zhon tidak
dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti
akidah.
Argumen kelompok penerima kehujjahan hadits ahad dalam
masalah aqidah dengan hadits maupun al-Quran.
۞وَمَا
كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ
قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu
pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At Taubah: 122)
Menurut ayat di atas, merupakan fardhu kifayah bagi
sebagian kelompok orang-orang mukmin untuk pergi mendalami agamanya meliputi
aspek aqidah atau pun hukum. Thaifah (kelompok) dalam bahasa Arab
mengandung arti satu orang atau lebih.
Kalau sekiranya tidak boleh berhujjah dengan hadits ahad
dalam aspek aqidah maupun hukum, niscaya Allah dalam
ayat di atas, tidak mengkhususkan mereka untuk menyampaikan ilmu
(tabligh), (“Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Dengan demikian ayat
tersebut menegaskan bahwa ilmu termasuk kandungan hadits ahad.
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ
امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ
فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
Artinya: “Semoga
Allah memberikan cahaya pada wajah orang mendengarkan hadits dari kami lalu
menghafalnya hingga menyampaikannya. Berapa banyak orang yang mendengar
hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaiknnya. Berapa banyak orng yang
membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari padanya,
dan berapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak mengerti”.
Bantahan terhadap dalil al-Quran pun
mereka gunakan. Pemakaian kata zhon memiliki makna
kontradiktif. Bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakin. zhon adalah
keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti dan
menghukuminya. Menghukumi yaitu jika zhon itu lemah disebut waham.
Jika zhon itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan
kejelasan beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin.
Dalam Alquran terdapat kata zhon yang merujuk masalah aqidah
dan Allah memujinya. Ayat yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam
sholat adalah “alladzina yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum
ilahi raaji’un” (QS. Al-Baqarah: 46). Menurut ulama tafsir antara lain
Wahbah Zuhaili, zhon dalam ayat itu bermakna keyakinan yang
pasti yang tidak dipengaruhi oleh keraguan.
Demikian pula, zhon yang berkaitan dengan hadits ahad yang shohih
adalah zhon yang meyakinkan, sebab indikasi kebenaran
otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW telah dibuktikan melalui serangkaian
penelitian. Sementara menolak berhujjah dengannya berarti
mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang dibawa
hadits itu. Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah
didasarkan pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhon)
itu sendiri.
4.
Analisis Kehujjahan Hadits
Ahad Dalam Aqidah
Kontroversi tentang apakah hadits
ahad dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya
berawal dari perdebatan tentang apakah hadits ahad itu berfaedah qath’i atau zhonni. Perdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini
berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadits ahad sebagai hujjah. Bagi
mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat memberikan suatu kepastian
yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadits ahad dapat
dijadikan hujjah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad
hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhonni akan
menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah.
Pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari
segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah
sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas
(keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul),
dan jika hadits itu dha’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak
ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan
bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits
shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau
ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :
1. Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits
Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).
2. Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits
Dhla’if, Maudlu’.
Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud.
Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits
mutawatir dan hadits ahad shahih.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir
memberikan ilmu yang bersifat dhorury (aksiomatik). Maksudnya,
hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan
kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu
lagi mengkaji dan menyelidiki. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak
perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu
yang bersifat nazhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan
satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika
memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan
oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat
tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan),
maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan).
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir
dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak
masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu
hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima,
dan jika dla’if (lemah) maka ditolak.
Penentuan jumlah perawi tertentu
yang bersifat baku justru tidak realistis mengingat perbedaan yang cukup
signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap perawi sebagaimana
tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil. Perbedaan peringkat ta’dil sejumlah
perawi tertentu dengan perawi yang lainnya berimplikasi pada perbedaan bobot
kesahihan hadis yang diriwayatkan masing-masing. Dengan demikian, logis bila
penetapan standar minimal tertentu untuk jumlah perawi mutawatir sulit
dilakukan.
As-Sayuti di dalam bukunya menjelaskan, “sesungguhnya
para ulama khususnya muhadditsin, tidak pernah mengatakan bahwa hadits-hadits
ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah. Yang mereka
katakan hanyalah hadis shahih dan hadits hasan dapat menjadi hujjah dalam
ajaran islam, baik masalah aqidah, syariah, maupun akhlak. Sedangkan hadits
dhoif tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah aqidah dan syariah tetapi hanya
dapat dipakai dalam masalah fadhoilul a’mal dengan
syarat-syarat tertentu.
Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita
terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidah Islam yang
harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya
masalah syafa’at nabi SAW di hari akhir, mukjizat nabi SAW selain Al-Quran,
sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga)
nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan
ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan
seterusnya.
B. Problematika Hadits tentang Fadha'ilul A'mal (Al- Targhib Wat
Tarhib), Hadits Syama'il/Manaqib dan Fadha'il.
1. Hadits tentang Fadha'ilul A'mal (Al- Targhib Wat
Tarhib)
Pada bagian ini akan dicantumkan beberapa contoh hadits
yang berkaitan dengan fadhail amal.
a. Keutamaan
Surat Yasin
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik , Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْباً وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس
وَمَنْ قَرَأَ يس كَتَبَ اللهُ لَهُ بِقِرَاءَتِهَا قِرَاءَةَ الْقُرآنِ عَشْرَ
مَرَّاتٍ
“Sungguh
segala sesuatu memiliki jantung, dan jantungnya Al-Qur’an adalah Yasin.
Barangsiapa membaca Yasin maka Allah l akan mencatat baginya dengan membacanya
seperti membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”
b. Keutamaan
Surat Ad-Dukhan
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ
قَرَأَ حم الدُّخَانَ فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ يَسْتَغْفِرُ لَهُ سَبعُونَ أَلْفَ
مَلَكٍ
“Barangsiapa
membaca di malam hari surat Ad-Dukhan, di pagi harinya, 70.000 malaikat akan
beristighfar (memintakan ampun) untuknya.”
c. Diriwayatkan
bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
:
Siapa yang meninggalkan shalat sehingga habis
waktunya lalu menqadha’nya maka akan diadzab di neraka
selama haqban. Haqbu adalah delapan puluh tahun, setahun
adalah tiga ratus enam puluh hari. Satu hari lamanya sama dengan seribu tahun.
Lantas mengalikan angka-angka tersebut.
Katanya, “Satu haqbu adalah dua puluh delapan juta dan delapan ratus ribu
tahun. Namun aku tidak mendapati hadits ini dalam kitab-kitab hadits yang aku
miliki”. (Tablighi Nishab ha1.355)
2. Hadits-hadits
tentang Syama’il/ Manaqib dan Fadhail
a. Sanjungan
terhadap Abu Bakar
و عن ابن
عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( لو كنت متخذا من أمتي
خليلا لاتخذت أبا بكر ولكن أخي وصاحبي)
Artinya: dari Ibnu Abbas, r.a dari Nabi saw bahwasanya
besabda: “seandainya aku menjadikan seorang kekasih dari umatku, niscaya aku
akan memilih Abu Bakar, tetapi ia saudaraku dan sahabatku.
b. Sanjungan terhadap Para Sahabat Nabi yang Diberi kabar
Gembira akan Masuk Surga
-عن أبي موسى رضي الله عنه قال كنت مع النبي
صلى الله عليه وسلم في حائط من حيطان المدينة فجاء رجل فاستفتح فقال النبي صلى
الله عليه وسلم افتح له وبشره بالجنة ففتحت له فإذا أبو بكر فبشرته بما قال النبي
صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم جاء رجل فاستفتح فقال النبي صلى الله عليه وسلم
افتح له وبشره بالجنة ففتحت له فإذا هو عمر فأخبرته بما قال النبي صلى الله عليه
وسلم فحمد الله ثم استفتح رجل فقال لي افتح له وبشره بالجنة على بلوى تصيبه فإذا
عثمان فأخبرته بما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فحمد الله ثم قال الله المستعان
c. Sanjungan Nabi Kepada Ali r.a
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاص رضي الله تعالي عنه ٍ قَال:
(قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا
نبي بعدي)
Artinya: dari Sa’ad bin Abi Waqash r.a ia berkata:
Rasulullah saw bersabda kepada Ali r.a:” kedudukanmu terhadap aku seperti
kedudukan Harun a.s terhadap Musa a.s
hanya saja tidak ada nabi setelahku”.
d. Sanjungan Nabi terhadap Kota Yaman dan Penduduknya.
