Sabtu, 17 Maret 2012 | By: namakuameliya

Analisis Cerpen Arinillah


a.      Metode yang digunakan
Analisis  dalam karya sastra tini menggunakan  kajian metode struktural. Menurut kaum strukturalisme, sebuah karya sastra adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsurnya. Analisis karya dengan metode struktural dapat dilakukang dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik karya sastra termasuk di dalamnya tokoh dan penokohanTokoh dalam karya fiksi adalah siapa yang ada dalam cerita tersebut. Penokohan menunjuk sifat, sikap, watak, dan karakter pada tokoh tertentu. Karakter atau perwatakan pada tokoh adalah utility yang utuh.
Setiap pengarang memiliki kebebasan untuk menggunakan tokoh sekehendaknya. Yang menjadi hal penting adalah bahwa sebagai karya naratif, karya sastra menceritakan seorang tokoh atau lebih yang memiliki watak, karakter, dan kepribadian yang berbeda-beda. Semuanya berhubungan dengan aspek psikologi dalam karya sastra yang akan dipaparkan selanjutnya.
b.      Penokohan dan Unsur Cerita yang lain
Karya fiksi adalah keutuhan artistik, dimana setiap unsurnya saling membangun. Antara unsur tokoh dengan tema, plot, dan sebagainya memiliki koherensi yang sangat kuat dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Dalam kehidupan nyata, tokoh yang berperan adalah manusia sebenarnya yang menjalani kehidupannya masing-masing. Tingkah laku, peristiwa, sikap, dan pikiran manusia telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Manusia dalam ralitas tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang meskipun sebelumnya telah direncanakan secara matang. Kehidupan manusia tidak dapat ditebak, berliku, lurus, terhambat, mulus, atau sebagainya seolah seperti jalan hidup manusia. Rencana hidup dituliskan dalam takdir Yang Maha Kuasa. Inilah perbedaan antara kehidupan nyata dan ‘kehidupan fiktif’. Kehidupan nayata tidak memiliki plot yang diketahui dengan jelas, sedangkan dalam karya fiksi memiliki plot jelas yang ditentukan oleh pengarang sekehendaknya.
Tokoh sebagai ‘pelaku’ dalam karya membawa pikiran pembaca untuk mengetahui alur cerita karena tokoh fiksi tidak mungkin keluar dari jalur plot yang telah ditentukan. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh dan bagimana cara mengatasi masalah dalam peristiwa tersebut adalah kerjasama yang erat antara plot dan tokoh atau penokohan. Terkadang pembaca mengharapkan tokoh fiksi sesuai dengan pikirannya yang dipengaruhi oleh kehidupan nyata. Sebagai contoh, tokoh yang sombong, kikir, korupsi seharusnya berujung dengan kematian atau penderitaan yang panjang. Tokoh yang baik, dermawan, murah hati, ramah, sopan, suka, rajin beribadah seharunya berujung dengan kebahagiaan.
Dalam cerpen Arinillah karya Taufik Hakim, – seorang sastrawan Mesir – terdapat tokoh seorang anak yang menginginkan agar ayahnya memperlihatkan Allah padanya. Dengan bahasa yang bijak ia berkata pada ayahnya, “Wahai Ayah, engkau sering beribicara banyak tentang Allah. Perilhatkanlah kepadaku!” Perkataan merupakan bahasa seseorang yang sudah memiliki kecerdasan yang tinggi disertai dengan respon yang kuat pada stimulus yang merangsangnya
Tokoh yang diangkat dan dianalisis dalam penelitian ini adalah tokoh seorang anak dalam cerpen Arinillah karya Taufiq Hakim. Sebagai gambaran, berikut ini adalah sebagian cerita yang melukiskan tokoh anak tersebut.
Pada zaman dahulu , ada seorang lelaki yang shalih dan bersih hati. Ia diberikan seorang anak yang cerdas oleh Allah swt, anak itu fasih berbicara karena kecerdasannya.
Pada suatu hari, ayah dan anak itu duduk bersama dan berbincang seperti dua orang sahabat, padahal antara ayah dan anak itu memiliki perbedaan umur yang cukup jauh. Ia memandangi anaknya lalu berkata:
“Aku bersyukur pada Allah!, engkau adalah nikmat yang Allah berikan padaku!”
Kemudian anak itu berkata:
“Wahai ayah, engkau sering memperbincangkan tentang Allah, perlihatkanlah Dia kepadaku!”
“Apa yang kamu ucapkan, Anakku?” ia menunduk dan kebingungan mendengar perkataan anaknya. Lalu ia berkata pada anaknya seolah seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Engkau ingin agar aku memperlihatkan Allah padamu?”
“Ya, Perlihatkanlah Allah padaku!”
“Bagaimana aku bisa memperlihatkan yang aku pun belum pernah melihatNya!”
“Lalu, kenapa engkau tidak bisa melihatNya?”
“Karena aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.”
“Kalau begitu, sekarang Ayah pergi mencariNya kemudian perlihatkanlah Allah padaku!”
“Baiklah, aku akan melakukannya. Aku akan melakukannya, Anakku!”
Dari potongan cerita di atas, diketahui bahwa anak itu memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga ia ingin melihat Allah. Dalam buku Psikologi Perkembangan dijelaskan bahwa seorang anak memiliki kemampuan berfikir dan melihat hubungan-hubungan dengan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kemampuan untuk bertanya tentang segala sesuatu yang tidak dipahaminya akan muncul. Kemampuan ini disebabkan karena rangsangan yang sering diterimanya, dalam tokoh ini, rangsangan seorang ayah sering menyebutkan nama Allah menjadi pendorong keberaniannya untuk bertanya dan ingin mengetahui tentang Allah.
Awalnya seorang anak tidak akan memperhatikan hal-hal kecil seperti yang sering dilakukan oleh tokoh ayah dalam cerpen tersebut. Konsep Tuhan bagi anak-anak adalah seseorang yang sama seperti manusia. Inilah yang menjadi pendorong lain bagaiman tokoh anak itu ingin melihat Allah.
Seorang anak akan berbicara sekehendaknya saja, tak pernah memikirkan bagaimana perkataannya itu dimengerti dan menjadi pemikiran orang lain. Dengan polos (bagi anak-anak biasa) tokoh anak dalam karya sastra tersebut berkata: Perlihatkanlah Allah kepadaku!.
Setelah itu pun ia bertanya mengapa ayahnya tidak pernah melihat Allah, ini merupakan kecerdasan yang luar biasa bagi seorang anak. Faktor genetis bisa saja menjadi pengaruhnya. Keberaniannya bertanya bukti kecerdasan dan keingintahuannya.
Bahkan dengan ringan tokoh anak itu menyuruh ayahnya mencari Allah supaya bisa diperlihatkan kepadanya. Dari semua ucapan anak itu, dijelasakan dengan menggunakan konsep psikologi bahwa pembicaraan seorang anak bisa menimbulkan bahaya. Dalam hal ini, bahaya tersebut bersifat positif karena mempertanyakan Tuhan.
Dalam percakapan lain dalam cerpen ini yaitu ketika sang ayah tak mampu memperlihatkan Allah kepada anaknya. Dengan petunjuk dari seorang ulama, ia mengasingkan diri dan bersujud untuk mendapatkan cinta dari Allah sehingga ia bisa melihatNya. Lelaki itu tak bergerak sama sekali ketika keluarga beserta anaknya datang dan memintanya untuk pulang. Lalu anak itu berkata:
“Ayah, apakah engkau tidak mengenaliku?”
Namun ketika anaknya berteriak, ia tidak bergerak sedikitpun. Kemudian seorang ulama itu berkata kepada keluarganya bahwasanya meskipun lelaki itu dibunuh, maka ia tidak akan merasakannya karena telah mendapatkan setengah biji dzurrah dari cinta Allah.
Anak itu berkata:
“Ini adalah dosaku yang memintanya agar memperlihatkan Allah kepadaku!”
Jika diperhatikan perkataan di atas, serasa tak mungkin jika seorang anak biasa yang masih belum baligh tahu tentang dosa. Namun, sang pengarang, yaitu Taufiq Hakim, dengan kecerdasan dan kretivitasnya lebih dulu menjelaskan bahwa tokoh anak dalam cerpennya memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang luar biasa

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Introduction