عن
ثوبان أن نبي الله ثلى الله عليه وسلم قال إني لبعقر حوضي أذود الناس لأهل اليمن
أضرب بعصاي حتى يرفض علييهم
Artinya: dari sahaba Tsauban berkata: Rasulullah saw
bersabda: “sesungguhnya aku (nanti di akhirat) berada di samping telagaku aku
akan menghalangi setiap manusia yang akan minum dari telagaku sehingga penduduk
Yaman dapat meminum air dari telagaku erlebih dahulu, aku memukul dengan
tongkatku sehingga mengalirlah air telaga tersebut sampai pada mereka. (HR.
Muslim)
3. Problematika Seputar Hadits fdhail Amal (targhib dan
tarhib), Syamail/ manawib dan Fadhail.
Hadits
dho’if adalah setiap hadits yang mardud (tertolak) yang tidak memenuhi syarat
hadits shahih atau hadits hasan. Boleh jadi hadits tersebut terputus sanadnya,
terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak sholih), sering berdusta, dituduh dusta,
sering keliru, atau hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi)
atau riwayatnya menyelisihi riwayat perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya)
darinya.
Tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parah lagi
hadits palsu menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di
tengah-tengah ummat Islam. Perusakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya
lebih parah dari penyerangan tentara Yahudi terhadap umat Islam. Karena yang
merusak dengan menyebarkan hadits dho’if dan palsu adalah umat Islam sendiri,
amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan puasa Nishfu
Sya’ban atau shalat pada malam Nishfu Sya’ban terjadi karena motivasi dari
hadits dho’if. Begitu pula beberapa dzikir tanpa tuntunan seringkali jadi
amalan juga karena motivasi dari hadits-hadits dho’if atau bahkan palsu yang
sengaja dibuat-buat oleh orang-orang yang bermaksud baik namun lewat jalan yang
keliru.
Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan perkataan Abul
Fadhl Al Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah dalam Islam
dan yang sengaja membuat hadits maudhu’ (yang palsu yang diriwayatkan oleh
perowi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merusak daripada orang mulhid
(musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merusak Islam dari luar.”
Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia katakan dari
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam padahal itu dusta,
maka ia termasuk salah satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia
mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan
Muslim no. 3).
Bagaimana hukum beramal dengan hadits dho’if tentang
fadhilah amal (keutamaan amal)? Ulama pakar hadits dan pakar fiqih dahulu dan
sekarang terus berselisih pendapat dalam masalah ini
a.
Pendapat yang Melarang secara Mutlak
Menurut sekelompok ulama,
hadits dho’if tidak digunakan dalam fadho’il a’mal (menjelaskan keutamaan amal)
dan juga tidak dalam masalah lainnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti
ini adalah Al Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya.
Muslim An Naisaburi rahimahullah mengatakan,
“Hadits dalam agama ini boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan
larangan, atau boleh jadi membicarakan tentang dorongan (targhib) atau ancaman
(tarhib) tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perowi yang meriwayatkan
hadits bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian
ada pula perowi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang menyebarkan
hadits yang mengandung perowi semacam ini adalah orang yang berdosa karena
perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum muslimin yang awam.
Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang yang mendengar
hadits-hadits dho’if semacam ini mengamalkannya, mengamalkan sebagian atau
lebih banyak. Padahal di antara hadits-hadits tersebut ada yang berisi perowi
pendusta, sebagian lainnya adalah hadits yang tidak diketahui asal
usulnya.” Intinya, Imam Muslim berpandangan bahwa hadits dho’if tidak
boleh diamalkan sama sekali.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang dikatakan oleh Imam Muslim
dalam Muqoddimah kitab shahihnya –secara zhohir (tekstual)- bermakna hadits
dalam masalah targib (memotivasi untuk beramal) diriwayatkan sama halnya dengan
riwayat yang membicarakan tentang masalah hukum”. Artinya jika hadits yang
membicarakan tentang masalah hukum tidak boleh berasal dari hadits dho’if, hal
yang sama berlaku pula pada masalah fadhilah ‘amal.
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak bolehnya
menggunakan hadits dho’if secara mutlak baik dalam masalah fadhoil a’mal dan
masalah lainnya. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah dan juga murid-muridnya.
b.
Pendapat yang Bersikap Lebih Ringan
Sebagian ulama ada yang
memberi keringanan dalam menyebutkan hadits dho’if asalkan memenuhi tiga
syarat:
1.
Dho’if-nya tidak terlalu dho’if.
2.
Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya
ia berada di bawah kandungan hadits shahih.
3.
Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.
Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dhoif (seperti
haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan
selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.
Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat
dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan.
Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih: Kita
meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya dhoif.
Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain dalam
shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena jika
hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadits shahih.
Hanya saja hadits dho’if tersebut sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan
sebenarnya adalah hadits shahih.
Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, yaitu
hendaklah tidak diyakini bahwa hadits dhoif tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan.
Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits
shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena tidak ditegaskan
kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam syarat ketiga
ini para ulama memberi aturan, hadits dho’if tersebut hendaknya dikatakan “qiila”
(dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata tegas dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf
Al-Qardhawi menyatakan bahwa para ulama salaf membolehkan penghujjahan hadits
dlaif hanya pada fadhail amal. Ulama yang dimaksud diantaranya al Nawawi dalam
buku al-Adzkar, Ali Burhan Al-halabi dalam bukunya Insaan ‘Uyuun dan Ibnu
Fakhruddin al-Ruumi dalam bukunya al-Asraar al-Muhammadiyyah.
c.
Penjelasan Apik dari Ibnu Taimiyah
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan
bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah berdasarkan hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka sungguh
ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya ketika
kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masalah hukum) kecuali berdasarkan
dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi jika diketahui sesuatu itu terlarang
(haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan diketahui
bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta, maka hadits
tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan
kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak
diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta
(baca: hadits maudhu’/ palsu). Namun patut diketahui bahwa memotivasi suatu
amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang jelek didukung
dengan dalil lain (yang shahih), bukan hanya dengan hadits yang tidak jelas
status keshahihannya.”
Ada dua point berharga yang bisa kita ambil dari
penjelasan Syaikhul Islam di atas. Pertama, tidak boleh menggunakan hadits
maudhu’ (hadits palsu yang berisi perowi pendusta) dalam masalah targib dan
tarhib. Kedua, hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam beramal,
hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih lainnya. Sehingga sebenarnya
yang kita amalkan adalah hadits shahih dan bukan hadits dhoifnya.
Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih)
dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if yang membicarakan
masalah fadhilah amal, maka hadits tersebut bisa diriwayatkan asalkan haditnys
bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perowi
pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk beramal,
pen) tidak diketahui ukuran pastinya. Oleh karenanya, jika dalam masalah ukuran
pahala diriwayatkan dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits yang dusta
(hadits maudhu’), maka hadits semacam ini tidak dikatakan dusta. Oleh karena
itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan meriwayatkan
hadits dhoif dalam masalah fadhoil a’mal. Adapun jika suatu amalan dikatakan
sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata), maka beliau menjauhkan diri darinya
karena (takut pada) Allah.”
Beliau menjelaskan pula, “Jika hadits dho’if tentang
fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu
–seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau tata
cara tertentu-, maka hadits semacam ini tidak boleh diamalkan. Karena tata cara
amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal ini
berbeda halnya jika diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa
memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah”, maka pahalanya sekian dan
sekian, maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di
pasar disunnahkan karena ini termasuk amalan yang dilakukan di saat kebanyakan
orang sedang lalai.”
Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat bagus
dalam perkataan selanjutnya,
فَالْحَاصِلُ : أَنَّ هَذَا الْبَابَ يُرْوَى
وَيُعْمَلُ بِهِ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ لَا فِي الِاسْتِحْبَابِ ثُمَّ
اعْتِقَادُ مُوجِبِهِ وَهُوَ مَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ يَتَوَقَّفُ
عَلَى الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ .
“Intinya,
hadits dho’if bisa diriwayatkan namun dalam masalah targhib dan tarhib saja.
Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya suatu amalan.
Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau akibat buruk dari suatu
amalan jelek, maka cukup dalil syar’i (yang shahih) yang jadi pegangan. ”
d.
Sikap yang Lebih Hati-Hati
Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if tidak
boleh digunakan secara mutlak kecuali jika ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat
ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk memotivasi
pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan yang jelek sebenarnya sudah cukup
dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
DAFTAR PUSTAKA